Mendampingi Anak Korban Verbal Bullying
Assalamualaikum Sahabat. Tema arisan periode 6 ini mengingatkan saya saat si bungsu kelas 5 SD. Biasanya bullying itu dilakukan oleh sesama teman atau kakak kelas, adik kelas kan. Beda yang dialami si bungsu, dia menjadi korban bullying gurunya.
Saya sebenarnya udah menutup luka lama ini. Dahulu saya bahkan sempat mengucapkan kalimat, enggak apa anak saya menjadi korban. Tapi insyaa Allah, dia akan menjadi anak yang sukses.
Meski saya nggak mau anak saya menjadi martir. Karena guru yang mengajar di kelas 5 ini setiap tahun selalu melakukan hal serupa. Korbannya aja yang ganti karena anak didiknya kan naik ke kelas berikutnya.
Cerita Korban Verbal Bullying Kala Itu...
Saya melihat perubahan perilaku Naufal. Dia bungsu kami yang selalu ceria mendadak jadi pendiam. Memang aslinya anaknya pemalu tapi enggak pendiam banget lah kalo di rumah. Dan saya pun mencari informasi ke putra tetangga yang satu kelas dengan si bungsu ini.
Ternyata temannya nggak tahu, apa yang dialami si bungsu saat di sekolah. Saya bahkan tak menaruh curiga kalo anak saya ini mengalami verbal bullying.
Baru lah saat beberapa hari kemudian si bungsu curhat tentang nilainya yang menurun. Alasannya dia tidak bisa mendengar gurunya berbicara karena duduknya di belakang. Si bungsu memang anaknya bongsor, waktu usia 10 tahun itu BB udah 43 kg. Abis khitan juga waktu naik kelas 5 jadi nambah tinggi dan gemuk. Anaknya doyan makan dan nggak punya pantangan, apa aja doyan.
Saya pun berkunjung ke kelas 5 esok harinya untuk menanyakan tentang rolling tempat duduk siswa. Namun rupanya guru kelasnya kurang berkenan dengan pertanyaan saya tentang rolling kursi ini. Padahal di sekolah itu udah biasa siswa melakukan rolling tempat duduk tiap minggu sekali. Jadi tiap siswa akan merasakan duduk di kursi depan, belakang, samping kanan, ataupun kiri. Adil kaaan?!
Saya pun pulang ke rumah namun tetap meminta guru kelas si bungsu agar mendengarkan aspirasi orang tua murid.
Saya juga memantau perkembangan tentang rolling dengan bertanya pada si bungsu seminggu kemudian.
"Gimana dek, masih duduk di belakang sendiri?"
"Sekarang dduduk paling depan," Naufal tertawa, terlihat hepi.
"Alhamdulillah ya dek, jadi dengar dong ucapan Bu Guru,"
Saya udah melupakan masalah ini, sambil tetap menitipkan pesan agar dia protes kalo duduknya di belakang terus kayak kemarin. Semua siswa punya hak untuk meminta rolling tempat duduk.
Ternyata ada kejadian yang agak parah dialami si bungsu. Entah bagaimana kesalahannya, si bungsu kerap dipanggil dengan sebutan anak bodoh. Saya mendapat info dari tetangga yang anaknya satu kelas dengan si bungsu.
Saya marah dong! Masa ada seorang guru yang memberikan jugdment kata-kata buruk pada siswanya sendiri?!
Saya pun mendatangi guru kelasnya dan protes dengan ucapannya. Tentu saja saya mengajukan keberatan dengan sopan, bukan memaki atau berteriak. Saya masih punya adab sopan santun juga dan tak ingin si bungsu malu dengan sikap ibunya.
Entah guru kelas yang sejak awal nggak suka dengan permintaan rolling hingga terbawa dengan masalah terakhir, saya tidak tahu. Yang pasti tiap saya mengajukan keberatan dengan senyum manis, beliau juga menanggapi dengan baik. Namun ternyata dia memberikan penilaian buruk tingkah laku si bungsu. Bahkan kepala sekolah udah mendapat laporannya.
Saya mengetahui masalah ini saat dipanggil oleh kepala sekolah. Katanya ada yang melaporkan bahwa anak saya merokok di sekolah. Astaghfirullah... saya itu orang yang paling keras dengan perokok. Masa iya anak saya malah merokok di sekolah?
Dari hasil perbincangan dengan kepala sekolah, saya mendapat informasi bahwa si bungsu terlihat memegang rokok dan meniup-niupnya. Ada guru agama yang melihat dari jauh. Karena tahu si bungsu adalah siswa guru A, dia pun lapor pada guru kelasnya.
Yang bikin saya kecewa adalah ucapan guru kelasnya. Seperti ini ucapannya,"Saya tahu Naufal itu merokok karena nyontoh bapaknya,"
Mata saya membesar, kaget dong.
"Maaf Ibu, dari mana Ibu tahu kalo suami merokok? Coba kalo berbicara dengan mengemukakan fakta yang benar. Suami saya itu orang yang nggak pernah merokok, baik di rumah, di lingkungan RT RW, keluarga besar."
Guru wali kelasnya cuma tersenyum, melihatnya aja udah nggak enak banget lah waktu itu.
"Ibu kan pendidik, masa dengan mudah selalu memberikan jugdment negatif seperti itu. Silahkan datang ke tetangga saya, Ibu tahu kan rumah kami. Tolong tanya kepada mereka, apakah suami saya seorang perokok?!"
Masalah ini diselesaikan dengan peringatan untuk anak saya agar tidak mengulangi perbuatannya. Masya Allah, saya sungguh harus bersabar mendengar keputusan itu. Saya hanya mampu mengucap istighfar agar tidak emosi mendengar anak saya dikatakan merokok di sekolah.
Selang beberapa bulan kemudian, baru saya tahu bahwa si bungsu memang memegang rokok. Dia menemukan rokok yang masih panjang. Namun dia dan temannya saling memegang bergantian. Apesnya waktu dipegang si bungsu, ada guru agama yang melihat.
Saya melihat ada kondisi yang memang tidak menguntungkan si bungsu. Namun saya yang udah lelah protes ke sekolah, menganggap ini adalah ujian bagi saya di si bungsu.
Bahkan ada saran dari tetangga yang anaknya pernah menjadi siswa di bawah arahan guru tersebut, untuk memberi amplop. Saya tegas menolak waktu suami cerita saran tetangga. Memang guru tersebut terkenal suka diberi sesuatu oleh orang tua murid. Dan tiap tahun selalu bermasalan dengan anak didiknya hingga sering mendapat protes dari orang tua siswa.
Saya dan suami bahkan baru tahu, saat itu sebenarnya ada beberapa wali murid yang juga ingin mengajukan keberatan pada kepala sekolah atas perbuatan guru kelas 5. Namun mendengar sikap kami yang sudah protes duluan, mereka nggak jadi melakukannya.
Masalah yang dihadapi anak-anak mereka tidak sama persis. Namun guru kelas tersebut melakukan verbal bullying pada siswa-siswa yang juga teman sekelas Naufal. Ada yang disebut anak goblok, atau tukang jajan, dan sebutan negatif lainnya dan itu tidak pantas diucapkan oleh guru wali kelas atau pendidik.
Mendampingi Anak Korban Verbal Bullying
|
Picture by Pexels |
Bukan hal mudah mendampingi si bungsu saat kena bully gurunya. Dia sampai trauma tiap Senin pagi tiba. Misalkan sejak pagi udah siap dengan pakaian dan sarapan, mendadak mogok ke sekolah. Pusing kan saya waktu itu, apalagi masih harus mempersiapkan berangkat kerja. Beberapa kali saya ijin terlambat ke kantor karena mencari tahu apa yang sedang terjadi pada si bungsu.
Peran orang tua mendampingin anak yang menjadi korban verval bullying ini sangat penting. Setiap hari saya memberikan dukungan dengan menyuntikkan kalimat motivasi agar si bungsu tidak takut terhadap gurunya.
Yup, si bungsu seperti ketakukan berangkat dan bertemu guru kelasnya. Trauma banget pokoknya.
Alhamdulillah dengan pendampingan yang saya lakukan bersama suami dan kakaknya, si bungsu berangsur pulih. Dia bisa naik kelas dengan nilai memuaskan. Terlebih guru kelas 6 yang menjadi wali kelasnya adalah orang yang senang memotivasi.
Usai terima raport, guru wali kelas 6 langsung mendatangi si bungsu dan mengajak bicara. Ternyata guru wali kelas 6 ini telah membiasakan untuk menyambut calon siswanya dengan mengucapkan kalimat motivasi. Agar semangat dan siap menjadi siswa kelas 6 yang selalu bahagia.
Aduh sungguh saya terharu mendengar cerita si bungsu tentang kalimat motivasi yang disampaikan gulu kelas 6. Seakan kondisi yang dialami si bungsu sebelumnya terhapus oleh ucapan yang bikin hati adem.
Saya ingin sharing apa aja yang mesti dilakukan orang tua untuk mendampingi anaknya yang menjadi korban verbal bullying.
Verbal bullying itu tidak terlihat secara fisik namun tidak boleh dibiarkan. Verbal bullying adalah penindasan yang dilakukan dengan mengucapkan kalimat negatif. Efeknya bisa lebih dahsyat dibanding kekerasan fisik. Karena tahu dong kekerasan verbal itu nancap di hati, bahkan ada yang mengakibatkan efek 'mematikan' si korban.
Berikut ini tips mendampingi anak korban verbal bullying :
1. Kenali Gejala Anak Kena Verbal Bullying
|
Picture by Pexels |
Verbal bullying tidak terlihat karena kekerasan dalam bentuk ucapan. Namun orang tua bisa mengenali dari gejala yang nampak. Dari perubahan perilaku, sikap anak yang semula ceria berubah murung. Atau anak mencari perhatian dengan melakukan tindakan yang tidak seperti dirinya selama ini.
Bisa terlihat kok, seperti saya yang menemukan si bungsu terlihat tidak hepi. Tidak lagi mau duduk dekat saya saat nonton TV. Ternyata dia membentengi dirinya agar tidak diajak bicara oleh saya, ayahnya maupun kakaknya.
2. Ajak Anak Menghadapi Pelaku Bullying
Saya sudah mengetahui bahwa pelaku bullying adalah guru kelasnya. Pertama tahu pelaku verbal bullying adalah guru, saya mencari tahu tentang dirinya. Rupanya beliau udah dikenal sebagai guru yang suka melakukan verbal bullying. Setiap tahun selalu ada siswa yang menjadi korban bully dan enggak hanya satu anak.
Namun saat itu kekerasan verbal belum begitu diperhatikan seperti halnya kekerasan fisik.
Beda ya tindakan menghadapi pelaku verbal bullying dari guru dan sesama teman. Guru itu punya kuasa memberikan nilai pada anak saya. Jadi saya harus pintar-pintar mencari kalimat yang tidak menambah beban bagi si bungsu ketika di kelas. Gurunya kalo nggak suka dengan wali murid yang kena anaknya. Tapi saya selalu memberi pengertian pada si bungsu bahwa dia harus berani bertanya di kelas. Dia juga tidak boleh mendengarkan omongan negatif dari gulu kelasnya.
3. Beri Tahu Pihak Sekolah
Sebenarnya sebelum saya melakukan tindakan protes, ada temannya Naufal yang udah kena duluan dan ada dua anak. Cuma karena anaknya tidak ngasih tahu orang tuanya, tenggelam deh dengan kasus anak saya. Orang tua mereka ini yang ternyata punya rencana akan protes kepada kepala sekolah, namun nggak jadi. Sudah ada saya yang menjadi leader protes duluan.
Kepala sekolah pun sebenarnya sudah mengetahui bahwa tenaga guru yang mengajar kelas 5 sudah serin diprotes wali murid. Dua tahun sebelum anak saya, ada orang tua murid yang melaporkan hingga ke Dinas Pendidikan Kota. Udah ada teguran pula, namun belum sampai dipindahkan ke sekolah lain.
Jadi ketika saya protes pun tanggapan kepala sekolah hanya menenangkan dan berjanji akan menegur guru kelas 5. Namun bukannya berubah, justru anak saya yang diintimidasi. Puncaknya kejadian tentang merokok seperti yang saya ceritakan di atas.
4. Pantau Selalu Keadaan Anak
Orang tua jangan pernah menyerah ketika anak merengek tidak ingin sekolah. Seperti anak saya tiap hari Senin seperti kayak trauma enggak mau masuk ke sekolah. Pernah saya mendapat telpon dari suami yang mengabarkan kalo si bungsu lari keluar dari halaman sekolah menuju masjid. Akhirnya diajakin mengambil air untuk wudhu dan shalat Dhuha. Usai shalat, diajakin ngobrol lah sama babenya. Dan akhirnya mau masuk kelas setelah beberapa waktu.
Suami sendiri yang nganter tapi dari jauh dan guru kelasnya melihat keluar saat Naufal masuk kelas. Tahu kayaknya kalo ayahnya Naufal anter dari jauh, karena senyumnya manis sekali saat menyambut si bungsu.
Intinya tetap pantau sikap anak, perhatikan hal kecil, tanya kegiatan apa seharian itu di kelas. Bagaimana sikap si pembully, apakah udah ada perubahan dari nya. Orang tua diharapkan mampu meyakinkan anak bahwa kasus itu bukan kesalahannya. Dia bukan anak yang bodoh. Selalu beri motivasi untuk anak berani mengajukan pertanyaan ketika di kelas.
5. Pindah Sekolah
|
Foto taken by ARTEM Photography |
Jika masalah bullying terus berlanjut dan kondisi anak semakin parah, orang tua harus peduli. Mungkin mereka bisa mencari solusi dengan memindahkan sekolah baru. Atau memilih konsep belajar home schooling. Dan pilihan belajar di rumah ini sempat terpikirkan oleh saya. Namun suami tidak setuju mengingat saya masih kerja di kantor.
_______________
Intinya, Moms... jangan menyepelekan seorang anak yang menjadi korban verbal bullying. Karena dampaknya bisa melekat hingga jangka panjang bahkan sampai dia tumbuh dewasa. Emosinya bisa berubah dalam sekian menit karena bisa saja dia belum bisa memaafkan dirinya sendiri akibat jadi korban verbal bullying.
Korban verbal bullying ini juga mengubah sikap seorang anak menjadi tidak percaya diri. Sedih loh saya tiap kali di rumah anak udah dimotivasi, trus ke sekolah percaya dirinya hilang gara-gara ucapan negatif gurunya.
Semoga kejadian verbal bullying ini tidak tejadi pada anak lain. Saya dulu berdoa seperti itu, cukup berhenti pada anak saya. Dan kabarnya ketika si bungsu udah masuk ke sekolah lanjutan, gurunya ini udah dipindahkan ke kelas yang lebih rendah. Perubahan perilakunya juga ada dan tidak lagi suka membully siswanya.
Alhamdulillah saya jadi mendapat pelajaran juga dari kejadian ini. Meski saya jadi trauma dengan sekolah negeri, paling tidak saya berani mengupayakan hak anak saya. Senangnya di SMP yang kami pilihkan ini ada sesi konsultasi dengan psikolog. Saya jadi bisa curhat tentang peristiwa saat si bungsu kelas 5. Sesi konsultasi ini juga menggali minat dan ketrampilan anak didik sehingga bisa diarahkan ikut kegiatan eksul di sekolah. Dari sini lah si bungsu terpilih mewakili sekolah untuk lomba desain graphis dan dapat membawa pulang kemenangan sebagai juara ketiga.
Tak selamanya anak korban verbal bullyng menjadi tidak punya prestasi. Asal orang tua mau meluangkan waktu dan mendampingi dengan benar, mereka pun dapat meraih prestasi sesuai minat. Sahabat punya pengalaman seperti saya? Sharing yuk, kalian enggak sendiri. Wassalamualaikum.