November 2024 - My Mind - Untaian Kata Untuk Berbagi

Senin, 04 November 2024

Buku Dalam Dekapan Zaman, Beragam Cara Menjaga Bumi
November 04, 2024 2 Comments
Assalamualaikum Sahabat. Isu tentang perubahan iklim udah lama banget menjadi perhatian banyak kalangan. Sebagai warga bumi, saya merasakan perubahan iklim seperti suhu udara yang panas mulai tahun 2023 lalu. Terutama mengingat banyak tanaman hias saya yang tidak kuat menahan teriknya matahari. Perlu diketahui rumah saya menghadap barat. Namun tahun 2023 itu suhu sedemikian panasnya hingga merenggut sejumlah tanaman hias di teras rumah.


Kesukaan saya pada tanaman tidak padam karena kondisi tersebut. Saya mencari penyebabnya, mungkin karena tanaman merambat dan penahan panas di depan kurang bisa melindungi tanaman hias yang ada di teras. Akhirnya saya pun memasang paranet, jaring yang biasanya memiliki prosentase pelindung matahari untuk tanaman. Sekarang teras rumah sudah lumayan teduh karena ada penghalang sinar matahari langsung. 

Mengapa saya begitu ingin mengoleksi tanaman meski teras rumah sempit? Tentu saja karena saya terlahir dari seorang bapak yang suka berkebun. Dari bapak lah saya mengenal cara menanam berbagai jenis tanaman. Saya lambat laun menyukai kegiatan berkebun meski di teras yang sempit. 

Saya menyukai aroma embun yang terlihat di permukaan daun di tanaman yang ada di pot-pot di teras rumah. Meski sedikit, namun tanaman-tanaman itu mampu  mengundang kupu-kupu, burung liar, bahkan walang. Tidak saya sangka tanaman di kebun sempit itu menjadi oase saya saat pikiran suntuk karena pekerjaan. Mata saya kembali segar dan jernih usai menatap tanaman hijau di teras rumah.

Buku Dalam Dekapan Zaman

Saat pertama kali saya mendapat kabar terpilih menjadi pembaca untuk edisi pertama buku Dalam Dekapan Zaman, saya bahagia sampai ingin berteriak kegirangan. Dan begitu buku tersebut tiba di depan mata, saya berkali-kali mengucap syukur. 

Saya memang baru mengenal Ibu Amanda Katili melalui sosial media. Dari beberapa artikel yang seringkali menyertakan nama beliau di berbagai event tentang krisis iklim, pangan sebagai sumber bencana maupun penyelamat bumi, dan masih banyak lagi yang lain. Itu lah sebabnya saya sungguh bangga akhirnya bisa ikut membaca buku Dalam Dekapan Zaman, Memoar Pegiat Harmoni Bumi.

Pertama kali memegang buku setebal lebih dari 400 halaman ini sempat membuat saya gamang. Apakah saya mampu menyelesaikan isi buku tak lebih dari 10 hari? Karena saya harus menuliskan review tentang buku ini. Namun saya yakin perjalanan membaca buku Dalam Dekapan Zaman akan menjadi salah satu momen terindah dalam hidup saya sebagai pecinta buku.


Buku ini menggambarkan lebih dari sekadar perjalanan di bidang lingkungan hidup, perubahan iklim dan keberlanjutan bagi sosok Ibu Amanda Katili Niode. Semua yang telah dikerjakan oleh beliau sebagai pegiat bumi selaras dengan pendidikannya. Ibu Amanda lulusan Sarjana Biologi dengan konsentrasi Ilmu Lingkungan ITB, gelar Doktor dari School of Environment and Sustainability, University of Michigan Ann Arbor dan MSc dari American University, Washington DC dalam Ecology & Environmental Management.

Perjalanan panjang karirnya menunjukkan kecintaan Ibu Amanda pada Bumi. Beliau adalah pemerhati lingkungan yang merelasikan keseimbangan bisnis yang ramah lingkungan. Kehadirannya sebagai coach bagi 20 ribuan perempuan pemilik UMKM di Indonesia tentu menjadi hal yang menarik. 

Buku ini dilengkapi dengan 17 testimoni dari generasi muda, pengusaha, para pakar, dan tokoh masyarakat, termasuk Emil Salim, Rachmat Gobel, Suzy Hutomo, Daniel Murdiyarso, Gita Wirjawan, Erros Djarot, dan Rahayu Saraswati Djojohadikusumo.

Dalam Dekapan Zaman, Memoar Pegiat Harmoni Bumi mengisahkan sejumlah hasil pemikiran dan tindakan Ibu Amanda Katili Niode menanggapi krisis di Bumi. Buku ini juga menggambarkan dirinya sebagai pegiat lingkungan yang ingin terus berbagi pengalaman transformasi pribadinya dalam pengembangan diri, kepemimpinan, dan komunikasi. 

Dengan gaya narasi yang kuat, Ibu Amanda memadukan kisah-kisah inspiratif dan wawasan mendalam, serta kiat-kiat pemecahan masalah yang menunjukkan bahwa tantangan di tingkat lokal, nasional, hingga global dapat menjadi pemicu perubahan diri yang signifikan. 

Tak terbayangkan betapa luar biasanya pengalaman yang akhirnya dituliskan dalam setiap memoar oleh Ibu Amanda. Nyaris sepanjang usianya, dari Amanda kecil hingga dewasa yang sering diajak sang ayah bertemu tokoh dunia. Bahkan perjalanan profesinya yang mengharuskan beliau menghadiri pertemuan internasional terkait lingkungan hidup, perubahan iklim dan berkelanjutan, entah itu diundang ataupun atas biaya instansi tempatnya bekerja.

Kalo boleh saya sebutkan, buku ini bukan sekadar memoar. Namun kisah seorang Ibu Amanda, Pegiat Harmoni Bumi yang sangat memahami setiap tindakan yang beliau lakukan dan dituturkannya dalam sebuah buku. 

Saya tersentuh membaca salah satu testimoni dari Budayawan Erros Djarot :

So, Amanda, teruskan langkahmu dan terus lah melangkah...hingga sang Maha Pencipta memintamu berhenti; karena hanya Dia-lah yang bisa dan berhak menghentikanmu!

Peran Ayah Yang Membentuk Kecintaan Pada Bumi

Begitu membuka buku sejak halaman pertama saya sudah terpacu menikmati rangkaian kalimat dengan narasi yang dalam. Tentunya semua karena pengalaman dan perjalanan karirnya, serta kesempatan Ibu Amanda bertemu dengan banyak orang hebat yang peduli dengan Bumi. Setelah selesai membaca buku ini, saya melihat Ibu Amanda ibarat Bumi, planet yang dinamis dan hidup.

Bumi yang menyediakan sumber daya alam yang dibutuhkan untuk keberlangsungan makhluk hidup, terutama adanya tanah, air, udara, dan energi. Semua ini bila dimanfaatkan secukupnya dan tidak berlebihan tak akan muncul masalah di Bumi seperti saat ini. 

Ketertarikan Ibu Amanda pada Bumi tentu hal wajar mengingat peran orang tuanya yang sejak kecil sudah mmendekatkannya dengan alam. Ibu Amanda bahkan mengingat kesigapan sang kakek dari pihak ibu, Abdul Uno yang profesinya sebagai inspektur kehutanan di zaman Belanda. Tugas sang kakek adalah menghutankan dan menjaga lingkungan di kawasan Indonesia Timur. Dan ketika tinggal di Gorontalo, bila melihat setitik api di hutan, kakeknya tidak segan langsung mendatangi lokasi api dengan mobilnya. Bersama stafnya, kakek akan berusaha memadamkan api. 

Kesetiaan kakeknya pada bidang pekerjaan di luar jam kerja, menjadi landasan cara berpikir Ibu Amanda. Sebuah tanggung jawab profesi yang seribu persen dilakukan demi menjaga Bumi.

Sejak kecil peran orang tua terutama sang ayah telah membentuk pribadi Ibu Amanda menyukai Bumi. Ayahnya selalu mengajak anak-anaknya terlibat dalam diskusi tentang alam. Ketika dia masih berusia 11 tahun, ayahnya bertanya :

"Non, apa kata yang bagus untuk  menggambarkaan awan?
"Mega!" Amanda kecil menjawab sambil terus bermain boneka.

Ayahnya mengutip Firman Allah dalam Al-Qur'an surat An Naml ayat 98:"Dan kamu memandang gunung-gunung itu, kamu sangka dia tidak bergerak, padahal ia berlalu laksana beraraknya mega..." (halaman 5)

Menarik banget keikutsertaan ibu Amanda saat mendampingi ayahnya dalam kongres atau pertemuan ilmiah di dalam maupun luar negeri. Meski beliau tidak mahir berbahasa Inggris, namun oleh sang ayah, Ibu Amanda diminta untuk mendengar, menulis, mencatat, dan berbicara dengan para ilmuwan asing. Menurut ayahnya, dia bisa belajar bahasa asing meski paham atau tidak, nanti akan jadi terbiasa.

Perjalanan keluar negeri yang kadang tidak cocok dengan jadwal belajar di kampus, ternyata menimbulkan masalah dengan dosennya. Ibu Amanda dianggap keluar negeri untuk bersenang-senang sementara teman-temannya kuliah. 

Terlepas dari ketidaksukaan sang dosen, saya melihat keterlibatan Ibu Amanda sejak muda dengan kegiatan ayahnya, menjadi pupuk yang subur hingga berkembangnya wawasan berharga pada diri beliau. Ini yang membangun karir beliau hingga bisa melakukan semua kegiatan yang berhubungan dengan lingkungan hidup dan perubahan iklim secara global.

Setiap ucapan, juga tindakan ayahnya nampaknya sangat berperan besar bagi Ibu Amanda mengambil keputusan dalam hidupnya. Seperti saat beliau memilih kuliah di Bandung dan tinggal jauh dari keluarga. Alasannya karena ingin mengikuti jejak sang ayah kuliah di ITB.

Menggugah Kekuatan Cerita Pribadi, Mengumpulkan Memoar Sukarelawan

Sebagai pegiat harmoni Bumi, Ibu Amanda yang senang membaca karya penulis dari berbagai negara, sangat detil menuturkan pengalaman dan hasil pemikiran dalam buku ini. 

Salah satu penulis favorit beliau adalah Kim Stanley Robinson yang berasal dari Amerika. Tentu saja tema buku non fiksi seputar perubahan iklim, pola cuaca, dan ekosistem. 

Dengan banyaknya karya penulis yang sudah dibaca, membuat Ibu Amanda ingin mengumpulkan memoar dari sukarelawan The Climate Reality Project. Organisasi nirlaba ini didirikan oleh mantan wakil presiden Amerika Serikat dan pemenang Hadiah Nobel Perdamaian, Al Gore. Organisasi ini memiliki misi katalisasi solusi global terhadap krisis iklim penyebab berbagai bencana, serta menjadikan tindakan mendesak sebagai kebutuhan di setiap lapisan masyarakat.

Climate Reality Indonesia sebagai bagian dari The Climate Reality Project merupakan perkumpulan independen dengan sukarelawan dari berbagai lapisan masyarakat. Mereka mendapat pelatihan dari Al Gore serta sejumlah ilmuwan, komunikator, serta aktivis.

Naskah yang terkumpul oleh Climate Reality Indonesia terdiri dalam beberapa bahasa dan merupakan pengalaman pribadi penulisnya. Tulisannya merupakan aha moment yang dialami baik terkait ilmu pengetahuan, dampak, solusi, maupun aksi perubahan iklim. Kisah inspiratif yang dilakukan oleh pejuang peduli lingkungan dan perubahan iklim. 

Jadi memoar yang mereka tuliskan merupakan cerita pribadi dan bukan berdasar cerita orang lain. Memoar biasanya berisi refleksi yang penuh wawasan, narasi yang emosional dan eksplorasi mendalam tentang pertumbuhan seseorang. Atau bisa juga berupa pemahaman yang dirasakan saat mengalami satu peristiwa.

Pengampu situs web Perfect Memoirs, Deborah Willbrink menjelaskan ada 4 manfaat kesehatan yang akan diperoleh secara holistik saat seseorang menuliskan kisah hidupnya. Yaitu 
  • Pertama, dengan menceritakan momen penting dalam kehidupannya, seseorang akan menyadari identitas dirinya
  • Kedua, melestarikan kisah hidup akan meninggalkan warisan bermakna yang mengangkat keterhubungan antar generasi
  • Ketiga, menulis memoar dapat memberdayakan seseorang karena mengingat masa-masa kekuatan dan keberhasilan, dapat membangun jalan untuk diikuti lebih banyak pencapaian
  • Terakhir adalah kenangan tentang kehidupan adalah alat untuk memahami kehidupan seseorang dan memaknainya
Dari kisah yang terkumpul ada cerita seorang pejuang Bumi tentang para nelayan yang kesulitan mencari ikan di laut. Kebayang nggak sih, berlayar di tengah laut demi mencari ikan yang berkurang karena efek perubahan iklim. Dulunya saat kakek buyutnya berlayar, cukup menyerok ikan menggunakan kaos bekas disulap jadi jaring. Dan kakeknya ini menyerok ikan juga hanya berjarak 10 meter dari bibir pantai. 

Seorang pejuang Bumi, Lia Zakiyyah menuliskan kisah berjudul "Perjalanan Pribadi untuk Menerima Diri Sendiri". Seseorang yang mengeruk sumber daya untuk mencapai tahta atau harta, menekan masyarakat marjinal, membabat satwa langka, bisa jadi karena dia belajar mematikan rasa karena tidak suka menghadapi emosi dirinya.

Saya jadi teringat ketika suami mendapatkan kesempatan bekerja untuk penyediaan pasir besi. Dia mengajak saya berdiskusi tentang prospek penghasilan yang akan didapatkan. Saya sejak awal menentang karena pekerjaan itu sama saja merusak Bumi. Akhirnya dia tidak menerima pekerjaan tersebut setelah perenungan yang cukup panjang. Apalagi setiap hari saya ingatkan suami agar tidak mengeruk sumber daya alam semaunya pemilik modal. 

Meski tidak bisa menjadi pejuang bumi, setidaknya kami tidak ikut merusak bumi hanya demi harta untuk memperkaya diri. 

Sementara itu kembali pada pengumpulan karya para pejuang Bumi, ternyata tidak sesuai ekspektasi karena harapannya bisa terkumpul 100 karya tulisan. Jadi Ibu Amanda harus merasa puas dengan 93 karya yang masuk ke Climate Reality Indonesia. Buku dengan judul "Menjalin Ikhtiar Merawat Bumi, Memoirs by Climate Reality Leaders" diluncurkan saat ada perhelatan akbar tentang perubahan iklim di kota Sharm El-Sheikh, Mesir. (halaman 44)

Ibu Amanda Katili mengungkapkan ketakjubannya karena dalam buku tersebut ada naskah putra-putrinya. Kebetulan mereka juga aktif beraktivitas di bidang lingkungan hidup dan perubahan iklim. Terzian Ayuba Niode menulis "Makna Sukarelawan Bagi Seorang Bankir". Sedangkan artikel Karida Humaira Niode berjudul "Aktivis Iklim dan Pelaku UMKM".

Menurut Ibu Amanda, menulis memoar ternyata bisa menjadi pengikat keluarga. Tulisan Karida Humaira saya sertakan di bawah ini.


Saya sangat menikmati tulisan Karida Humaira yang merasa bukan sebagai aktivitas lingkungan. Namun pada masa pandemi dirinya sempat menanam berbagai jenis bibit sayuran. Ahh jadi kebayang saya pun melakukan hal sama, menanam sayuran pokcoi, kangkung, cabe dan tomat.

Namun bedanya, Karida juga berbagi paket bibit sayuran dari yang ditanam kepada tetangga sekitar rumah yang berpenghasilan rendah dan yang membutuhkan.

Peran Kita Sebagai Warga Bumi

Perempuan meliputi setengah populasi dunia termasuk di Indonesia. Dengan makin banyaknya keikutsertaan perempuan dalam pengambilan keputusan dan perencanaan secara tingkat tinggi, akan membuka pintu bagi tindakan iklim yang makin efektif. Keterlibatan perempuan juga akan mendorong jenis investasi domestik yang diperlukan untuk memerangi krisis iklim. 

Saya percaya perempuan juga sebagai penentu keputusan belanja keluarga. Apabila aktivitas harian belanja keluarga diikuti dengan gaya hidup berkelanjutan alangkah indahnya Bumi. Pilihan gaya hidup memengaruhi dunia yang ada di sekitar kita. Dengan menjadi bagian warga yang setia menjaga Planet Bumi, mengubah kebiasaan kecil dan membuat pilihan yang tidak berbahaya bagi lingkungan. 

Langkahnya mudah namun apakah mau atau tidak untuk melakukannya. Misalnya, membangun rumah hemat energi dengan banyak ventilasi. Kita bisa memilih jalan kaki atau bersepeda, atau menggunakan transportasi umum untuk belanja atau ke tempat kerja. Bisa juga dengan mengurangi limbah pangan, menyiapkan makanan secukupnya, berkebun sayur dan mendaur ulang sampah organik dapur. 

Banyak yang bisa kita lakukan sebagai perempuan dan warga Bumi. Saya sudah lebih dari 10 tahun menjalani beberapa hal demi menjaga Bumi. Dan salah satu yang dimaksud oleh Ibu Amanda tentang donasi pakaian. Rumus saya adalah kalo membeli 1 baju, ada 3 baju yang harus dihibahkan. Dan saya bersyukur  mengenal orang yang bersedia menerima baju yang masih bisa dipakai dengan pantas. 

Dulu saat pandemi saya sempat mengolah sampah dapur menjadi kompos. Namun kemudian terhenti karena lahan yang terbatas. Sekarang ini saya mulai lagi membuat kompos cair yang tidak membutuhkan ruang luas. Jadi saya masukkan kupasan kulit sayur dan buah ke dalam toples atau botol. Dengan campuran bahan lainnya, saya diamkan selama 30 hari untuk kemudian saya aplikasikan untuk memupuk tanaman secara organik. 

Saya senang bisa ikut sedikit menyumbang pengurangan sampah organik. Kebayang nggak sih kalo sampah makanan sisa atau organik ini ketika kita buang ke tempat pengumpulan sampah di luar sana? Jika sampah makanan membusuk, akan melepaskan emisi gas rumah kaca yang tidak bisa diabaikan begitu saja karena jumlahnya mencapai puluhan ton. Saya ngeri setelah banyak membaca artikel tentang sampah yang tidak dikelola dan hanya dibuang di TPA. 

Sebenarnya saya masih ingin bercerita tentang beberapa inspirasi yang saya temukan dari isi buku ini. Namun rasanya tidak asik juga ya, alangkah lebih baik bila kalian baca juga bukunya. 


Sahabat bisa mendapatkan Buku Dalam Dekapan Zaman dengan menghubungi langsung penerbit Diomedia di nomor 0856-4376-2005 dengan harga : Rp.  145.000,00 (belum termasuk Ongkir). Sementara bermanfaat, wassalamu'alaikum.
Reading Time:

Sabtu, 02 November 2024

Plepah Mengubah Limbah Jadi Berkah
November 02, 2024 16 Comments
Assalamualaikum Sahabat. Aktivitas harian yang padat telah mengubah masyarakat Indonesia menyukai hal yang instan. Keluarga muda banyak yang mengubah kebiasaan menyajikan hidangan dari dapur rumah dengan memilih membeli makanan dari luar. Perilaku ini rupanya tidak hanya terjadi di kota besar, saya melihat beberapa kota kecil di Indonesia pun memiliki kecenderungan serupa.

Perubahan perilaku ini menjadi penyumbang sampah kemasan terbesar di Indonesia. Setiap hari masyarakat berkontribusi  hingga 20 juta kemasan makanan bekas yang butuh waktu ratusan tahun untuk terurai. 

Kalo merujuk data Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) di 18 kota Indonesia, pada tahun 2018 ditemukan sebanyak 0,27 ton hingga 0,59 juta ton sampah masuk ke laut. Dan kalian tentunya sudah membaca kabarnya saat itu di portal berita bahwa sampah tersebut didominasi stirofoam. Yang paling menyedihkan adalah sampah stirofoam membutuhkan waktu sekitar 500 tahun sampai 1 juta tahun untuk dapat terurai oleh tanah.

Masalah sampah ini mengusik hati seorang anak muda, yaitu Rengkuh Banyu Mahandaru, Sarjana Desain Produk di Institut Teknologi Bandung. Dia terinspirasi ide mengolah produk hasil hutan non kayu menjadi wadah makanan. 

Dokumentasi : Eva Martha Rahayu

Idenya muncul saat dia berkesempatan keliling ke beberapa negara sebagai product designer tempatnya bekerja. Salah satu negara tersebut adalah India, yang memiliki kearifan lokal menggunakan dedaunan sebagai pembungkus makanan. 

Cerita Awal Mula Plepah Hadir 

Kearifan lokal warga India yang masih menggunakan daun-daunan sebagai perlengkapan makanan menarik perhatian Rengkuh. Dia melihat warga di sana masih menggunakan daun untuk membungkus atau sebagai wadah makanan. Hal ini pernah dilakukan masyarakat Indonesia dulu. Sekarang sayangnya sudah sangat sulit dijumpai warga yang menggunakan daun sebagai pembungkus makanan.

Rengkuh yang merasa gelisah dengan kondisi tersebut, ingin berbuat sesuatu yang bermanfaat untuk masyarakat secara luas. Dia akhirnya mendirikan Plepah bersama dua temannya, startup yang melakukan proyek riset dengan membuat bahan-bahan turunan dari agrikultur untuk kemasan makanan alternatif. 

Seperti diketahui Indonesia memiliki potensi kekayaan Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) yang sangat besar untuk dikembangkan.  HHBK adalah hasil hutan hayati nabati ataupun hewani beserta produk turunannya, kecuali kayu yang berasal dari hutan. Nah, salah satu HHBk adalah tanaman Pinang.

Pinang memiliki potensi ekonomi yang sangat tinggi. Selain buah dan biji, limbah daun pelepah pinang juga memiliki nilai ekonomis. Artinya memiliki nilai manfaat bagi masyarakat di dalam dan di sekitar kawasan hutan untuk meningkatkan kesejahteraan.

Dalam proses membangun Plepah, Rengkuh rela meninggalkan pekerjaannya sebagai product designer salah satu studio desain. Rengkuh ingin keluar dari zona nyaman dan merasa bisa berkontribusi dengan keahliannya. Tahun 2018 Plepah mengajak kerjasama dengan multi pihak yaitu NGO yang fokus untu konservasi hutan.

Pada tahun yang sama pula, tengah marak kebakaran hutan. Rengkuh berinisiatif menjalin komunikasi intensif dengan para petani karet dan sawit. Dia memberikan edukasi agar mereka tidak iseng mengekstraksi hutan dengan membakar atau pun menebang pohon sembarangan. 

Sejak awal fokus Plepah di Sumatera khususnya Desa Teluk Kulbi, Kabupaten Tanjung Jabung Barat, Jambi dan Desa Mendis, Kabupaten Musi Banyuasin, Sumatera Selatan. Plepah mengembangkan dan memproduksi produk kemasan ramah lingkungan seperti piring, mangkok dan kontainer makanan.

Dokumentasi Plepah


Rengkuh menciptakan waktu yang lebih produktif dengan konsep berbasis komunitas serta memberdayakan desa dan masyarakat di Sumatera Selatan dan Jambi. Masyarakat diajak mengolah limbah agrikultur komoditas pohon pinang sebagai pendapatan ekonomi alternatif. Yaitu menggunakan limbah pelepah pinang untuk diubah menjadi produk akhir eco friendly food packaging dan foodware.

Untuk pengoperasian limbah tersebut Plepah menggunakan skema micro manufacturing. Skema tersebut dipilih agar teknologinya bisa diadaptasi oleh masyarakat di pedesaan, terutama di area-area terpencil. Hal ini dilakukan mengingat tempat pengolahan awal berada di tengah-tengah perkebunan karet dan kelapa sawit.

Proses produksi juga dengan menggunakan sumber listrik dari solar panel, turbin air, atau daya yang lebih hemat. Mesin produksi juga didesain yang praktis dengan maksud memudahkan distribusi dan tidak memerlukan banyak ruang.

Tantangan Yang Harus Dihadapi Plepah

Bagi Plepah hal yang sulit saat mengembangkan produk ramah lingkungan tidak hanya pada riset. Meski memang tidak dipungkiri riset ini menjadi masalah utama yaitu pendanaannya yang sulit. Terlebih dahulu juga Plepah belum banyak dikenal, beda dengan sekarang yang mulai dimudahkan dengan akses pendanaan. Namun masih tetap bukan hal mudah juga.

Selanjutnya, tantangan mengenai edukasi terhadap stakeholder petani. Komoditas yang dianggap oleh petani berupa sawit, karet, pisang, atau apapun itu yang memang sudah menghasilkan nilai ekonomi. Sementara apa yang ditawarkan Plepah adalah sesuatu yang baru, ekosistem ekonominya belum terbangun. Pelaku-pelaku yang seharusnya hadir di setiap bagian belum ada. Waktu itu memang masih belum banyak mendapat tanggapan atau respon yang baik. 

“Itu juga jadi tantangan tersendiri untuk kami bisa membangun rantai pasok. Jauh sebelum rantai pasok terbangun, kami juga kesulitan meyakinkan bahwa ini punya value ekonomi, di sisi lain juga menjadi sebuah solusi terhadap masalah kemasan tidak ramah lingkungan yang begitu mengganggunya di kota besar,” katanya.

Potensi Pinang di Daerah Papua Dan NTT

Riset ini juga memetakan potensi pinang di Papua dan NTT. Pelepah pinang hampir tidak memiliki nilai dan dianggap sebagai limbah pertanian karena itu pada umumnya dibuang atau dibakar, terutama selama musim hujan karena dapat menjadi sarang nyamuk.

Dokumentasi dari mongabay.co.id

Pendiri Plepah, Rengkuh Banyu melihat potensi yang sangat besar untuk mengalihfungsikan limbah pohon pinang ini secara berkelanjutan.

Rengkuh bersama dua kawannya Almira Zulfikar dan Fadhan Makarim, yang juga lulusan Institute Teknologi Bandung, mengembangkan dan memproduksi mesin tepat guna untuk mengoptimalkan produksi piring dan kontainer makanan dari pelepah Pinang.

Rengkuh menyebutkan bahwa rata-rata petani memiliki lahan 2-3 hektar kebun Pinang. Dari luas kebun itu bisa menghasilkan 5-10 kilogram pelepah yang jatuh dari pohonnya perhari. Kemudian pelepah ini dikumpulkan dan disetorkan ke pabrik. Teknik pemrosesan dibikin menjadi wadah makanan berupa alat cetak pemanas. 

dokumentasi bisnis.tempo.co


“Pertama disterilkan lalu dipres atau dicetak dengan mesin khusus. Tak ada tambahan bahan lain. 1 lembar pelepah biasanya bisa dicetak menjadi 3-4 piring dengan tutupnya. Kalau dijadikan kontainer makanan seperti piring Hokben bisa 2-3 buah,” 

Produksi awal mereka sebesar 500 buah per bulan sambil terus melakukan riset dan pengembangan produksi. Kini memasuki 2024 omset Plepah sudah miliaran rupiah dengan kapasitas produksi mencapai 20.000-30.000 buah per bulan.

Plepah saat ini sedang membenahi alur pengumpulan bahan limbah dari masyarakat sekitar perkebunan. Hal ini dilakukan untuk menghindari praktek monopoli harga yang bisa merugikan tidak hanya Plepah tetapi juga petani.

Pemasaran Produk Ramah Lingkungan Plepah

Plepah mampu membuat produk ramah lingkungan dengan memanfaatkan limbah pelepah Pinang. Mereka juga berhasil mengajak masyarakat sekitar perkebunan pinang untuk mengumpulkan pelepah dan menjadi tambahan penghasilan bagi mereka. Langkah berikutnya tentu saja pemasaran produk ramah lingkungan yang diharapkan mendapat pasar yang luas.

Sebagai informasi, kemasan atau wadah makanan ramah lingkungan terbuat dari pelepah Pinang ini dijual seharga Rp 2.000-4.000 per buah berupa piring, mangkok dan kontainer makanan, semuanya dengan tutupnya.

Pemrosean pencetakan pelepah Pinang menjadi wadah makanan setelah proses sterilisasi dengan sinar UV, di pabrik Plepah, Tanjung Jabung Barat, Jambi dan Musi Banyuasin, Sumatera Selatan. 

Pemasaran yang sudah dilakukan terbagi lokal dan ekspor. Di Indonesia sudah terbentuk kalangan yang mengutamakan produk ramah lingkungan, seperti di hotel dan restoran di beberapa kota besar. 

Untuk pemasaran keluar negeri, sudah dilakukan pengiriman satu kontainer yang memuat 240 ribu buah produk Plepah ke negara Jepang. Proses negosiasi dengan Jepang lebih mudah karena syarat white label dan terbiasa menerima produk anyaman dan rotan. Mereka secara terbuka bisa dengan mudah menerima aneka wadah dari pelepah Pinang.

Pada April 2023 Plepah mewakili Indonesia dalam pameran teknologi industri tingkat dunia Hannover Messe 2023 di Jerman. Plepah hadir sebagai perwakilan startup yang mempresentasikan inovasi maupun potensi investasi di sektor ramah lingkungan.

Rengkuh menuturkan antusiasme masyarakat di sana sangat tinggi pada produk sustainability. Dari pameran tersebut Plepah banyak mendapatkan permintaan dan ajakan bermitra bersama distributor dari Jerman dan beberapa negara di Eropa. Bahkan potensi kerjasama pun hadir dari Kanada dan beberapa negara Amerika Selatan.

Kerjasama dalam berbagai bentuk, seperti investasi serta kerjasama usaha. Yaitu permintaan produk untuk diekspor ke berbagai negara seperti Kanada, Jerman, Swedia, dan Belanda. Jumlah permintaan rata-rata satu kontainer sekitar 200.000 produk.

Ekspor ditargetkan terwujud tahun ini. Rengkuh berharap dari harga produk di pasar internasional yang sudah bisa kompetitif, bisa mensubsidi produk yang dipasarkan di dalam negeri.

Produk Plepah Berfokus Pengolahan Limbah

Awal tahun 2024, Plepah mulai fokus mengembangkan pelet yang terbuat dari limbah tanaman lainnya. Seperti tanaman tebu, bonggol jagung, dan lainnya yang diolah sebagai bahan bakar alternatif di PLTU. Hal ini diniatkan untuk mengurangi ketergantungan bahan bakar batubara. Jadi dengan produk dari Plepah nantinya PLTU diharapkan sedekit demi sedikit mengurangi ketergantungan terhadap batubara. 

Plepah juga bekerja sama dengan Pusat Penelitian Biomaterial LIPI di Cibinong, Jawa Barat. Kerja sama ini bertujuan mengembangkan bahan-bahan alami produk perkebunan sebagai alternatif kemasan sekalai pakai. Bahan-bahan yaang diteliti seperti batang pohon pisang, sorgum, tongkol jagung, serat kelapa, dan bambu. 

Sebuah perjalanan panjang dari tiga anak muda yang memiliki kepedulian pada lingkungan. Dan Rengkuh Banyu Mahandaru telah terpilih sebagai salah seorang Penerima Apresiasi Satu Indonesia Awards dari DKI Jakarta. Perjuangannya mengangkat limbah pelepah Pinang menjadi produk yang bermanfaat secara ekonomis dan lingkungan. 

Apresiasi Satu Indonesia Awards merupakan program pemberian apresiasi oleh PT. Astra International Tbk untuk generasi muda Indonesia yang berprestasi dan mempunyai kontribusi positif untuk masyarakat dan lingkungan sekitarnya. Ada lima bidang yang bisa diajukan sebagai penerima award, di antaranya Kesehatan, pendidikan, Lingkungan, Kewirausahaan, dan Teknologi. Semoga kalian yang membaca artikel ini memiliki kesempatan menjadi penerima award berikutnya. Wassalamualaikum.


Sumber Materi :
~ https://www.astra.co.id/satu-indonesia-awards
~ https://swa.co.id/read/406666/cerita-rengkuh-bangun-startup-plepah-berawal-dari-keresahan
~ https://www.greeners.co/ide-inovasi/plepah/
~ https://teknologi.bisnis.com/read/20231106/266/1711430/asa-dari-seikat-pelepah-untuk-masa-depan-bebas-sampah

Reading Time: