Assalamualaikum Sahabat. Suara ranting yang saling bersentuhan memperdengarkan musik alam nan merdu. Sesekali suara daun kering bergemerisik saat sepatu saya menimpanya dalam perjalanan di tengah hutan pohon jati. Suara burung mencericip, seakan menjadi pelengkap irama ayunan langkah kaki.
Kadang kita butuh diam saat melangkah pelan di tengah hutan, tidak perlu memusingkan sesuatu, menikmati suasana dan fokus pada suara-suara di sekitar kita. Masalahnya bagi warga kota besar, sangat sulit menemukan hutan kota. Karena kondisi sekarang ini kota besar lebih banyak memiliki gedung dibanding hutan kota.
Kota Semarang terkenal memiliki matahari yang terik apalagi kalo motoran dan terpaksa mesti berhenti di lampu bangjo. Bahkan ada yang suka bercanda kalo kota tercinta ini punya lima matahari. Bener sih terutama akhir-akhir ini saya udah malas benget keluar rumah kalo nggak ada urusan penting. Pengennya ngadem aja di rumah. Atau sekalian aja keluar rumah mencari tempat yang banyak pohon plus sungai dangkal dengan air jernih. Pengen ngadem banget ya Allah.
Eh tiba-tiba saya dapat info kalo ada hutan yang masih masuk kawasan Kota Semarang. Wihh penasaran dong di mana lokasi hutan di Kota Semarang yang masih terjaga kelestariannya.
Pembekalan Bagi Peserta Fun Forest Healing
Sabtu, tanggal 20 Juli 2024 saya dan teman-teman blogger Gandjel Rel berkesempatan ikut kegiatan Forest Therapy and Fun Forest Healing bersama PMI Semarang. Selain blogger, ada juga peserta dari duta kemanusiaan dan tim kesehatan PMI. Seru juga karena jumlah peserta ada sekitar 30 orang, dari usia anak sekolah SD sampai kami yang udah nyaris pra lansia.
Entah kenapa pagi itu terjadi drama saat saya berangkat diantar paksuami. Ceritanya kami udah sampai dekat dengan masjid Agung Jawa Tengah (dekat rumah kami), eh saya ingat kalo HP tertinggal di rumah. Balik lagi dong ke rumah yang jaraknya nggak sampai 5 menit. Duhhh, udah berangkat gasik juga jadi gagal kalo ada drama seperti ini.
Bersyukur saya tiba di Klinik Utama PMI Kota Semarang tempat titik penjemputan sekitar pukul 6.30 WIB. Klinik yang juga menjadi Markas PMI Kota Semarang ini letaknya Jl. MGR Sugiyopranoto No 35 Semarang. Selisih satu gedung dari Klinik Utama, merupakan kantor PMI yang juga dijadikan untuk warga mendonorkan darah.
Peserta yang sudah hadir diminta untuk registrasi dan cek tekanan darah. Saya sempat kaget karena tekanan darah saya 137/78, yang atas agak tinggi. Apakah karena saya sempat lari-lari dari pintu depan hingga ke dalam gedung, hehehee.
Setelah seluruh peserta lengkap, kami pun berangkat menggunakan armada yang udah disediakan oleh koordinator acara. Ternyata lokasi Hutan Wonosari Mangkang itu nggak jauh, waktu yang kami tempuh nggak sampai satu jam.
Rombongan tiba di base camp di hutan Wonosari Mangkang. Ada Ibu Ratna (Sekretaris PMI Kota Semarang), menyambut dan mengajak peserta masuk ke base camp. Bangunan sederhana yang menjadi tempat pembekalan peserta.
|
Dari ki-ka : dr. Awal, Dr. Hendro, Bu Ratna |
Bu Ratna secara ringkas menjelaskan bahwa PMI memiliki unit usaha seperti pembuatan batako dan pupuk. Rencananya juga akan dibuat kolam pemancingan di depan basecamp.
Sebelum kegiatan dimulai, kami mendengarkan sambutan dari Ketua PMI Kota Semarang Bp. Dr. dr. Awal Prasetyo, M.Kes, Sp. THT-KL, MM (ARS).
PMI tidak hanya berurusan dengan donor darah atau transfusi saja. Tetapi PMI juga membantu pemerintah Indonesia di bidang sosial kemanusiaan, antara lain menangani bencana atau musibah, membantu pelayanan kesehatan dan sosial pada masyarakat dan tugas-tugas kemanusiaan lain.
Lebih lanjut dijelaskan pula oleh dr. Awal bahwa menurut WHO, kesehatan itu dipengaruhi oleh 3 aspek, yaitu fisik, psikis, dan sosial. Ketiga hal ini harus seimbang termasuk aspek sosial yang ada relasinya dengan lingkungan sekitar. Seseorang yang udah mengalami ujian berulang kali, akan menanggapi biasa ketika mendapat ujian lagi. Ini aspek psikis yang tidak semua orang memiliki ketangguhan yang sama.
Timbulnya berbagai masalah pada aspek psikis ini yang menjadikan kesadaran munculnya niat mengadakan kegiatan forest therapy. Untuk yang pertama ini bisa disebut Fun Forest Healing sesuai dengan tema PMI tahun ini yaitu Humanity For Greenlife.
Kemudian ada pembekalan singkat tentang Forest Therapy dari Dr. Hendro Prabowo, S.Psi. Beliau adalah praktisi Forest Therapy sekaligus psikolog dari Universitas Gunadarma Jakarta. Dr. Hendro menjelaskan betapa pentingnya memberikan perhatian dengan sengaja yang sedang dilakukan saat ini atau disebut 'present moment'. Kesadaran
Selama ini kalo kalian pergi ke tempat kerja atau kampus atau kemana pun, naik motor atau mobil, kayak auto pilot. Kayak naik motor dan nggak sampai beberapa lama kok udah tiba di tempat tujuan. Loh tadi di jalan ketemu apa aja? Mungkin jarang kalian perhatikan. Karena kebutuhan untuk tiba di tempat tujuan secepatnya dengan alasan takut terlambat melakukan sesuatu.
Dari sini dr. Hendro mengingatkan agar peserta tidak memikirkan hal-hal di luar kegiatan, nikmati proses berjalan di hutan, dengan langkah pelan, dengan menggunakan 5 panca indra (sentuhan, penglihatan, pendengaran, penciuman, dan perasa) plus 1 yaitu insting.
Sarapan Sehat dan Nikmat
Telinga saya mendengarkan penjelasan terapis namun mata ini terpaut pada sosok ibu yang membawa senampan penuh isi pisang rebus. Ahhh perhatian saya teralihkan, Sahabat.
Tidak hanya pisang rebus, namun juga ada singkong rebus, kimpul, kacang, serta minuman bir pletok dan teh panas. Cemilan sehat ini rupanya disediakan ibu-ibu Siaga Bencana Berbasis Masyarakat (SIBAT).
Saya pun mengambil pisang dan bir pletok. Pisang rebus memiliki manfaat kalium yang alami dan bagus untuk tubuh. Bir pletok menghangatkan tubuh dan bermanfaat untuk pencernaan. Makan satu buah pisang rebus terasa kurang hingga saya pun mengambil singkong rebus. Ahhh, hati saya lumer karena tekstur singkong yang mempur (lembut/empuk).
Kalo ingin kenyang memang harus ngambil singkong atau pisang lagi, tapi nanti malah ngantuk jadinya. Saya pun mengambil tiga buah kacang rebus dan mengupasnya. Cukup deh untuk pengisi perut sebagai bekal jalan di hutan pagi ini.
Apalagi tak berapa lama setelah sesapan terakhir bir pletok, koordinator mengatur rombongan peserta menjadi dua kelompok. Karena blogger ada 8 orang, kami pun dibagi menjadi 4 orang untuk masing-masing kelompok.
Dan, perjalanan menembus hutan pun dimulai...
Mindful Walking
Saya, mbak Tanti, Mbak Farida Pane, dan mbak Ika masuk dalam kelompok 1 yang didampingi terapis Mas Rahman dan mba Ninik. Selain kami berempat ada juga peserta lain dari duta kemanusiaan, dan SIBAT.
Sebelum mulai perjalanan, kami sudah diminta untuk tidak membawa beban, seperti tas bahkan HP. Maksudnya agar kami benar-benar berjalan dengan langkah ringan dan santai. Terapis juga mengingatkan agar kami tidak bertanya tentang tujuan perjalanan ini sejauh apa, finishnya di mana, dan jarak tiap pos kira-kira berapa meter.
Kami diajak menyusuri jalan setapak di hutan jati Wonosari Mangkang dengan menerapkan mindful walking. Kami berjalan dalam diam, kami tidak saling berbicara, namun merasakan setiap pijakan kaki yang bersentuhan dengan tanah, batu, daun kering, dan benda yang ada di jalan.
Saat mulai masuk ke dalam hutan jati, mulai terasa kesejukannya dari angin yang berhembus. Suara daun dan dahan yang bergerak menimbulkan desau ritmis khas hutan. Suara fauna mengiringi langkah kami pagi itu, entah suara burung, unggas, atau serangga hutan. Kesemuanya itu menjadi satu alunan khas alami yang hanya dimiliki oleh hutan.
Selama ini karena tinggal di kota, jarang banget kan nemu daun kering dari pohon berukuran besar seperti jati atau trembesi.. Jadi saat fun forest ini saya seperti anak kecil, suka banget saat mendengarkan kaki saya menginjak daun kering. Suara yang muncul akan berbeda tergantung tingkat kekeringan daun.
SILENCE
Ada percabangan di depan mata, ketika mas Rahman menjelaskan tentang tumpukan sampah organik yang menarik minat kami. Ternyata ini bukan sampah biasa. Namun sampah yang berasal dari tulang daun jati itu bernilai ekspor. Iya, daunnya digunakan untuk pakan ternak. Sementara tulang daun dijadikan kompos namun melalui proses yang cukup lama. Kondisi sampah tulang daun jati, masih berusia beberapa bulan, jadi masih panas dan tidak layak dijadikan kompos.
Di dekat tumpukan kompos itu pula kami membentuk lingkaran dan melakukan silence. Oleh terapis/pendamping, kami diminta mengatur napas tanpa terburu-buru.
Kami diajari untuk bernafas menggunakan perut dengan penuh kesadaran. Caranya dengan menarik nafas perlahan melalui hidung hingga perut mengembang. Posisi ini dilakukan sambil merentangkan kedua lengan ke samping lalu ke atas. Masih dalam proses menahan nafas beberapa saat, dengan perlahan melepaskan nafas melalui mulut.
Saat mata terpejam ternyata berpengaruh pada suara alam yang tertangkap indera pendengar. Suara alam lebih intens, ada cericip burung, gemeresik daun yang bersentuhan dengan angin, serangga yang tak lagi ada di kota, terdengar jelas. Suara yang bikin jiwa saya tenang, hati terasa damai.
Tree Hugging
Saat melanjutkan perjalanan, kembali kami berjalanan dalam diam. Tiba lah kami di percabangan jalan berikutnya dan kaki saya terhenti. Indera penglihatan saya menangkap satu area di sisi kiri jalan yang nampak berbeda di hutan jati ini. Suasana di area itu terlihat lebih rimbun. Pepohonan trembesi yang dikenal sebagai tanaman yang mampu menyimpan air terlihat udah cukup tua. Beberapa pohon ada tanaman yang menempel, seperti anggrek hutan dan tanaman merambat lainnya. Lumut juga terlihat menempel di sebagian batang dan dahan.
Rasanya area itu seperti hidden gems yang memanggil saya untuk mendatanginya. Saya pun bertanya apa tempat ini boleh kami singgahi, atau harus di tempat lain sesuai panduan? Ternyata pendamping kami mengatakan boleh aja kalo ingin singgah di sini. Ah senangnya, saya pun berjalan memasuki area lahan yang menjadi tempat trembesi tumbuh dengan kokoh.
Pendamping pun meminta kami melakukana tree hugging, yaitu memeluk salah satu pohon yang ada di sana. Saya memilih pohon yang berbatasan dengan area hutan seberangnya. Sepertinya ada selokan dan aliran air yang tidak terlihat. Tapi pendamping kami juga bercerita kalo kawasan dekat dengan tanaman trembesi itu terdapat sumber air.
Saat tubuh saya menempel di batang pohon, ada kekuatan untuk lebih mendekat. Wajah saya makin menempel dan tak terasa kalo ada semut di atas kepala saya yang tengah menyusuri batang pohon. Lapisan kulit kayu yang kasar tidak saya rasakan. Dengan mata terpejam, saya justru merasakan kedamaian.
Mendadak ada suara angin yang cukup kencang di kawasan hutan di belakang tubuh saya. Terasa udara yang sejuk menyelimuti tubuh. Ahhh ini bukan lah pohon pertama yang saya peluk seumur hidup saya. Namun berbeda ketika mata terpejam dan merasakan kedamaian hutan ini secara mindful.
GROUNDING
Oleh pendamping yaitu Mas Rahman, kami diajak menuju aliran air yang katanya berasal dari curug di hutan ini. Wihhh saya yang anak kota dan selalu rindu bermain air di sungai kayak menemukan wahana baru.
Meski awal berangkat saya nggak tertarik bila nanti masuk ke sungai, tapi pemandangan di depan mata ini nggak boleh dilewatkan. Saya pun melepas sepatu dan kaos kaki, kemudian melangkah perlahan menuju sungai yang jernih airnya. Yup kami melakukan grounding atau bersentuhan langsung dengan bumi.
Mas Rahman menyarankan kami menikmati suasana di sungai. Kami diminta merasakan air yang dingin dan benda yang ada di dasar sungai. Rasanya jadi enggan beranjak dari kesegaran air yang berasal dari sumber mata air di hutan ini. Namun perjalanan belum usai.
Mindful Sitting
Kami mulai berjalan lagi. Karena ribet bila harus mengenakan kaos kaki dan sepatu, saya pun melanjutkan grounding. Tak berapa lama pendamping menyarankan kami berhenti dan duduk dengan posisi senyamannya.
Kami duduk dengan tenang dalam jarak yang tetap terpisah. Oleh pendamping kami diajak merasakan angin yang berhembus, suara burung, dan aroma hutan dengan mata terpejam. Kami juga diajari cara mengatur napas, seperti yang kami lakukan sebelumnya saat SILENCE. Selama proses mindful sitting itu, pendamping memberikan pendalaman materi yang bisa jadi bahan renungan. Seperti penerimaan diri, ikhlas, dan sabar setiap menemukan masalah.
Usai melakukan mindful sitting, kami melanjutkan perjalanan. Oia selama menyusuri jalanan di dalam hutan, sejak awal peserta tidak diperkenankan bertanya tentang pos 1 - 5. Kami hanya diminta menikmati proses perjalanan, tidak memaksakan jalan cepat, bernapas dengan teratur, sehingga tidak merasa lelah ataupun ngos-ngosan.
Kadang istirahat tak lebih dari dua menit. Kebetulan pula di tengah perjalanan kami menemukan sebatang pohon yang roboh. Ahhh rasanya nyaman kalo kami duduk sejenak sambil tetap mendengarkan suara-suara dari hutan.
Istirahat cukup sejenak. Kami melanjutkan perjalanan menuju curug. Membayangkan kata curug, semangat makin menyala. Namun kami tetap mempertahankan langkah perlahan, tak perlu tergesa-gesa.
Dari posisi yang agak tinggi kami berjalan beriringan dengan pemandangan aliran air di sisi kanan dan bukit di sisi kiri. Akhirnya kami menuruni jalur menuju curug. Suara air yang bergemuruh menandakan curug ada di depan kami.
Forest Bathing
Forest bathing dikenal pertama kali di Negeri Sakura, Jepang. Di sana terdapat sebuah metode healing klasik yang dikenal bernama Shinrin-yoku. Shinrin-yoku sendiri memiliki arti, melakukan kontak dan terpengaruh dengan suasana atau atmosfer hutan secara fisik maupun psikis (Peck, 2019).
Di kawasan curug ini pula kami mulai melakukan forest bathing. Peserta bebas memilih untuk berbaring atau duduk di atas matras yang diletakkan di atas bebatuan. Ukuran batu di sini pun tentunya tak sama namanya juga di alam bebas. Saya awalnya memilih posisi tiduran dengan mata terpejam. Lokasi yang saya pilih adalah jalan turunan berdekatan dengan pohon besar. Suasana adem, rindang karena di bawah pohon, membuai saya dan sejenak tertidur.
Sepertinya bukan hanya saya yang tertidur. Mungkin suasana hutan dengan curug yang memunculkan suara alam bersahabat memberi efek nyaman. Padahal bayangkan tubuh yang tidur di atas lahan tidak rata seperti dalam foto di atas. Harusnya tidak nyaman kan? Namun nyatanya kami merasa nyaman aja.
Mindful Eating
Hidup yang serba cepat sepertinya membuat beragam masalah muncul. Mandi, berpakaian, makan, bahkan berkendara serba tergesa-gesa. Tak heran kalo sekarang makin banyak orang mengeluh masalah kesehatan seperti asam lambung.
Tahu kah sahabat, kalo makan terburu-buru bakal menyebabkan lambung susah mencerna makanan?!
Setelah sesi forest bathing, kami beristirahat sejenak dan menikmati pemandangan sekitar curug. Ada dua panitia yang membagikan buah pisang pada peserta.
Asisten terapis mas Aziz mengajak peserta agar tidak langsung makan buah pisang tersebut. Dia mengajarkan peserta untuk perlahan menggunakan indera penciuman. Membaui aroma pisang, seperti apa menurut kalian?
Mindful eating dengan meraba tekstur kulit buah pisang, mengupasnya, membaui aroma daging buah, memperhatikan bentuknya. Kemudian mendekatkan ke mulut, jangan digigit dulu. Ketika muncul rasa lapar, baru lah gigit pisang, tahan dalam mulut dan kunyah perlahan hingga lembut.
Sebenarnya pisang yang dibagikan kemarin itu saya nggak suka. Pisang ambon memang sering saya beli untuk anggota keluarga di rumah namun saya nggak pernah ikut makan. Terus terang ini kali kedua saya makan pisang ambon. Yang pertama adalah saat melakukan ibadah haji, sepulang dari shalat dhuha di masjidil Haram. Ada orang baik yang membagikan pisang ambon. Saya tidak tertarik jadi nggak mendekat. Namun mendadak ada orang di sisi kiri yang mengangsurkan sebuah pisang pada saya. Katanya rejeki nggak boleh ditolak, ya udah saya terima dan kasih kepada suami.
Ternyata suami malah udah dapat 2 pisang ambon. Suami bilang, makan aja katanya tadi lapar. Mendadak saat itu perut saya menagih janji. Ya udah saya pun mengupas pisang tersebut dan makan sambil berdiri karena di sana tidak ada satu pun tempat duduk. Tempat kami menerima pisang adalah jalan basement hotel (loby pintu masuk) depan masjidil Haram. Jalur menuju terminal bus kami. Jadi memang tak ada kursi untuk duduk.
Kembali lagi mindful eating pisang ambon yang saya tak pernah mengonsumsinya, saya pun agak kaget. Kok saya tak ada keinginan menolak makan pisang? Mungkin bawah sadar saya merasakan suasana nyaman selama proses mindful di hutan. Berjalan sejauh 1,5 km dari basecamp hingga curug, perut pun meminta jatahnya. Entah lah apakah nanti sepulang dari fun forest ini saya bakal doyan pisang ambon atau balik lagi, hihii.
Bagi saya makan pisang ambon ini ibarat mengisi kembali energi ke dalam tubuh. Agar tubuh tetap kuat berjalan nantinya saat kembali ke basecamp.
Pulang ke Basecamp dan Berbagi Cerita
Perjalanan pulang ke basecamp udah bebas, kami saling bercerita. Suasana hati pun ceria setelah menikmati kedamaian hutan dan segala isinya. Gemericik suara air di kawasan curug menambah energi positif. Rasanya pengen lagi kembali ke hutan Wonosari Mangkang untuk bersentuhan dengan isinya.
Namun Dr. Hendro mengatakan saat sesi sharing, bahwa mindful therapi ini bisa dilakukan di mana aja. Nggak harus di hutan, di rumah pun bisa. Prosesnya sama, rasakan kehadiran diri dengan fokus terhadap yang sedang terjadi di sekitar.
Sebelum sesi sharing, peserta menikmati sajian makan siang yang nikmat dan menyehatkan. Ibu-ibu dari SIBAT sudah menyajikan menu tradisional dengan bahan sayuran yang ada di daerah tersebut yaitu sanca inchi.
|
Picture taken by Archa Bella |
Tanaman superfood ini tengah dikembangkan karena sayurnya bisa dimasak olahan tumis maupun lodeh, sedangkan bijinya bisa jadi cemilan sehat. Ada lauk tahu tempe bacem, bandeng presto, krupuk, dan lainnya. Perut yang lapar setelah berjalan sejauh PP 3 km, kembali terisi dan memulihkan tenaga. Alhamdulillah.
Rasanya saya ingin mengajak sahabat untuk merasakan pengalaman serupa. Karena kegiatan fun forest healing ini memberikan kebahagiaan dan kesehatan fisik, psikis dan sosial kita.
Fun Forest Healing ini bisa diikuti oleh semua warga Kota Semarang maupun luar kota. Biaya ikut fun forest healing ini terjangkau, cukup 150 ribu rupiah.
Ikuti akun Instagram PMI Kota Semarang untuk mengetahui cara daftarnya. Kegiatan akan dilakukan setiap hari Sabtu dan Minggu. Semoga bermanfaat yaa. Wassalamualaikum.