Menyibak Eksotisme Desa Menari di Lereng Telomoyo
Assalamualaikum Sahabat. Musik rancak yang menggetarkan suasana siang nan terik itu mampu mengajak pengunjung Desa Menari mendekat ke panggung. Jangan kaget dulu dan menghubungkan Desa Menari yang awal Oktober saya kunjungi, dengan desa yang hits di sosial media itu.
Desa Menari yang saya kunjungi kemarin letaknya di lereng Telomoyo. Tepatnya di Dusun Tanon, Ngrawan, Kecamatan Getasan, Kabupaten Semarang. Lokasinya sekitar 60 km dari Kota Semarang, ibukota Jawa Tengah.
Saya pernah datang ke Dusun Tanon ini bersama keluarga. Namun karena bukan kunjungan rombongan dan tidak memberitahu sebelumnya pada warga setempat, tentu saja tak ada kegiatan menari di dusun ni.
Saya pernah datang ke Dusun Tanon ini bersama keluarga. Namun karena bukan kunjungan rombongan dan tidak memberitahu sebelumnya pada warga setempat, tentu saja tak ada kegiatan menari di dusun ni.
Festival Lereng Telomoyo
Suatu hari ketika ada ajakan untuk berkunjung ke Dusun Tanon, saya segera menyambutnya dengan semangat. Kapan lagi saya punya kesempatan menyaksikan sebuah dusun dengan penghuninya yang memiliki kecintaan pada kesenian lokal.
Sabtu tanggal 12 Oktober 2019, rombongan blogger dan fotografer terbagi dalam dua bus ukuran medium. Kami beriringan menuju Dusun Tanon yang terletak di lereng Gunung Telomoyo.
Saya menikmati sepanjang perjalanan yang menuju arah wisata Kopeng. Namun sebelum tiba di kawasan wisata tersebut, kami belok ke kanan setelah melintasi Pasar Getasan.
Dari sini perjalanan mulai berkelok-kelok dan naik turun lereng Telomoyo. Pemandangan hamparan kebun milik warga, sawah, dan rumah bergantian menemani perjalanan kami.
Jalan desa yang dibuat dengan pengecoran menjadikan perjalanan berjalan lancar. Kalo bus ukuran medium saja bisa mengakses jalan desa, apalagi kalo kamu kesana dengan membawa mobil jenis station.
Begitu memasuki gapuran desa, terdengar musik yang menunjukkan adanya keramaian. Di sisi kanan jalan terdapat rumah yang menjadi tempat Bhakti Sosial dari Ikatan Apoteker Indonesa (IAI) dan PC IAI Kabupaten Semarang, Korwil F.
Kegiatan berupa cek kesehatan, pelayanan fisioterapi, dan kampanye Dagusibu ini sepertinya diperuntukkan bagi lansia. Terlihat dari spanduk yang dibentangkan dengan tagline "Menuju Lansia Sehat dan Bahagia".
Suara alunan gending Karawitan menuntun langkah saya dan teman-teman menuju panggung terbuka yang berhiaskan daun kelapa. Di panggung tengah berdiri beberapa pejabat publik setempat yang memberikan kata sambutan.
Setelah rangkaian sambutan dan pemukulan gong, secara resmi menjadi pembukaan Festival Lereng Telomoyo 2019.
Mendadak suara gamelan yang rancak membahana, mengantarkan beberapa bocah berpakaian warna merah dan hitam. Riasan wajah yang terkesan garang tak mampu melenyapkan gaya kejenakaan para bocah penari ini. Karena riasan wajah mereka memang hanya garang di beberapa sisi, seperti di bagian mata.
Mereka sedang mengikuti irama musik dengan menarikan Geculan Bocah. Tari Geculan Bocah ini merupakan adaptasi dari Tari Warok. Udah tahu kan Tari Warok? Biasanya penarinya adalah orang dewasa dan terkenal di kawasan Jawa Timur.
Pakem gerakan Tari Geculan Bocah ini memang mengambil dari Tari Warok. Namun dalam tarian ini, lebih didekatkan dengan dunia anak-anak yang jenaka, ceria, penuh tawa, dan seru. Tarian ini mempertontonkan permainan tradisional anak-anak berupa perang-perangan, guyonan anak, dan keseharian mereka.
Setelah tarian usai, para penari diajak foto bersama perwakilan Astra, pejabat yang mewakili Gubernur Jawa Tengah, serta Kang Trisno.
Usai Tari Geculan Bocah, pengunjung diajak bergeser ke teras milik warga. Di halaman rumah yang saling berhadapan, salah satunya adalah rumah milik Kang Trisno, terdapat panggung kecil.
Di sini beberapa ibu memperagakan kegiatan tradisional Lesung Jumengglung. Pengunjung bisa juga ikut dalam keseruan memainkan lesung ini.
Tidak hanya itu, ada juga beberapa warga yang mengajak pengunjung untuk memainkan egrang. Beberapa pengunjung yang berani naik egrang bahkan diajak berlomba. Namun baik yang kalah maupun pemenangnya, semua mendapatkan hadiah dari Astra.
Sementara di atas panggung kecil, terdapat beberapa anak putri menyanyikan dan memainkan dolanan Cublak Cublak suweng. Suasana makin meriah karena kami meminta anak-anak ini mengulang lagi dolanannya.
Di depan rumah Trisno ada beberapa anak yang dolanan Suda Mada, di beberapa daerah ada yang menyebut engklek.
Sementara sebagian besar warga ibu-ibu, sudah menyajikan makanan dan minuman hangat. Kami dipersilahkan untuk menikmati menu ndeso yang menjadi makan siang seluruh pengunjung.
Sajian makanannya adalah nasi jagung, nasi putih, serta lauk berupa sambel goreng krecek, urab sayur, tempe, dan rempeyek. Rasanya nikmat banget makan dengan beberapa teman di ruang tamu rumah warga.
Ada juga pasar rakyat, tempat kita bisa berbelanja hasil bumi warga Dusun Tanon. Saya sendiri membeli mangga, jagung rebus, dan sayuran. Duhhh harga murah semua bikin saya jadi kalap.
Di depan pasar rakyat pula disajikan atraksi pantomim oleh Mas Tata. Ternyata beliau tinggalnya di Solo dan diminta datang untuk memeriahkan event keren Festival Lereng Telomoyo.
Yang menarik dari pantomim Mas Tata adalah, beliau memberi pertunjukan yang berbeda. Dimulai dengan merias wajahnya sendiri yang tentu durasi atraksinya jadi panjang. Baru setelah Mas Tata selesai merias wajahnya, atraksi utama dilakukannya. Seru sih karena semua pengunjung yang hadir begitu terpesona dengan polah tingkah Mas Tata. Apalagi Mas Tata juga berinteraksi dengan penonton di sana. Dari ngajakin foto selfie, hingga ngajak main-main. Lucu banget deh.
Pemetaan sosial ini merupakan proses penggambaran masyarakat dengan cara sistematik mengumpulkan data dan info tengtang kegiatan warga. Kegiatan ini merupakan CSR dari AStra yang menginginkan kontribusinya untuk mengajak warga ikut aktif membangun desanya.
Menurut Ibu Wiwik, KBA bagi Astra itu memiliki ciri khas yang berbeda dan unik. Astra masih terus mencari dan mengembangkan desa-desa dengan ciri unik tersebut. Tentunya kegiatan ini membutuhkan kerja sama dnegan pemerintah pusat. Yaitu dengan melalui Kemendes yang memiliki data terperinci tentang desa-desa dengan ciri khas yang berbeda ini.
Desa yang terpilih akan dibimbing terutama dalam hal sumber daya manusia, karakter desa, dan kegiatan warga secara sosial di lingkungan masing-masing.
Pada 9 November 2016, Desa Wisata Tanon mulai dibina menjadi Kampung Berseri Astra (KBA). Desa Menari dipilih sebagai KBA karena memiliki aspek-aspek yang sejalan dengan 4 pilar corporate social responsibility (CSR) Astra, yakni Kesehatan, Pendidikan, Lingkungan dan Kewirausahaan. Karena mencakup empat aspek pilar CSR Astra inilah Desa Tanon akhirnya dipilih untuk dibina menjadi KBA pertama di Jawa Tengah.
Yang menonjol dari desa menari adalan sosok pemuda dari DusunTanon, memutuskan untuk pulang ke desanya. Pemuda ini atau lebih dikenal sebagai Trisno, telah menyelesaikan kuliah di Jurusan Psikologi Universitas Muhammadiyah Surakarta. Trisno adalah pemuda pertama di Dusun Tanon yang berhasil menyelesaikan pendidikan Sarjana.
Namun setelah lulus menjadi sarjana, dia kembali ke dusunya karena ingin mengubah kehidupan warganya.
Untuk bidang pendidikan dan melalui program Beasiswa Astra Lestari, terdapat 36 anak Dusun Tanon mendapatkan beasiswa. Mulai dari sekolah dasar hingga ke perguruan tinggi. Sebuah prestasi dari anak desa yang terinspirasi dari Trisno.
Awalnya Trisno fokus pada program-program pendidikan non formal. Dia mengundang mahaswa dari perguruan tinggi, dan mengajak mereka berdiskusi dengan warga. Ide mereka juga disandingkan dengan kegiatan warga yang sehari-harinya adalah petani dan peternak. Warga desa pun mendapatkan saran bagimana mengelola pertaniannya dan peternakan.
Trisno yang lahir pada tahun 1981 ini bermimpi tentang desa yang memiliki usaha yang mampu menyejahterakan warganya. Mimpi yang berawal dari duit 200 ribu untuk membangun lincak di tengah halaman warga.
Tentu saja impiannya ini tidak mendapat kepercayaan dari warga. Namun Trisno mendapat bantuan dari pemuda desa. Karena mereka percaya pada pemikiran pemuda desa yang telah mengembara di kota.
Tantangan terberat memang dari warga yang sebagian besar adalah petani dan peternak. Mimpi Trisno adalah menjadikan desa menari sebagai perusahaan sosial. Kelak bisa dinikmati oleh anak cucu dengan adanya wisata yang experience tourisme.
Trisno menginginkan homestay yang digunakan untuk pengunjung harus ada pemiliknya. Jadi pengunjung bisa berbaur dengan kegiatan keseharian pemilik homestay.
Bagi Trisno, kehadiran Astra di Desa Menari mempercepat perkembangan desa. Empat Pilar Program dari Astra berjalan beriringan dengan Tanon. Dusun yang sederhana namun telah berkembang dengan mengangkat kearifan lokal.
Trisno menginginkan desanya berubah. Dari dulu pendidikan di Dusun Tanon masih tertinggal. Bahkan banyak penduduk desa yang tidak lulus SMP. Sebagian besar alasannya karena masalah ekonomi. Pemuda yang sudah cukup umur memilih untuk mencari pekerjaan atau bertani. Berbeda dengan Trisno, dia bertekat untuk sekolah tinggi dan lulus sebagai seorang sarjana.
Sosok Trisno menjadi contoh yang diharapkan mampu menggugah warga desa agar tidak diam di tempat.
Dahulu sekitar tahun 2006 - 2009 impiannya gagal karena banyak hambatan. Tantangan sumber daya manusia, tak ada dukungan dari pemerintah, bahkan infrastruktur juga masih belum ada.
Namun Trisno ingin warga desa mandiri, berkembang dari, oleh, dan untuk warga sendiri. Masyarakat diajak belajar, mencari solusi dari masalah dan konflik yang muncul. Mereka juga diajak mencari ide-ide yang menarik untuk diunggulkan dari desanya.
"Desa dengan menonjolkan tempat wisata udah ada banyak. Kami ingin menunjukkan karakter khas desa yang berbeda." ungkap Trisno.
Dari sana lah, muncul gagasan menjadikan karakter desa berupa kearifan lokal dengan melihat suatu hal yang sederhana. Dari sudut pandang yang berbeda, kemudian melakukannya dengan cara yang berbeda, dan menikmati setiap prosesnya. Nantinya, pasti akan menghasilkan yang berbeda.
Dia berkisah bahwa Dusun Tanon masyarakatnya hidup dengan rukun dan masih memelihara budaya gotong royong dengan baik. Sebagian besar penduduknya masih dalam keturunan KI Tanuwijoyo.
Ki Tanuwijoyo ini adalah murid dari Pangeran Diponegoro. Dusun Tanon dulunya memiliki nama Layup Tanon. Artinya desa yang mendapat ujian.
Alasan pemberian nama ini adalah karena ada beberapa warganya yang suka minum minuman keras. Oleh Ki Tanuwijoyo, warga diajak untuk melakukan kegiatan yang lebih bermanfaat. Mereka diajak memperdalam ilmu agama, mengaji, dan lebih rajin bekerja mengelola pertanian dan peternakan.
Hingga saat ini masyarakatnya masih memegang teguh tradisi leluhur. Seperti tradisi saparan yang selalu dilakukan setiap bulan saparan. Semua penduduk akan berkunjung ke satu rumah ke rumah lain.
Nah, aslinya Dusun Tanon ini setiap harinya juga seperti dusun lain di wilayah Indonesia. Kegiatan penduduknya adalah berkebun dan beternak sapi perah. Kalo sedang tidak ada event seperti Festival di Lereng Telomoyo, suasan dusun juga sepi dan nggak semeriah ini.
Jadi misal ingin berkunjung ke Dusun Tanon dan menikmati musik rancak serta tarian dan dolanan seperti saya dan rombongan, kamu harus reservasi dulu.
Siang itu berlalu tanpa terasa. Saya menikmati kunjungan di desa menari Dusun Tanon yang berbeda dari desa wisata lainnya.
Tarian Topeng Ayu menjadi sajian pamungkas kunjungan kami. Topeng Ayu merupakan nama lain dari Tari Ndayakan. Tarian yang muncul dari kawasan 5 gunung di Jawa Tengah ini memiliki nama asli yang eksotis. Yaitu "Toto Lempeng Irama Kenceng".
Tarian yang berirama rancak dari beberapa penari wanita dan dua penari pria ini mengundang decak kagum pengunjung yang hadir. Irama dan gerakannya berpadu rancak, tertata dengan iringan musik yang menghentak.
Tarian ini kemudian dibranding ulang menjadi Tari Topeng Ayu, yang berasal dari kata "Toto Lempeng Hayuning Urip".
Saya seakan enggan meninggalkan Dusun Tanon dengan segala kegiatan yang multiperan. Langkah saya begitu berat, bukan karena belanjaan sayuran dan buah hasil kebun warga Dusun Tanon. Namun karena merasa ingin tinggal sejenak barang sehari atau dua hari di desa menari. Mungkin saya harus kembali kesini bersama keluarga untuk menikmati tinggal dan lebur bersama warganya dalam kegiatan memerah susu sapi.
Ah Tanon, saya ingin kembali kesini meski harus masuk dalam antrian reservasi yang panjang. Karena kabarnya untuk menikmati kegiatan bersama warga desa menari di Dusun Tanon, kamu harus reservasi terlebih dulu. Kalo kamu tidak reservasi, nanti nasibnya seperti saya yang datang kesana langsung tanpa pemberitahuan. Yuk berkunjung ke Dusun Tanon, Sahabat. Wassalamualaikum.
#KitaSATUIndonesia
#IndonesiaBicaraBaik
#LFAAPA2019SEMARANG
Sabtu tanggal 12 Oktober 2019, rombongan blogger dan fotografer terbagi dalam dua bus ukuran medium. Kami beriringan menuju Dusun Tanon yang terletak di lereng Gunung Telomoyo.
Saya menikmati sepanjang perjalanan yang menuju arah wisata Kopeng. Namun sebelum tiba di kawasan wisata tersebut, kami belok ke kanan setelah melintasi Pasar Getasan.
Dari sini perjalanan mulai berkelok-kelok dan naik turun lereng Telomoyo. Pemandangan hamparan kebun milik warga, sawah, dan rumah bergantian menemani perjalanan kami.
Jalan desa yang dibuat dengan pengecoran menjadikan perjalanan berjalan lancar. Kalo bus ukuran medium saja bisa mengakses jalan desa, apalagi kalo kamu kesana dengan membawa mobil jenis station.
Begitu memasuki gapuran desa, terdengar musik yang menunjukkan adanya keramaian. Di sisi kanan jalan terdapat rumah yang menjadi tempat Bhakti Sosial dari Ikatan Apoteker Indonesa (IAI) dan PC IAI Kabupaten Semarang, Korwil F.
Kegiatan berupa cek kesehatan, pelayanan fisioterapi, dan kampanye Dagusibu ini sepertinya diperuntukkan bagi lansia. Terlihat dari spanduk yang dibentangkan dengan tagline "Menuju Lansia Sehat dan Bahagia".
Suara alunan gending Karawitan menuntun langkah saya dan teman-teman menuju panggung terbuka yang berhiaskan daun kelapa. Di panggung tengah berdiri beberapa pejabat publik setempat yang memberikan kata sambutan.
Setelah rangkaian sambutan dan pemukulan gong, secara resmi menjadi pembukaan Festival Lereng Telomoyo 2019.
Mendadak suara gamelan yang rancak membahana, mengantarkan beberapa bocah berpakaian warna merah dan hitam. Riasan wajah yang terkesan garang tak mampu melenyapkan gaya kejenakaan para bocah penari ini. Karena riasan wajah mereka memang hanya garang di beberapa sisi, seperti di bagian mata.
Mereka sedang mengikuti irama musik dengan menarikan Geculan Bocah. Tari Geculan Bocah ini merupakan adaptasi dari Tari Warok. Udah tahu kan Tari Warok? Biasanya penarinya adalah orang dewasa dan terkenal di kawasan Jawa Timur.
Pakem gerakan Tari Geculan Bocah ini memang mengambil dari Tari Warok. Namun dalam tarian ini, lebih didekatkan dengan dunia anak-anak yang jenaka, ceria, penuh tawa, dan seru. Tarian ini mempertontonkan permainan tradisional anak-anak berupa perang-perangan, guyonan anak, dan keseharian mereka.
Setelah tarian usai, para penari diajak foto bersama perwakilan Astra, pejabat yang mewakili Gubernur Jawa Tengah, serta Kang Trisno.
Usai Tari Geculan Bocah, pengunjung diajak bergeser ke teras milik warga. Di halaman rumah yang saling berhadapan, salah satunya adalah rumah milik Kang Trisno, terdapat panggung kecil.
Di sini beberapa ibu memperagakan kegiatan tradisional Lesung Jumengglung. Pengunjung bisa juga ikut dalam keseruan memainkan lesung ini.
Tidak hanya itu, ada juga beberapa warga yang mengajak pengunjung untuk memainkan egrang. Beberapa pengunjung yang berani naik egrang bahkan diajak berlomba. Namun baik yang kalah maupun pemenangnya, semua mendapatkan hadiah dari Astra.
Sementara di atas panggung kecil, terdapat beberapa anak putri menyanyikan dan memainkan dolanan Cublak Cublak suweng. Suasana makin meriah karena kami meminta anak-anak ini mengulang lagi dolanannya.
Di depan rumah Trisno ada beberapa anak yang dolanan Suda Mada, di beberapa daerah ada yang menyebut engklek.
Sementara sebagian besar warga ibu-ibu, sudah menyajikan makanan dan minuman hangat. Kami dipersilahkan untuk menikmati menu ndeso yang menjadi makan siang seluruh pengunjung.
Sajian makanannya adalah nasi jagung, nasi putih, serta lauk berupa sambel goreng krecek, urab sayur, tempe, dan rempeyek. Rasanya nikmat banget makan dengan beberapa teman di ruang tamu rumah warga.
Ada juga pasar rakyat, tempat kita bisa berbelanja hasil bumi warga Dusun Tanon. Saya sendiri membeli mangga, jagung rebus, dan sayuran. Duhhh harga murah semua bikin saya jadi kalap.
Di depan pasar rakyat pula disajikan atraksi pantomim oleh Mas Tata. Ternyata beliau tinggalnya di Solo dan diminta datang untuk memeriahkan event keren Festival Lereng Telomoyo.
Yang menarik dari pantomim Mas Tata adalah, beliau memberi pertunjukan yang berbeda. Dimulai dengan merias wajahnya sendiri yang tentu durasi atraksinya jadi panjang. Baru setelah Mas Tata selesai merias wajahnya, atraksi utama dilakukannya. Seru sih karena semua pengunjung yang hadir begitu terpesona dengan polah tingkah Mas Tata. Apalagi Mas Tata juga berinteraksi dengan penonton di sana. Dari ngajakin foto selfie, hingga ngajak main-main. Lucu banget deh.
Dusun Tanon Menjadi Kampung Berseri Astra
Ibu Wiwik Setyowati, Manager Environment and Social Responsibility Division PT. Astra International Tbk menuturkan dalam kata sambutannya. Selama ini Astra melakukan pemilihan desa yang layak untuk dijadikan KBA dengan cara Social Mapping atau pemetaan sosial.Pemetaan sosial ini merupakan proses penggambaran masyarakat dengan cara sistematik mengumpulkan data dan info tengtang kegiatan warga. Kegiatan ini merupakan CSR dari AStra yang menginginkan kontribusinya untuk mengajak warga ikut aktif membangun desanya.
Menurut Ibu Wiwik, KBA bagi Astra itu memiliki ciri khas yang berbeda dan unik. Astra masih terus mencari dan mengembangkan desa-desa dengan ciri unik tersebut. Tentunya kegiatan ini membutuhkan kerja sama dnegan pemerintah pusat. Yaitu dengan melalui Kemendes yang memiliki data terperinci tentang desa-desa dengan ciri khas yang berbeda ini.
Desa yang terpilih akan dibimbing terutama dalam hal sumber daya manusia, karakter desa, dan kegiatan warga secara sosial di lingkungan masing-masing.
Yang menonjol dari desa menari adalan sosok pemuda dari DusunTanon, memutuskan untuk pulang ke desanya. Pemuda ini atau lebih dikenal sebagai Trisno, telah menyelesaikan kuliah di Jurusan Psikologi Universitas Muhammadiyah Surakarta. Trisno adalah pemuda pertama di Dusun Tanon yang berhasil menyelesaikan pendidikan Sarjana.
Namun setelah lulus menjadi sarjana, dia kembali ke dusunya karena ingin mengubah kehidupan warganya.
Untuk bidang pendidikan dan melalui program Beasiswa Astra Lestari, terdapat 36 anak Dusun Tanon mendapatkan beasiswa. Mulai dari sekolah dasar hingga ke perguruan tinggi. Sebuah prestasi dari anak desa yang terinspirasi dari Trisno.
Awalnya Trisno fokus pada program-program pendidikan non formal. Dia mengundang mahaswa dari perguruan tinggi, dan mengajak mereka berdiskusi dengan warga. Ide mereka juga disandingkan dengan kegiatan warga yang sehari-harinya adalah petani dan peternak. Warga desa pun mendapatkan saran bagimana mengelola pertaniannya dan peternakan.
Cinta Trisno dan Desa Menari
Dari bincang-bincang dengan pengunjung, terungkap bahwa semua kegiatan di desa menari adalah dari duit 200 ribu rupiah. Bingung ya?Trisno yang lahir pada tahun 1981 ini bermimpi tentang desa yang memiliki usaha yang mampu menyejahterakan warganya. Mimpi yang berawal dari duit 200 ribu untuk membangun lincak di tengah halaman warga.
Tentu saja impiannya ini tidak mendapat kepercayaan dari warga. Namun Trisno mendapat bantuan dari pemuda desa. Karena mereka percaya pada pemikiran pemuda desa yang telah mengembara di kota.
Tantangan terberat memang dari warga yang sebagian besar adalah petani dan peternak. Mimpi Trisno adalah menjadikan desa menari sebagai perusahaan sosial. Kelak bisa dinikmati oleh anak cucu dengan adanya wisata yang experience tourisme.
Trisno menginginkan homestay yang digunakan untuk pengunjung harus ada pemiliknya. Jadi pengunjung bisa berbaur dengan kegiatan keseharian pemilik homestay.
Bagi Trisno, kehadiran Astra di Desa Menari mempercepat perkembangan desa. Empat Pilar Program dari Astra berjalan beriringan dengan Tanon. Dusun yang sederhana namun telah berkembang dengan mengangkat kearifan lokal.
Trisno menginginkan desanya berubah. Dari dulu pendidikan di Dusun Tanon masih tertinggal. Bahkan banyak penduduk desa yang tidak lulus SMP. Sebagian besar alasannya karena masalah ekonomi. Pemuda yang sudah cukup umur memilih untuk mencari pekerjaan atau bertani. Berbeda dengan Trisno, dia bertekat untuk sekolah tinggi dan lulus sebagai seorang sarjana.
Sosok Trisno menjadi contoh yang diharapkan mampu menggugah warga desa agar tidak diam di tempat.
Saya dan Trisno |
Namun Trisno ingin warga desa mandiri, berkembang dari, oleh, dan untuk warga sendiri. Masyarakat diajak belajar, mencari solusi dari masalah dan konflik yang muncul. Mereka juga diajak mencari ide-ide yang menarik untuk diunggulkan dari desanya.
"Desa dengan menonjolkan tempat wisata udah ada banyak. Kami ingin menunjukkan karakter khas desa yang berbeda." ungkap Trisno.
Dari sana lah, muncul gagasan menjadikan karakter desa berupa kearifan lokal dengan melihat suatu hal yang sederhana. Dari sudut pandang yang berbeda, kemudian melakukannya dengan cara yang berbeda, dan menikmati setiap prosesnya. Nantinya, pasti akan menghasilkan yang berbeda.
Histori Dusun Tanon
Saya dan beberapa teman mengikuti seorang warga yang menunjukkan beberapa pilar di Dusun Tanon.Dia berkisah bahwa Dusun Tanon masyarakatnya hidup dengan rukun dan masih memelihara budaya gotong royong dengan baik. Sebagian besar penduduknya masih dalam keturunan KI Tanuwijoyo.
Ki Tanuwijoyo ini adalah murid dari Pangeran Diponegoro. Dusun Tanon dulunya memiliki nama Layup Tanon. Artinya desa yang mendapat ujian.
Alasan pemberian nama ini adalah karena ada beberapa warganya yang suka minum minuman keras. Oleh Ki Tanuwijoyo, warga diajak untuk melakukan kegiatan yang lebih bermanfaat. Mereka diajak memperdalam ilmu agama, mengaji, dan lebih rajin bekerja mengelola pertanian dan peternakan.
Hingga saat ini masyarakatnya masih memegang teguh tradisi leluhur. Seperti tradisi saparan yang selalu dilakukan setiap bulan saparan. Semua penduduk akan berkunjung ke satu rumah ke rumah lain.
Nah, aslinya Dusun Tanon ini setiap harinya juga seperti dusun lain di wilayah Indonesia. Kegiatan penduduknya adalah berkebun dan beternak sapi perah. Kalo sedang tidak ada event seperti Festival di Lereng Telomoyo, suasan dusun juga sepi dan nggak semeriah ini.
Jadi misal ingin berkunjung ke Dusun Tanon dan menikmati musik rancak serta tarian dan dolanan seperti saya dan rombongan, kamu harus reservasi dulu.
Siang itu berlalu tanpa terasa. Saya menikmati kunjungan di desa menari Dusun Tanon yang berbeda dari desa wisata lainnya.
Tarian Topeng Ayu menjadi sajian pamungkas kunjungan kami. Topeng Ayu merupakan nama lain dari Tari Ndayakan. Tarian yang muncul dari kawasan 5 gunung di Jawa Tengah ini memiliki nama asli yang eksotis. Yaitu "Toto Lempeng Irama Kenceng".
Tarian yang berirama rancak dari beberapa penari wanita dan dua penari pria ini mengundang decak kagum pengunjung yang hadir. Irama dan gerakannya berpadu rancak, tertata dengan iringan musik yang menghentak.
Tarian ini kemudian dibranding ulang menjadi Tari Topeng Ayu, yang berasal dari kata "Toto Lempeng Hayuning Urip".
Saya seakan enggan meninggalkan Dusun Tanon dengan segala kegiatan yang multiperan. Langkah saya begitu berat, bukan karena belanjaan sayuran dan buah hasil kebun warga Dusun Tanon. Namun karena merasa ingin tinggal sejenak barang sehari atau dua hari di desa menari. Mungkin saya harus kembali kesini bersama keluarga untuk menikmati tinggal dan lebur bersama warganya dalam kegiatan memerah susu sapi.
Ah Tanon, saya ingin kembali kesini meski harus masuk dalam antrian reservasi yang panjang. Karena kabarnya untuk menikmati kegiatan bersama warga desa menari di Dusun Tanon, kamu harus reservasi terlebih dulu. Kalo kamu tidak reservasi, nanti nasibnya seperti saya yang datang kesana langsung tanpa pemberitahuan. Yuk berkunjung ke Dusun Tanon, Sahabat. Wassalamualaikum.
#KitaSATUIndonesia
#IndonesiaBicaraBaik
#LFAAPA2019SEMARANG
Ini si mas yg jadi bintang iklan itu ya?
BalasHapusHem Desa Menari...
Wah hebat. Senang saya bisa baca ulasannya langsung. Baik kondisi desanya maupun latar belakang bagaimana Trisno ini menginspirasi masyarakat lain di desanya. Terimakasih ulasannya Mbak Wati ��
Sosok seperti Trisno ini luar biyasaaa ya Mbaaa
BalasHapusBener² bisa menjadi role model untuk anak muda d sana.
Astra juga keren bgt supportnyaa
Senangnya bisa melihat langsung ya mba eksotisme desa menari. Dan zenang juga disambut dengan baik :)
BalasHapusBagus nih desa menari nya. Aku habis googling tari warok, jujur baru tahu, duhh..
BalasHapusSemoga dengan dibantu oleh Astra, desa wisata Tanon ini semakin baik lagi yaa
Baca judulnya tadi ingat kisah KKN di desa penari yg viral itu hehe. Indonesia memang kaya akan budaya n tradisi ya
BalasHapusIndonesia memang kaya akan keanekaragaman budayanya ya mbak. Seperti desa penari ini, harus tetap dilestarikan termasuk adat istiadatnya. Salut dengan upaya Trisno untuk memajukan desa penari ini ya mbak....semoga desa penari kedepannya akan lebih dikenal menjadi desa wisata yang menguntungkan baik bagi penduduknya maupun wisatawan.
BalasHapusDesa yang mempunyai keunikan dan bisa berbenah menjadi lebih baik lagi berkat adanya anak muda berpendidikan yang seperti Trisno dan bersambut dengan kegiatan Astra ya, mba. Semoga desa Menari bisa menjadi contoh desa lainnya.
BalasHapusSeneng banget ya, Mbak. Akhirnya bisa hadir di acara festival lereng telomoyo 2019. Suka dengan dusun Tanon karena para remaja dan anak-anak masih aktif untuk melestarikan dolanan tradisional seperti egrang dan suda manda.
BalasHapusKeren banget desanya, melestarikan budaya lokal bersama-sama spt itu. Jadi budaya daerah bisa terus terpelihara, terutama buat generasi muda. jadi nggak tergerus oleh arus teknologi. Salah satu impian saya lho bisa datang ke festival budaya salah satu daerah. Belum pernah soalnya
BalasHapuswah nampak sekali kearifan lokalnya mbak.. keren dijaman kayak skrg ini masih ada desa budaya seperti ini. salut saya
BalasHapusNggak ngikutin cerita horror desa yang itu, tapi kupikir desa yang sama. Beda, ya. Namanya agak mirip.
BalasHapusKetekunan dan kerja keras Pak Trisno alhamdulillah berbuah manis, slh satu buahnya adalah Astra yg memutuskan utk terlibat dlm mewujudkan cita2 pak Trisno untuk membuat kampungnya lebih baik dr sebelumnya. Daaahhh, senang sekali bisa menikmati wisata di desa menari sekaligus tahu detil cerita inspiratif dr pak Trisno.
BalasHapusMashaAllah mbak, membaca tulisan ini seakan akan aku turut hadir di desa menari ini lho.. andai saya datang kesana, maka kehidupan dan suasana disana bakal aku kangenin deh ini.. suka banget sama desa yang masih mempertahankan adat dan budayanya
BalasHapusHuaa kaget banget aku sekilah judulnya aku baca desa Penari yang horor itu hehe ternyata bukan. Btw menarik banget ya event ini ada tarian daerah terus ada mainan kaya dulu macam engrang gitu.
BalasHapusSemoga desa semacam itu lebih banyak lagi di Indonesia karena yang namanya desa kaya sumber daya alam yang harus dimaksimaljan potensinya. Hal-hal yang ada di desa harus digali keunikan budaya lokalnya. Seperti desa ini yang ada festivalnya segala.
BalasHapusWarga desa jadi sangat terbantu karena yang namanya kehidupan itu semestinya mendayagunakan alam dan potensi diri untuk digali.
Perjalanan dari Semarang ke Desa Menari berapa lama, kak?
BalasHapusAku seneng banget kalau ada anak daerah yang kembali lagi ke daerahnya dan membangun daerahnya dengan sepenuh hati. Tidak menuntut apresiasi apalagi harta.
Barakallahu fiik, Pak Trisno.
Pertama kali membaca judulnya desa penari eh ternyata desa menari ya. Bukan kesan horor yang terbentuk malah kekaguman yang saya lihat dari tulisan ini.
BalasHapusSalut dengan Mas Trisno yang bisa membangun desanya hingga bisa sampai sekarang. Membangun desa sekaligus mensejahterakan penduduknya.
Sosok seperti Trisno yang banyak kita perlukaaan. Kembali ke desa untuk membangun kembali dan membawa pembaharuan untuk desa dan warganya
BalasHapusSayang banget kapan hari aku enggak jadi ikutan ya mba hiks... pas Faris sakit kayaknya kalau enggak salah. Wah, kalau mau berkunjung harus jauh-jauh hari reservasi dulu ya ternyata. Kalau enggak, bisa dapet desa kosongan doank ya ga ada aktivitas seni seperti ini.
BalasHapusJika saja semua desa bisa mencontohi kreatifitas dan kebersamaan seperti di desa penari, psti banyak mengundang turis datang di area lokal
BalasHapusBaca judulnya langsung melotot, kirain Desa Penari. Hehehe, ternyata Desa Menari. Keren ya desa-desa binaan Astra ini. Selalu unik dengan keunggulan masing-masing yang memaksimalkan potensinya. Saut juga buat Mas Trisno ini
BalasHapusSenang banget bacanya mbak. alhamdulillah, desa menari punya pemuda seprti mas trisno ya yang mau kembali lagi ke desanya untuk membangun desa. karena tanpa kreatifitasnya mungkin desa menari gak akan dikenal sampai keluar dan tidak akan pernah mendapat bantuan untuk anak SD dari Astra. barakallah. moga berkah.
BalasHapusMbaaak ih aku envy banget. Desa-desa di sekitar Gunung Telomoyo itu viewnya cakep banget udah sering dapat foto² di internet tentang cakepnya view di kawasan ini. Semoga bisa ke sana suatu waktu.
BalasHapusWah kirain desa Penari yg viral itu ga taunya ternyata Desa Menari. Satu kata buat Astra dan mas Trisno, hebatt...
BalasHapusKukira dulu lereng Telomoyo ini masuknya Jawa Timur lho, ternyata masih di kabupaten Semarang ya. Duh hampir tiga tahun lebih tinggal di Semarang, aku malah tak tahu kalau ada desa menari ini di dekat Semarang.
BalasHapusNah, daerah Kopeng lumayan familiar aku mb, tapi Desa Tanon baru tahu nih, jadi penasaran berkunjung
BalasHapusAku mikirnya malah desa penari awalnya mba. Eh ternyata desa menari :))
BalasHapus