Assalamualaikum Sobat. Mengisi kegiatan di rumah saja, ada banyak kegiatan positif dan menarik yang bisa dilakukan saat pandemi. Seperti saat saya gabung bareng Aksara Pangan dalam Acara Seri Gastronomi Indonesia yang mengangkat tradisi Malam kelima belas bulan pertama dari Tahun Lunar Tionghoa di Singkawang. Dan di Singkawang lebih dikenal dengan sebutan Cang Nyiat Pan.
Sebagai orang yang terlahir dan tumbuh dewasa di kawasan Pecinan Semarang, tradisi masyarakat Tionghoa sudah familiar sedari kecil. Dulu saat masih usia di bawah 10 tahun, saya suka bermain di rumah tetangga yang memiliki grup Barongsay dan Liong. Grup ini sering latihan, kadang juga kegiatannya memperbaiki properti yang rusak. Senang aja gitu menyaksikan anggota grup berlatih dan melakukan atraksi yang energik.
Jadi ketika ada ajakan untuk gabung dalam acara Cang Nyiat Pan, saya segera melakukan registrasi. Dan tentunya berharap bisa terpilih menjadi peserta acara tersebut. Karena saya ingin mengenal lebih dalam tentang Cang Nyiat Pan. Yang bagi masyarakat di Jawa lebih dikenal dengan sebutan Cap Go Meh. Apa yang membedakan tradisi Cang Nyiat Pan di Singkawang dengan Cap Go Meh di kota Semarang, khususnya? Penasaran dong, kalian gimana? Baca sampai paragraf terakhir ya untuk menjumpai hal unik tentang Cang Nyiat Pan.
Acara yang dilaksanakan pada Tanggal 24 Februari 2021, pukul 19.00 WIB secara daring, diikuti oleh peserta dari berbagai wilayah tempat tinggal. Profesi mereka pun beragam, dari mahasiswa, blogger dan media.
Saya antusias banget menanti sejak satu jam sebelumnya. Dan ketika Pepy Nasution yang menjadi host acara malam itu mengenalkan narasumber, saya fokus mendengarkan. Sapaan dari Kak Pepy pada seluruh peserta cukup singkat. Dan Virtual Acara Seri Gastronomi Indonesia pun dimulai.
Chef Wira Hardiyansyah, Food Heritage Educator
Menurut Chef Wira pemilik akun Instagram @wirahardiyansyah2.0, masakan Indonesia itu perwujudan dari fushion food. Yaitu bertemunya masakan Barat dan Timur. Jadi ungkapan anak muda bahwa fushion food itu trend kekinian adalah salah besar. Karena sejak jaman dahulu yang namanya perpaduan dua budaya itu sudah terjadi. Dan secara akademis disebut juga asimilasi budaya.
Kalau membicarakan masakan Tionghoa, yang jadi pertanyaan kapan masakan Tionghoa singgah di nusantara?
Dari beberapa buku yang dibaca oleh Chef Wira, ada satu catatan yang terkuak dari buku Benny Setiono yang berjudul Tionghoa dalam Pusaran Politik.
Masyarakat nusantara telah berinteraksi dengan Dinasti Han tapi hanya di seputaran Pulau Jawa. Mereka menyebut nusantara adalah "Huang Tse". Catatan ini ada di Dinasti Han pada tahun 131 SM. Artinya interaksi masyarakat ini sudah terjadi sebelum tahun 131 SM.
Sobat bisa melihat gambar di bawah ini, yang menyatakan catatan di Prasasti Watukara I tahun 902 M. Terdapat kata tahu, yang menandakan sudah dikenal.
Sementara dari tulisan Jones Barret, tahu dalam prasasti itu diserap dari bahasa Hokkian atau dialek Selatan (Hainan) yaitu tau-hu.
Dari catatan di atas terlihat banyak sekali budaya Tionghoa yang diserap Nusantara. Salah satunya adalah sejarah liquid atau saus, kecap, bihun, mie, soun, tauco, dan lainnya. (Ishwara Hemen "Peranakan Tionghoa Indonesia, Sebuah Perjalanan Budaya, 2009)
Kemudian yang berikutnya adalah, bukan hanya bahan baku tapi ada juga teknik memasak. Yaitu teknik menggoreng yang diadopsi dari orang Tionghoa. Kuali dan penggorengan termasuk alat memasak yang dibawa oleh orang-orang Tionghoa. Bahkan menumis (fan chao), menggunakan sedikit minyak (jian), dan menggoreng dalam minyak banyak (zha ---> disebut Cah), tak pernah dikenal oleh penduduk nusantara.
Nah ada yang perlu kalian ketahui, bahwa tahu dan gorengan ini jaman dulu hanya kasta tertentu yang bisa menikmatinya. Beda dengan sekarang yang semua orang bisa menikmati gorengan.
Lantas bagaimana dengan lontong Tjap Go Meh? Masakan yang selalu ada dalam hidangan saat Cap Go Meh ini bukan masakan asli Tionghoa. Masakan Tionghoa murni tidak memiliki rasa yang kaya, rumit, dan kompleks. Biasanya masakan Tionghoa lebih menekankan citarasa asli.
Artinya ada akulturasi budaya dalam masakan. Karena masakan Tionghoa murni tidak ada campuran rasa yang kompleks.
Chef Wira sempat bercanda dalam penuturannya.
"Seperti ketika bawang putih dan bawang merah ditemukan dalam masakan, itu bukan drama. Tapi bawang merah itu dari India, dan bawang putih dari China. Masakan yang tersaji dari akulturasi budaya."
Tahu juga kah dengan Ronde/Tang Yuan? Jauh sebelum itu ada jenang gempol yang asli Indonesia. Ronde, Yuan Xiao, Tang Yuan itu sama seperti Jenang Gempol. Maknanya adalah melambangkan bersatunya sebuah keluarga besar yang memang menjadi tema utama dari perayaan Hari Imlek yang dipungkasi dengan Cap Go Meh. (Yoest M.S.H. "Tradisi & Kultur Tionghoa" - 2004)
Salah satu contoh bertemunya budaya dalam masakan adalah sajian Tumpeng yang ada isinya mie. Yang menurut masyarakat Tionghoa adalah umur panjang. Artinya benturan budaya tidak bisa dihindarkan untuk akulturasi makanan ini.
Mengenal Singkawang
Sobat udah tahu Singkawang terletak di mana? Selama ini kalian mungkin akrab dengan Pontianak. Nah, singkawang terletak di Kalimantan Barat.
Kalo menurut jalur rempah, orang Tionghoa hanya transit menuju di Malaka. Tapi tidak mengenalkan budaya di sana. Yang menghubungkan Tionghoa dengan Malaka adalah Kalimantan. Jadi transitnya di Kalimantan. Pada tahun 1740 mereka didatangkan untuk dipekerjakan di pertambangan emas oleh Sultan Sambas. Dari sini terjadi benturan budaya besar-besaran.
Berbicara tentang kuliner di Singkawang, ada Bubur Pedas. Sementara bagi orang nusantara lebih dikenal sebagai Bubur Gunting. Ini merupakan resep turun temurun warga keturunan Tionghoa yang bermukim di Singkawang.
Kuliner berikutnya adalah Choipan, berasal dari bahasa Hakka. Choipan sendiri dari beberapa website dan buku mirip dengan makanan China itu zouzy. Zouzy itu tiap kelipatan mengandung unsur kehidupan. Semakin banyak kelipatannya akan semakin baik. Kalo dari susunan bila disusun melingkar seperti ini akan biasa. Tapi kalo kita susun lurus hidup akan semakin maju.
Jadi bukan hanya nusantara saja yang memiliki makna dalam masakan. Tionghoa juga punya budaya tentang makna sebuah makanan.
Kuliner Mie dan Tiaw yang merupakan budaya Tionghoa yang kita sendiri tidak bisa menyangkal. Marcopolo pernah membawa mie berupa spagehti pada abad 13, di Italia sampai sekarang masih jadi ajang perdebatan. Apakah spagheti itu membawa dari china atau tidak.
Penutup sharing dari Chef Wira, Tradisi memasak Tionghoa sampai sekarang masih kita adopsi. seperti penggunaan wajan, masak dengan cara menumis, serta bahan pangan berupa tahu yang kita pakai sampai saat ini.
Kehadiran kuliner Tionghoa ini memberi warna bagi kuliner asli Indonesia. Semakin banyak inovasi kelahiran kuliner-kuliner baru Indonesia. Dan perannya sangat besar dalam menambah variasi rasa pada kuliner Indonesia.
Mengenal Budaya Cap Go Meh oleh Dr. Hasan Karman, SH., MM
Bapak Hasan lahir di Singkawang, kemudian saat remaja meninggalnya kota kelahiran dan kuliah di Universitas Indonesia. Sekarang meski beliau tinggal di Jakarta tapi tidak pernah meninggalkan budaya Singkawang. Bapak Hasan seorang Budayawan Peranakan Singkawang dan pernah menjabat sebagai Walikota Singkawang Tahun 2007 - 2012.
Bapak Hasan memaparkan tentang latar belakang Cap Go Meh. Kalo di Singkawang lebih dikenal Cang Nyiat Pan. Pemaparannya bisa dilihat dalam gambar berikut ini :
Ada perbedaan penyebutan di antara ketiganya. Semua sebutan itu jangan sampai jadi bingung. Karena sub etnis orang Tionghoa itu ada banyak. Mereka menggunakan dialog atau aksen yang berbeda-beda.
Awal Mula Istilah Lantern Festival
Bapak Hasan mengajak kami menelusuri asal usul Cang Nyiat Pan, mulai dari yang tercatat oleh Dinasti HAN. Menurut legenda di masa itu, awalnya dirayakan sebagai Hari Penghormatan kepada Dewa Thai Yi. Ini adalah dewa tertinggi di langit sesuai ajaran Taoisme.
Ritual ini diselenggarakan secara tertutup setiap tahun di tanggal 15 bulan pertama Imlek. Jadi bukan perayaan buat umum dan hanya kalangan istana yang boleh ikut. Itu pun dilakukan pada malam hari. Karena itu lah harus dipersiapkan penerangan yang dimulai dari senja hingga esok harinya.
Nah itu lah sebabnya perayaan ini juga dikenal sebagai Lantern Festival oleh dunia Barat dan di luar Tiongkok. Karena pada hari itu penuh dengan lampion dan lampu berwarna warni.
Saat Dinasti HAN runtuh, perayaan Yuan Xiao Jie mulai dikenal secara luas dan dirayakan sebagai penutup penyambutan Musim Semi atau Tahun Baru Imlek. Kegiatan yang biasanya dilakukan adalah makan malam bersama keluarga. Kemudian masyarakat menikmati keindahan bulan purnama sempurna sambil menonton Tarian Naga, Liong, dan Barongsai. Mereka juga berkumpul mengadakan permainan teka-teki dan permainan lainnya.
Pada malam itu mereka juga menyantap sejenis makanan khas "Yuan Xiao atau Tang Yuan". Sajian Yuan Xiao atau Tang Yuan ini bagian penting dalam festival tersebut. Bentuknya bulat seperti bola-bola kecil yang terbuat dari tepung ketan. Tang Yuan atau kalo di Indonesia dikenal Wedang Ronde, adalah makanan peranakan yang wajib ada dalam perayaan.
Cap Go Meh di Luar Tiongkok
Sejak berabad yang lalu, keturunan Tionghoa telah melakukan migrasi keluar dari Tiongkok Daratan. Sebagai bangsa yang memiliki sejarah lebih dari 5000 tahun, tradisi dan budaya melekat kuat dalam diri mereka. Budaya ini pun turut dibawa saat mereka beremigrasi. Termasuk hari-hari perayaan yang salah satunya adalah Cap Go Meh.
Dengan nama asli Yuan Xiao Jie di Tiongkok, masyarakat di Asia Tenggara seperti Malaysia, Singapura, dan Indonesia lebih mengenalnya dengan sebutan Cap Go Meh. Hal ini karena pengaruh bahasa Hokkian. Kegiatan yang dilakukan saat Cap Go Meh ini adalah melakukan syukuran bagi pemeluk Tridharma (Taoisme, Budhisme, dan Confucianisme).
Kegiatannya hampir mirip dengan di negeri asalnya, yaitu :
- Memasang lampion dengan berbagai variasi
- Berkumpul dengan keluarga dan makan bersama
- Membakar kembang api
- Menikmati keindahan bulan purnama, dan lainnya.
Cerita dari pak Hasan, yahun 1979 beliau penah merantau di Jawa Timur, ditunjukkan wedang ronde. Dia tadinya nggak tahu itu minuman apa. Begitu melihat dia tertawa karena ternyata sama dnegan hidangan Tionghoa. Nah akulturasi budaya terserap dalam hidangan ini.
Cerita Cang Nyiat Pan di Singkawang
Seperti yang disebutkan sebelumnya, bahwa perayaan hari kelima belas di Singkawang disebut Cang Nyiat Pan. Berbeda dengan penyebutan di kota lain di Indonesia yaitu Cap Go Meh.
Namun perbedaanya tak sampai di situ saja. Perayaan Cang Nyiat Pan di Singkawang mempunyai keunikan tersendiri. Jadi pada hari ke-12 itu di Kota Singkawang udah mulai hiruk pikuk kelompok "TATUNG". Tatung adalah orang-orang yang kerasukan dan mengenakan baju khas. Tatung-Tatung ini keliling kota dengan diiringi tabuh-tabuhan. Saat pandemi ini arak-arakan Tatung tidak diadakan dengan alasan agar tidak membuat cluster baru.
Setiap keliling itu, Tatung selalu mampir ke klenteng besar untuk sembahyang. Klenteng nomer 2 terbesar di Singkawang ini merupakan klenteng tertua. Ritual sembahyang ini untuk mengusir roh jahat. Mereka tertib masuk satu persatu dan sembahyang bergantian.
Tatung ada juga yang memakai pakaian adat Dayak, itu menunjukkan akulturasi budaya Tionghoa dan Suku Dayak.
Ada pula acara lelang barang-barang yang beraneka ragam. Awalnya Cang Nyiat Pan dulu yang dilelang adalah makanan dan buah yang ada di meja altar. Bahkan ada pasangan jeruk bali yang biasanya sepasang harganya puluhan ribu bisa menjadi jutaan. Uang ini untuk disumbangkan untuk perayaan upacara Cang Nyiat Pan.
Dari Rumahan Menjadi Komoditas Culinary Tourisme
Kuliner Singkawang dulunya merupakan makanan rumahan. Sekarang menjadi komoditas turis atau pariwisata. Dulunya, sekitar sebelum tahun 1970 restoran di Singkawang itu masih sedikit.
Dari keluarga, punya banyak anak banyak rejeki. Maksudnya adalah anak-anak ini lah yang nanti akan membantu mengolah masakan di dapur. Jaman dulu jajan di luar rumah itu bisa jadi omongan orang. Jadi pilihan masak di rumah dan dibantu anak-anak menjadi kegiatan rutin.
Karena kebiasaan masak dan makan di rumah sendiri, tidak heran jika anggota keluarga banyak yang pintar masak. Mereka yang merantau keluar Singkawang, bercerita dengan keluarga yang dinikahi di kota yang sekarang. Biasanya mereka ini akan memasakkan kuliner Singkawang. Meski rasanya bisa beda, tapi ketika mereka mudik ke Singkawang, akhirnya bisa merasakan kuliner yang asli. Dan ternyata restoran di Singkawang tidak sama dengan yang mereka selama ini nikmati di kota tempat tinggal.
Di singkawang itu kuliner yang dijual mirip dengan masakan rumahan. Bahan sayuran sawi putih, udang galah, kepiting, daging, dipajang di etalase. Jadi masakannya persis seperti masakan rumahan. Bukan kayak di restoran di kota lain di luar Singkawang. Ini salah satu rumah makan 188 di Singkawang.
Jadi pengunjung yang datang bisa memilih dari sayuran atau ikan yang digantung di depan resto. Kalo tidak tahu, pengunjung bisa nanya kepada koki. Nantinya koki akan menjelaskan bahan ini dimasak seperti apa. Nah tampilannya seperti masakan rumah.
Kuliner Cap Go Me Pontianak Kalimatan Barat oleh Chef Meliana Christanty
Chef Meli menuturkan ia belajar dari koki-koki rumahan. Dari rumah ke rumah, warung, pasar tradisional, hutan, sungai, rawa, ladang, dan lahan gambut. Dan hasilnya memberi kita bahan pangan berlimpah yang sangat kaya. Dari sana chef Meli mengenalkan kembali hidangan ini ke level yang lebih luas lagi. Dengan penyajian yang modern dan rasanya tetap yang otentik.
Chef Meli tinggal selama 14 tahun di Kalimantan. Dia menuturkan adanya Makan Besar saat perayaan Cang Nyiat Pan. Dan biasanya ada 8 hidangan utama dan hidangan pendamping. Aneka kudapannya seperti kue kering, kue basah, dan kue lainnya.
Kue nastar ini dibuat dari bahan yang segar, seperti selai nanas itu bikin sendiri. Ibu-ibu di Pontianak selalu membuat makanan dan kue dari bahan yang bagus dan masih segar. Semua kudapan di Pontianak ini selalu dibuat dari bahan yang segar, dengan pewarna alami, dan dimasak sendiri.
Mengapa selalu ada jeruk, karena melambangkan kemakmuran. Kalo minuman tergantung tuan rumah yang menyediakan.
10 Makanan Paling Utama Untuk Cap Go Meh
- Sarang burung walet
Tips dari Meliana, cara membersihkan sarang burung walet untuk menghilangkan bulu dan kotorannya. Dengan cara merendam dalam air. Ditaruh di wadah tahan panas, diberi air, dikasih gula batu, daun pandan, biji bery, daun ginseng, dan lainnya. Kalo cara klasik yaitu double boiler, dikukus lagi. Jadi wadah sarang burung ini tidak langsung kena api, jadi dikukus gitu.
Metode doble boiler ini dipakai untuk mengilangkan aorma amis. Daun pandan, gula batu, atau kadang ditambah kelengkeng kering ini bisa juga untuk aroma terapi untuk pengobatan.
- Teripang, direndam dan diganti airnya tiap hari
- Kelopak Ikan
- Ikan Sema, ikan yang hidup liar di sungai itu lebih enak karena mengandung minyak
- Rebung, penduduk Pontianak selalu memilih yang segar
- Udang, melambangkan kemakmuran. Biasanya udang galah, atau bisa juga diganti udang lain yang lebih kecil.
- Pork/babi, yang dipakai dagingnya, iga, atau perutnya.
- Bebek
- Ayam kampung
- Jamur bebagai jenis
Jenis hidangan yang tersaji di acara cap gomeh
Setiap keluarga mempunyai kekhasan masing-masing. Tetapi pakem yang dianut akan tersaji 8 jenis hidangan dan ditambah nasi serta buah atau cocktail. Total hidangan ada 10 jenis.
Jenis Hidangan Yang Tersaji di Acara Cap Go Meh :
1. Chiang mie sejenis misua yang dimasak tanpa kecap manis. Penambah warna bisa menggunakan telur, atau dari sayuran yang berwarna orange dan hijau. Misalnya wortel dan buncis yg dibentuk korek api.
2. Masakan Ca, bisa hebiaw, fish maw,bakso ikan atau haisom/teripang. Kemudian ada kiga rebung, haisom dan sam chan. Sam chan ini babi ya. Jika tidak makan babi, bisa diganti ayam kampung.
3. Hekeng, dipadukan dengan saus yang kental dengan rasa asam dan manis.
4. Ikan, bisa ikan Dorang/Dogang atau bawal jenis putih. Atau ikan jelawat, ikan bodoh (ikan malas/ikan hantu). Nama lainnya banyak, ada bakut, bakutut, balosoh, boso, boboso, gabus bodoh, ketutuk. Dinamakan ikan bodoh karena ikannya tuh diam aja alias nggak berenang kesana kemari seperti ikan lainnya. Nah biasanya ikan ini diolah dengan digoreng menggunakan bumbu kunyit. Atau dikukus dengan bumbu jahe.
5. Tek Sun atau rebung yang ditumis dengan daging
6. Udang Galah Asam Garam
7. Babi, yang terdiri dari masakan :
- Phak Lo yaitu Sam chan dimasak Lo. Bisa diganti ayam atau bebek utuh dimasak Lo. Juga ada tambahan telur rebus dimasak Lo.
- Te Ka atau kaki babi masak kecap yang kadang dicampur haisom.
- Cai Kwa yaitu sawi asin kering yang dimasak dengan sam chan.
- Sate babi atau bisa juga diganti sate ayam.
8. Sup Bebek Asinan Plum. Untuk Asinan Plum bisa diganti dengan Asinan Jeruk Nipis.
9. Ayam, yang dimasak ayam arak, ayam serundeng, kari ayam kampung.
10. Selada
Setelah menikmati hidangan berat dan kue yang manis-manis, paling enak makan buah. Bisa Salad buah, dengan dicampur dressing susu kental manis, mayonais, atau kadang masak sendiri
Di samping hidangan di atas, ada kondimen untuk mendampingi Hidangan tersebut. Orang Indonesia kalo nggak makan sambel rasanya ada yang kurang. Budaya peranakan di Pontianak udah bercampur dengan budaya kuliner nusantara. Di sana yang dominan adalah Tionghoa, Dayak, dan Melayu. Jadi percampuran tiga budaya ini rasanya lebih kaya rasa.
Yaitu Sambal Blacan, ini cara bikinnya cabe rawit merah, bawang putih yang ditumbuk dengan alu. Sampai biji cabenya tidak terlihat. Ada juga Sambal Mangga Muda, Cincalok dicampur Kalamansi (Kit Kia) dan irisan cabe rawit atau ebi yang dimatangkan dengan air kalamansi. Lalu dicampur dengan irisan sawi asin dan cabe rawit merah.
Selain itu masih ada lagi Comfort foods, yaitu makanan yang dirindukan yang akan dicari saat pulang ke kampung halaman. Semacam hidangan yang khas, Asam pedas ikan salah satunya comfort foods penduduk Pontianak. Bumbunya kunyit, cabe kering yang diblender agar keluar warna merahnya. Cabe kering ini di Pontianak biasa digunakan. Asam Pedas Ikan ini kuliner dari percampuran Tionghoa dan Melayu.
Ada juga Terung Asam Rimbang yang dulunya tumbuh liar di hutan. Cerita chef Meli sungguh menarik dan membuka wawasan saya. Menarik banget dan jadi pengen ke Singkawang.
Setelah pemaparan dari chef Meli, masih ada sesi tanya jawab. Sayangnya saking asiknya mendengarkan tanya jawab, saya terlupa menulis. Kalian bisa menyaksikannya di channel Youtube Aksara Pangan dengan judul Cang Nyiat Pan.
Daan, akhir acara daring ada sesi foto bersama, hihiii. Silahkan cari yang mana wajah saya?
Tak lupa saya mengucapkan terima kasih pada Aksara Pangan. Karena telah mendapat kesempatan gabung dalam Acara Seri Gastronomi Indonesia. Harapan saya sih pengen bisa berkunjung ke Pontianak dan Singkawang suatu hari nanti. Untuk menyaksikan Cang Nyiat Pan yang seru, unik dan meriah. Wassalamualaikum.
Sumber Materi dan Foto :
@ Sosial Media Aksara Pangan
@ Dari pemaparan narasumber ;
- Chef Wira Hardiyansyah @wirahardiyansyah2.0
- Bapak Dr. Hasan Karman, SH, MM @hasankarman_
- Chef Meliana Christanty @melianachristanty