Jangan Panik Bila Keluarga Kena Serangan Jantung
Assalamualaikum Sahabat. Golden Time Pasien Mengalami Serangan Jantung, Jangan Panik! Yes, dari pengalaman mendampingi suami yang awal bulan April 2018 terkena serangan jantung, saya merasa beruntung. Keberuntungan yang terus mengikuti takdir kami hingga suami pun terselamatkan.
Pernikahan kami nyaris 24 tahun awal bulan Juni 2018. Rasanya ada tanda-tanda bahwa tahun ini akan tejadi sesuatu pada keluarga kami. Namun saya tak pernah menyangka kejadian sedih itu datang berupa sakit yang tiba-tiba dan dialami suami.
Satu minggu sebelum suami kena serangan jantung, dia mengeluh tubuhnya terasa berat. Suami bilang, tiap turun dari mobil ia merasa kakinya agak berat melangkah.
Saya hanya meningkahi dengan candaan, karena bobot tubuhnya pasti naik lagi.
"Besok konsumsi herbalife lagi ya," pinta suami.
Saya langsung menyetujuinya. Besoknya saat belanja, saya ambil sesisir pisang susu juga. Biasanya kalo bikin minuman herbalife, pisang susu yang jadi pilihan campuran isi jusnya.
Dua hari kemudian, suami teramat sibuk berbenah di rumah. Barang-barang sisa proyek diberesi sendiri. Biasanya ia selalu meminta bantuan tukangnya dan nanti akan dibayar upahnya seperti kalo kerja di proyek bangunan.
Beberes ini dikerjakan suami karena udah kadung janji pada saya. Hari Jumat sore di rumah akan ada Mujahadah yang diniatkan untuk mendoakan si bungsu yang akan UNBK hari Senin tanggal 9 April 2018.
Dua hari dihabiskannya waktu untuk beberes barang sisa proyek. Sementara Jumat pagi, suami udah langsung berangkat ke Jogja. Mengurus proyek pembangunan rumah kost. Biasanya ia nginap di Jogja semalam atau dua malam. Tapi hari itu dia nggak nginap karena ada teman yang bareng ke Jogja untuk bantuin suami ngurus pemasangan daya sambung baru PLN untuk rumah kost.
Jumat sore saya udah sibuk ngurus pengajian di rumah. Jadi malam saat suami datang sekitar pukul 12, saya udah ngorok. Sempat terbangun cuma melihat sosok suami yang ambil baju bersih dari dalam lemari. Saya pun tidur lagi setelah mengucapkan say hello dan memintanya segera istirahat.
Serangan Jantung Yang Mengubah Takdir Hari itu
Sabtu pagi ada kabar kalo teman SMA suami meninggal dunia. Almarhum sakit kanker paru sejak lama. Dan kami berdua sempat bezuk dan mendoakan yang terbaik untuknya. Mungkin ini jawaban doa Tuhan untuk almarhum.Saya dan suami udah niat akan takziyah setelah shalat Dhuhur. Karena suami kurang tidur, jadi saya biarkan dia kembali tidur usai shalat Dhuha.
Saya sendiri setelah menyiapkan sarapan juga kembali rebahan. Masih pukul 8 lebih, bisa istirahat sambil menanti shalat Dhuhur. Apalagi kepala saya agak nggliyeng karena kurang tidur dua malam ini. Malam Jumat karena memikirkan mujahadah di rumah, dan malam Sabtu menanti kepulangan suami dari Jogja.
Kayaknya saya belum sampai terlelap ketika mendengar suami menyalakan tivi. Tiba-tiba saya mendengar teriakan panggilannya dari arah ruang keluarga. Mendadak saya terbangun dan melupakan kepala yang masih terasa ringan.
Langkah saya berlari mendekati asal suara suami. Saya menatap tubuhnya yang tanpa baju, hanya celana pendek, terduduk di lantai depan tivi. Tangannya memegang dada bagian kiri.
"Kenapa berteriak, kok keringatmu kayak gini, seukuran jagung."
Saya berlari mengambil handuk kecil. Sambil nanya-nanya saya lap bagian tubuh atas suami. Rasanya handuk yang saya pegang udah basah. Namun keringatnya nggak kunjung berhenti. Kewalahan saya panggil si sulung untuk mengambilkan handuk bersih lagi yang cukup besar.
"Kayak masuk angin gini sih, yuk ke dokter aja ya," perasaan saya udah gak enak. "Yang sakit bagian mana?"
Suami hanya menunjuk dadanya dengan kelima jari tangan kanannya. Hati saya rasanya mau jatuh ke dasar jurang. Namun logika meraih kesadaran saya agar fokus pada kondisi suami. Saya mengingat satu diagnosa yang tak ingin saya yakini kebenarannya pagi ini.
Kembali saya tanyakan hal sama dan dijawab dengan gerakan yang sama dari suami. Kelima jari bagian kanannya a.k.a telapak tangan kanannya berada di dada kiri. Tepat di bagian jantungnya berada.
Saya tarik napas panjang. Tuhan, berikan langkah terbaik pagi ini. Doa itu dan segenap istighfar serta shalawat meluncur tiada henti. Sambil saya bergerak cepat untuk berganti pakaian. Dan di sela waktu itu masih mengambilkan tablet obat mag. Karena suami cerita malam sebelumnya disuguhi kopi hitam oleh temannya saat mampir di Magelang.
Kami naik motor boncengan ke klinik 24 jam terdekat dari rumah. Dokter jaga langsung memeriksanya dan memberikan tablet nyeri yang ditaruh di bawah lidah.
Klinik 24 jam dekat rumah |
Saya menatap cemas yang ditutupi oleh perhatian dan pesan untuk kami.
"Tadi kesini naik apa?" tanya dokter dengan senyum menenangkan.
"Naik motor, Dok. Tapi suami nggak mau saya boncengin. Sebenarnya sakit apa, suami saya?"
"Kami nggak bisa menentukan diagnosa. Antara lambung atau jantung, dan itu harus diperiksa dengan EKG jantungnya,"
Saya mendengarkan seksama. Menentukan apa yang harus saya bawa untuk menuju ke IGD rumah sakit Roemani.
"Ibu rumahnya dekat kan? Nanti kalo ke rumah sakit naik taksi saja ya,"
Saya mengangguk. Saya melihat suami sudah terlihat tidak kesakitan seperti saat di rumah.
Pulangnya pun suami yang boncengin saya. Kami memutuskan menuruti pesan dokter di klinik. Saya nggak sempat membawa pakaian ganti. Saya berpikir, nanti di rumah sakit paling juga suami hanya menjalani EKG trus pulang dengan obat dan rawat jalan. Jadi saya hanya bawa duit, kartu BPJS, yang selalu ada di dompet khusus.
Kembali saya berdebat tentang transportasi ke rumah sakit. Ada si sulung, tapi suami nggak mau dia yang bawa mobil. Jadi akhirnya suami yang duduk di belakang kemudi.
Sepanjang jalan saya mengajak suami berbicara. Saya bertanya masih sakit atau enggak. Saya tak henti memperhatikan wajah dan perubahan rona mukanya. Rasanya pagi itu, jarak rumah ke rumah sakit begitu panjang.
Alhamdulillah kami menemukan tempat parkir yang dekat dengan pintu menuju IGD. Saya tawarkan kursi roda untuk suami. Tapi dia menggeleng dan menjawab enggak sakit kok ditawari duduk di kursi roda?!
Setibanya di IGD, perawat menanyakan pasien nya mana?
Suami langsung dipanggil masuk untuk diperiksa begitu saya jelaskan kronologis peristiwa pagi itu. Saya dipanggil masuk saat suami menjalani EKG.
"Bu, dari hasil EKG, bapak harus masuk ICU. Ada serangan jantung yang baru saja dialami oleh bapak,"
"Suami saya kena serangan jantung?"
Doker mengangguk dengan wajah datar.
"Tapi tadi kesini bawa mobil sendiri, Dok. Trus tadi udah dikasih obat waktu di klinik dan suami bilang udah nggak nyeri lagi," saya bingung.
"Tadi bapak waktu kena serangan pukul berapa?"
Saya jawab sependek ingatan saya karena kekacauan dari awal mula teriakan suami, periksa ke klinik, hingga tiba di IGD.
"Kalo dari penuturan ibu, ada waktu yang tersisa untuk menyelamatkan bapak. Misal serangan terjadi pukul 10.00 wib, masih ada waktu hinggal pukul 12.00 untuk bapak menerima pertolongan. Jadi nanti bapak akan masuk ke ICU untuk menjalani proses injeksi untuk menembak sumbatan di jantung."
Penjelasan dokter perempuan itu masuk ke telinga dan nyaris membuat tubuh saya melemah tak berdaya. Rasa sakit di dada karena menahan tangis, serta ujung mata yang panas, menyadarkan saya untuk kuat dan bertahan sendiri menghadapi vonis dokter di IGD.
Saya melihat ke arah ruangan suami yang sedang diberi infus.
"Suami saya sadar, kan?" dokter mengangguk.
"Saya jelaskan sedikit ya tentang serangan jantung, bila tidak dilakukan injeksi ini, bisa berakibat fatal. Dua jam dari sekarang, bisa saja bapak kena serangan jantung lagi dan mungkin tidak selamat. Tapi kalo sekarang bapak melakukan proses injeksi, semoga masih bisa diselamatkan."
Kening saya berkerut. Memikirkan dua pilihan yang tidak ada bagus-bagusnya itu.
Penjelasan berikutnya dari dokter yang didampingi perawat jaga, makin bikin hati dan pikiran saya saling berebut keputusan.
Dokter bilang, saya harus tanda tangan untuk menyetujui suami menjalani injeksi di ICU. Mengapa dilakukan di ICU, karena bila selama proses injeksi ada kemungkinan efek samping, ada peralatan dan obat-obatan yang akan menolong pasien.
Efek samping pun disebutkan oleh dokter, mulai dari yang ringan yaitu sesak napas hingga muntah darah. Semua itu tergantung kondisi pasien, apakah punya riwayat penyakit yang tak terduga dan tidak diketahui selama ini.
Makin jelas semua proses dan efek samping yang disebutkan oleh dokter serta perawat jaga, makin bingung lah saya. Pikiran saya ingin injeksi ditunda. Saya ingin menelpon keluarga suami. Masih ada saudaranya dan ibu, tempat saya ingin meminta pendapat mereka semua.
Saya takut memilih keputusan yang salah. Saya takut nantinya akan ada efek samping yang tidak ingin saya pikirkan seburuk apapun itu. Saya takut bila ada yang menyalahkan keputusan yang saya ambil. Rasanya saya tidak mampu mengambil keputusan sendirian.
"Saya ingin menelpon Ibu dulu," ucap saya pada dokter.
Di depan saya kertas yang butuh tanda tangan saya entah ada berapa lembar. Ada dua berkas yang harus saya tanda tangani. Satu adalah persetujuan suami masuk ruang ICU. Yang kedua persetujuan menjalani proses injeksi sumbatan di jantung.
"Nggak ada waktu kalo harus nelpon keluarga. Takutnya waktu bapak mepet, bisa nggak tertolong,"
"Nanti di ICU, efek sampingnya bisa dikurangi?"
"Itu lah mengapa kami menempatkan bapak di ICU. Bila terjadi sesuatu karena efek injeksi, ada peralatan yang komplit untuk membantu bapak," jelas dokter dengan ucapan lembut yang bagi saya bagaikan palu besar memukul kepala.
Dalam penjelasannya lebih lanjut dokter juga tidak berani memberikan jaminan, apakah suami akan mengalami kesakitan. Dokter di IGD hanya berjanji memberikan perawatan sebaik yang mereka mampu. Karena kondisi setiap pasien tidak sama. Ada yang sampai muntah darah, hingga injeksi sumbatan pun dihentikan. Ada juga yang mengalami kondisi kritis dan tidak sadar karena komplikasi.
Saat semua ini usai, saya baru sadar kalo selama proses pengambilan keputusan itu tak lebih dari 15 menit. Entah kekuatan dari mana yang bikin saya bisa setegar itu menghadapi kondisi suami yang kena serangan jantung.
Setiap tangis yang siap meluncur di ujung mata, selalu lenyap ketika pikiran waras saya mengambil alih. Memikirkan segenap kemungkin terburuk yang akan terjadi pada suami, dan mempengaruhi masa depan keluarga saya.
Saya tahu pilihan yang dikemukakan dokter itu pasti ada efek negatifnya. Dan saya yakin dokter sudah menjelaskan kemungkinan terburuk. Bahkan saya tidak diberikan penghiburan dengan kemungkinan yang paling baik, sesedikit pun itu. Hanya hasil terburuk yang disodorkan di depan mata saya. Tapi saya yakin ada Allah azza wa jalla yang ada di samping saya. Dan saya yakin Allah tidak akan meninggalkan saya dalam keputusasaan. Bukan kah selama ini setiap doa saya selalu diijabahNYA?
Dengan mengucap basmallah, saya pun mengambil keputusan terbaik dari yang terbaik. Jari saya memainkan pulpen, menandatangani beberapa berkas sambil bibir tak henti mengucap shalawat, mengharapkan yang terbaik untuk setiap keputusan yang saya ambil.
Menuju Ruang ICU dan Proses Injeksi Sumbatan di Jantung
Saya pun mendekati suami. Menuruti saran dokter, yang menurutnya suami membutuhkan saya untuk memberitahu tentang proses yang harus dijalaninya.Kembali ujung mata saya terasa panas. Saya tak mampu mengucapkan kata demi kata.
"Dokter bilang, babe kudu masuk ICU. Tenang aja ya, insyaa Allah lancar prosesnya,"
"Kata dokter, aku kena serangan jantung. Nggak usah sedih, aku nggak apa-apa, aku sehat... lihat aja tubuhku ini, kesini aja masih bisa nyetir sendiri,"
Entah siapa yang butuh dikuatkan, kami saling memberi semangat. Memasuki lift menuju ruang ICU di lantai 3, setiap detiknya bayangan saya kabur. Pikiran saya entah memikirkan apa saja saat itu. Kayaknya semua tumpang tindih.
Begitu di dalam ICU, langkah saya dihentikan oleh dokter jaga ICU. Sementara dua perawat membawa suami yang berbaring di tempat tidur menuju salah satu ruang perawatan kosong di ICU.
"Silahkan ibu turun dulu ke bagian administrasi. Kami akan menangani bapak untuk mulai proses injeksi sumbatan. Nanti surat ini bawa kembali kesini,"
Saya segera berlari keluar ICU dan masuk lift menuju lantai 1 di bagian administrasi rawat inap. Seluruh proses administrasi lancar. Bahkan saya tidak perlu menyetorkan semacam deposit untuk perawatan suami. Mereka di bagian administrasi hanya meminta saya segera menyerahkan selembar berkas ke bagian perawat jaga di ICU.
Kembali saya berlari ke lift dan mengantarkan saya ke lantai 3. Saya atur napas dan melangkah ke ruang ICU.
"Ibu sekarang lebih baik keluar, biar kami menangani bapak. Yang bisa ibu lakukan sekarang adalah berdoa untuk kelancaran proses ini,"
Langkah saya gontai menuju pintu keluar ICU. Di belakang tubuh saya, perawat mengunci pintu. Ruang ICU RS Roemani memang selalu terkunci di luar jam bezuk.
Deretan kursi di depan pintu ICU seakan menanti tubuh saya. Saat itu lah baru saya merasa lemah. Tak berdaya. Ingin menangis. Namun air mata saya terasa kering.
Bibir saya tak henti mengucap istighfar dan shalawat. Sesekali saya sisipkan surat pendek untuk menguatkan hati. Dan teringat bahwa saya belum mengabarkan berita suami masuk ICU pada keluarganya. Kedua ibu jari saya mengetikkan sederet pesan pada adik ipar. Saya nggak yakin mengirimkan pesan ke WA grup keluarga suami. Saya takut mereka yang ada di grup bakal terkejut membaca pesan saya.
Maksud saya mengabarkan pada adik ipar adalah, amanah suami untuk menyerahkan kunci mobil dan memintanya membawa pulang ke rumah ibu di singa.
Kemudian saya menuju toilet dan mengambil air wudhul. Sebentar lagi shalat Dhuhur dan saya akan menanti waktunya tiba di ruang shalat di dekat ruang tunggu.
Ruang tunggu di ICU |
Sampai di sini air mata saya meluncur tak terbendung. Saya jatuh dalam kelemahan hati. Saya menahan agar jangan sampai isakan ini berubah jadi tangis histeris. Tangisan itu tak mampu menyelesaikan masalah. Begitu lah mantra yang saya jadikan pegangan saat awal memasuki ruang IGD rumah sakit Roemani.
Penantian Panjang Itu Menguatkanku
Saya lupa berapa lama bersimpuh dalam dzikir panjang usai shalat. Saya menanti adzan Ashar dan shalat dulu, baru kemudian akan beranjak ke ruang tunggu di bagian depan pintu ICU.Jam sudah menunjuk pukul 15.35 wib. Saya tersadar saat melihat jarum jam udah melewati jauh dari waktu yang dijanjikan dokter.
Namun sesuai janji dokter jaga di ICU, tak ada seorang pun yang mengabarkan gimana kondisi suami. Berpuluh tanya memenuhi otakku yang masih tak mampu menyerap peristiwa Sabtu pagi itu.
Apa yang terjadi pada suamiku? Mengapa tiada kabar apapun? Apakah ada efek negatif yang dialami suami? Kok tak ada perawat atau dokter jaga manggil saya, meski udah lewat pukul 15.00?
Saat itu seorang perawat kenalan keluarga suami mendadak muncul. Tangis yang sekian jam tersembunyi entah di mana, meluap tak tertahankan. Saya jatuh dalam pelukan mba Eva.
Pelukan dari seseorang yang saya kenal, meredakan kesedihan yang sekian jam saya tanggung sendirian. Saya sengaja melarang si sulung ikut mengantar babenya ke rumah sakit. Adiknya sedang persiapan ujian nasional Senin besok. Jadi dia harus menjaga adiknya di rumah. Sama ngabari ibu saya dengan sehalus mungkin agar tidak kaget mendengar kabar menantunya.
"Gimana kabar dek Ar?"
Saya pun menceritakan kronologisnya dari awal kena serangan hingga masuk ruang ICU. Saya bertanya juga, mengapa dokter atau perawat tidak ada yang keluar ruangan untuk ngabari saya? Bukan kah sudah melebihi jam yang dijanjikan?
Saya utarakan pula kecemasan dengan kondisi suami setelah proses injeksi. Apakah ada efek samping yang dialami suami?
"Sabar dek, kalo enggak dikabari bisa saja karena kondisi dek Ar baik-baik aja," tutur mba Eva.
Selang lima menit, rombongan keluarga suami pun muncul dari lift. Ada ibu, adik ipar dan suaminya juga bersama mereka. Saya seketika merasa kuat. Tangis yang tadi tercurah langsung surut. Saya tak ingin ibu sedih melihat kondisi saya.
Kembali saya menceritakan kronologis peristiwa suami dari kegiatannya dua hari sebelum hari H serangan jantung hingga kondisi terkini. Tak lupa kecemasan yang menghantui pikiran selam sejam ini, saya ceritakan pula pada adik ipar.
Adik ipar yang juga dokter gigi di rumah sakit tempat suami dirawat, segera menelpon dokter jaga di IGD. Meminta tolong untuk menanyakan kabar suami di ICU pada dokter jaga di sana.
Saat itu udah pukul 16.00 wib, perawat yang jaga membukakan pintu untuk kami, keluarga pasien yang dirawat di ICU. Jam bezuk sore memang jam 4.
Saya bertanya pada ibu, apakah beliau ingin masuk duluan.
"Wes Nduk, kono ndang mlebu. Ibu nanti aja, giliran setelah kamu,"
Jawaban ibu membuat langkah saya setengah berlari menuju ruang perawatan.
Suami terlihat biasa saja. Bahkan kami berbincang cukup lama. Suami menceritakan proses injeksi dan efek samping yang dialaminya. Sesak nafas dirasakannya beberapa menit. Kemudian selang oksigen dipasang untuk membantu pernapasannya agar lebih lega.
Saya udah bahagia melihat suami menjelaskan selama proses injeksi kesadarannya tetap terjaga. Dia bisa merasakan gimana morphin sesekali menarik kesadarannya, namun ia tetap terjaga.
Saya juga senang saat suami udah menghabiskan jatah makan sore itu. Ada bubur sunsum, daging giling, dan cairan gula jawa. Ada juga buah pepaya yang langsung dilahap suami.
Foto pasien di rumah sakit udah seijin perawat jaga |
Kondisi suami yang mendadak masuk ICU, memang menjadi berita yang menggemparkan kerabat dan kenalan kami. Saking banyaknya pembezuk, saya lakukan antrian agar tidak mengganggu pasien lain. Nanti dalam artikel yang berbeda akan saya ceritakan kondisi suami setelah pulang ke rumah. Kelelahan karena banyak pembezuk berakibat buruk dengan pernapasannya. Hikss.
Untuk lebih jelasnya, gimana proses injeksi akan saya tulis dalam artikel berikutnya. Saya akan tulis tanda-tanda serangan jantung dan penyebabnya. Termasuk proses kataterisasi tiga bulan setelah serangan jantung. Dan juga proses pemasangan ring yang memang kami pilih demi kesehatan seperti saran dari dokter.
Jadi, kalo kalian menjumpai pasien dengan serangan jantung mendadak, jangan panik. Segera bawa ke klinik atau IGD rumah sakit. Agar pasien mendapat pertolongan pertama. Jangan lupa, bawa ke rumah sakit minimal tipe C yang udah memiliki peralatan komplit di ICU nya. Semoga keluarga sahabat dalam keadaan sehat selalu. Aamiin Ya Rabbal Alamiin. Wassalamualaikum.
ya alloh, aku bacanya deg degan dan berkaca2, masih bisa nyetir juga ya, ya alloh merinding jdnya. Suamiku juga pernah cerita tentang injeksi ini, eh ternyata aku beneran baca sendiri tentang suami mbak. Semoga lekas disehatkan kembali suaminya ya mbak, amiinnn
BalasHapusAlhamdulillah selama di jalan masih dalam lindungan Allah, mbak
HapusYa Allah mbaaa...
BalasHapuspeluk mbaaa..
Sampai nangis saya bacanya, jadi ingat beberapa bulan lalu suami saya kecelakaan.
Ya Allah, jantung rasanya berhenti sesaat.
Semoga suaminya lekas sembuh ya mba, sehat-sehat selalu sekeluarga.aamiin ya Allah.
terimakasih telah berbagi, saya jadi lebih ngeh lagi dengan kesehatan saya dan keluarga
Aamiin, makasih Rey.
HapusSemoga Rey dan keluarga juga selalu diberikan kesehatan
Iya, sama nih Rey, aku juga ikutan nangis pas baca. Bisa merasakan apa yg Mba Wati rasakan. Seribu satu rasa menyesak, tapi ga tau harus berbagi dengan siapa. Hanya bisa minta tolong kepada Allah.
HapusYa Allah mbk..... Huhuhu
BalasHapusAku bacanya gemeteran. Ternyata ada waktu 2 jam ya untuk pertolongan pada orang yang kena serangan jantung. Sehat selalu ya mbk
Saya juga baru tahu kalo ternyata serangan jantung mendadak itu banyak terjadi di sekeliling kita. Seringnya orang menanggapi dengan melakukan kerokan, dikira masuk angin. Karena memang mirip masuk angin, tanda-tandanya kan mirip ya. Keringat dingin, ukurannya besar dan gak berhenti juga meski udah udah dilap. Trus nyeri dada kayak asam lambung kambuh. Nah di sini lah yang jadi penentu, seseorang itu bisa selamat atau tertolong atau kah tidak dapat pertolongan
HapusYa Allah...aku ikut deg2an bacanya. Salut aku dg ketegaranmu, mba .. Semoga mba sekelg sehat selalu ya...
BalasHapusIhya, salah satu pesan penting yg kutangkap di sini adlh "jangan panik". Ya, karena kita harus bisa memberikan keputusan2 tepat demi keselamatan pasien ya mba .
HapusBenar mba, jangan panik. Dan kita nggak pernah tahu suatu hari bisa aja mengalami hal seperti ini
HapusAku ikut nangis bacanya mbak :'( bener2 mendadak dan kalau ga ditangani ternyata bisa fatal ya...baru tahu, terima kasih sharingnya mbak, semoga kedepannya sehat-sehat selalu sekeluarga
BalasHapusOh, ini ya cerita lengkapnya dari status Mbak Wati yang aku baca di FB waktu lalu itu. Duh... aku bacanya ikut dek-dekan. Kebayang paniknya. Aku pun pernah ngerasain panik yang sama. Waktu alm. bapak kena stroke akibat diabetes. Sedihnya, papaku meninggal setelah seminggu dirawat. Sehat-sehat selalu ya kita semua.
BalasHapusMbaaa...aku kok mbrebes mili ya baca ini. Mbayangin dirimu sendirian, bingung mengambil keputusan. Soalnya aku ya mengalami hal ini pas nungguin ibu sendirian operasi. Cuma operasi hernia sih, tapi karena yuswa sudah lanjut, ada something's wrong with her heart. Detak jantungnya terdeteksi tidak normal. Efek obat bius selama operasi bisa saja mempengaruhi jantungnya. Aku disuruh tanda tangan menyetujui ini itu tanpa bisa konsul dengan siapa2. Kakakku yang sulung juga sedang sakit, kakak keduaku di luar kota dan pas ga bagus sinyalnya di sana. Byuuuhh... mung iso nangis sambil istighfar. Minta pertolongan pada Allah.
BalasHapusNoted mba untuk warningmu ini. Soalnya aku juga bbrp kali mengalami nyeri di dada sebelah kiri dan kadang sesek. Semoga aja bukan karena gejala kelainan di jantung yaaa...
Iya mba, i feel u. Mau nangis udah gak bisa karena harus memutuskan secepatnya ya
HapusMembawa keluarga yang mendadak sakit dengan tetap tenang itu penting banget dan nggak mudah ya mbak. Yang ada panik dan bingung mau ngapain. Bacanya deg2an mbak...semoga kita semua selalu dijaga Allah tetap sehat. aamiin
BalasHapusYa ampun mbak dirimu kuat sekali, beneran aku belajar dari cerita ini untuk tidak panik dan segera melakukan yang terbaik. Semakin sehat untuk seluruh keluarga ya mbak.
BalasHapusBacanya deg-degan mbak, tapi syukurlah semuanya sudah baik ya Mbak. Smoga mbak dan suami sehat selalu, juga utk semua keluarga
BalasHapusJadi paham gejala serangan jantung dan agar tidak panik kalau kejadian dialami orang sekitar :)
BalasHapusMbak Wati aku bacanya sambil ikutan ndredeg. Ya Allah, alhamdulillah suami njenengan kembali pulih njih mbak. Semoga dilimpahkan kesehatan selalu oleh Gusti Allah. Aamiin
BalasHapusJadi panik saya bacanya mba, karena kalau saya panikan orangnya. -kata mertua saya. Semoga jadi belajar dari Mbak kalau ada hal hal kritis cepat tanggap dan berusaha untuk tetap kuat. Semoga suami sehat2 selalu ya Mbak. Jangan kecapean dulu.
BalasHapusBaca cerita mba Wati ikut degdegan, mba Wati hebat banget tetap tenang menghadapi kondisi sulit mendadak, semoga suaminya sehat pasca injeksi ya, dan beraktivitas seperti sedia kala
BalasHapusMbak tegar banget mbk jadi sedih bacanya sampai ikut gemeteran nih mbk sabar ya mbk semoga suaminya di sehat kembali dan bisa menjalani aktivitas sehari-hari
BalasHapusHuuhu...kak, aku mau nangis rasanya...
BalasHapusPersis seperti Papa mertua kemarin.
Tapi memang kami sekeluarga sudah tahu riwayat sakitnya Papa.
Rasanya degdeg...
Ya Allah,
Semoga Allah lindungi selalu keluarga kami.
Doa yang sama untuk kak Wati dan keluarga
Ya Allah mba.. aku mbrebes mili bacanya, ingat pengalamanku mendampingi suami waktu harus operasi otak, sendirian juga dan harus cepat-cepat ambil keputusan. Alhamdulillah sekarang suami sudah sehat ya mbaa, dan semoga selalu sehat. Kita saling mendoakan ya mba :)
BalasHapusAku pernah dengar kalau salah penanganan ketika serangan jantung akan mengakibatkan hal yang fatal. Baca cerita mbak jadi lebih wasdapada lagi dengan gejala sakit jantung .sehat sehat terus ya suaminya.
BalasHapusMba Wati aku jujur panik mba kalau ada kejadian begitu dan banyak juga yang bilang kalau seharusnya jangan panik karena lebih baik untuk bisa menangani kasus seperti ini. Sehat sehat selalu ya mba
BalasHapusMasyaAllah mba Hiday, aku jadi piye terharu dan mak gregel rasane ati
BalasHapusmakasih sudah berbagi cerita, berbagi rasa dan berbagi pengalaman agar hal serupa bisa menghilangkan kekhawatiran. Sehat terus ya buat kalian berdua dan keluarga. Bismillah bersama until janah-Nya
Aamiin, makasih Nyi
HapusDoa terbaik juga untuk Nyi dan Hadi
Semoga kita semua sehat sehat terus ya. Aamiin allahumma aamiin.
BalasHapusSemoga lekas sembuuuh dan selalu dikuatkan ya mba, termasuk kita yang menjaga dan merawat keluarga. Memang betul golden hours untuk penanganan sakit jantung dan stroke akan sangat menentukan hasil penanganan, jadi jangan sampai terlewatkan
BalasHapusWah skrng gimna akondisi suami mbak? Moga lekas sehat ya mbak, suaminya, aamiin.
BalasHapusIya kadang suka panikan kalau tiba ada heart attack gtu yaaa.... Butuh kewarasan utk telp minta tolong atau segera ke RS
Moga2 kita semua sehat2 dan dihindarkan dr penyakit ini ya mbak.
Mba juga jaga kesehatan ya. Semoga semakin pulih ya mba keadaan suaminya.
BalasHapusAku ikut mbrebes mili baca tulisan ini, mbaaak. Semoga Pakdhe dan mbak Wati sehat terus yaa..., jaga kesehatan
BalasHapusSemoga pak Babe makin sehat, Mbak Wati yang seterong juga selalu sehat, anak-anak sehat, semua sehat. Huhu.. ini yang waktu itu kita ketemu ga sengaja di RS ya..
BalasHapusYa Allah ikut deg-degan bacanya semoga mbak wati sekeluarga sehat selalu ya terutama babe amin...
BalasHapusSehat selalu ya, babe, Mbak wati, dan anak-anak, aamiin ya robbal alamin, memang kalau dengar ada yang sakit, apalagi orang yang terdekat banget itu rasanya nggak karuan ya mbak
BalasHapusSemoga sehat selalu untuk suami, Mbak Wati, & keluarga ya, Mbak. Artikelnya bermanfaat banget, ga absen per kata pun. Bakalan sering2 nih ke blognya mbak wati buat tambah ilmu ttg serangan jantung. Semangat menulis & terus berbagi ilmu ya mbak :)
BalasHapusOya, untuk solusi pembesuk gimana ya, Mbak? Di satu sisi senang krn banyak yg memperhatikan. Di sisi lain juga butuh istirahat. Ini yg kdg msh jadi PR.
Ya Allah baca ini aku jadi sedih banget soalnya abang iparku selasa kemarin baru aja meninggal. Tahun kemarin abis pasang ring di semarang. Udah sehat banget sebenernya pas pulang dr masjid abis shalat dhuhur tetiba lemes ga ada 5 menit udah ga ada. Makanya kami semua shock kaya mimli rasanya.
BalasHapusSemoga babe dan kita senua sehat selalu ya
Daebak.
BalasHapusBabe kena serangan jantung kok masih bisa nyetir buuuuu?
Duh, aku bacanya ikut deg2an. Sekarang udah sehat. Puji Tuhan.
peluk peluk bu Wati.. semangat ya buuuuu.. semoga suami dan bu Wati semakin baik kondisinya dan selalu sehat.
BalasHapusNggak tau mau bilang gimana lagi, Bu. Tiba-tiba perasaanku amburadul kelar baca tulisan ini. Makasi udah sharing, Bu. Sehat-sehat, Bu Wati sekeluarga.
BalasHapusDari pengalaman mbak Wati dan Pakdhe aku jadi belajar untuk selalu menjaga kesehatan dan nggak menyepelekan kesehatan juga. Apalagi kita semua rentan banget terkena penyakit kronis kayak gini. Semoga kita semua selalu diberi kesehatan sama Allah
BalasHapusAlhamdulillah, sekarang Babe sudah sehat, ya Mbak.
BalasHapusHIks. aku nangis baca ini... keingat pas suamiku kena maagh yang biasanya tahan sakit itu sampe kesakitan sampe nangis. aku ketakutan sendiri :( kebayang posisi Mba Wati waktu itu. Semoga sehat selalu.. :*
Babe kuat bgt ya bu, udh sakit bisa nyetir ampe Klinik. Alhamdulillah babe selamat n sehat y bu, jd q bsa mrsakan piknik ama babe deh
BalasHapusYa Allah semoga kita semua dilindungi dan dijauhkan dari segala penyakit. Aamiin. Mba Wati kuat banget, sabar dengan apapun yang terjadi yo Mba. Alhamdulillah babe sehat sedia kala. Lega.
BalasHapusAku lemes mendadak baca semua dr awal sampai akhir. Inget bapak di ICU 4 hari nggak sadar. Beruntung babe bisa masih sadar di ICU. Babe hebat.
BalasHapusBerkali-kali baca ini, tetep aja nangis aku, ngebayangin Bumer ngadepin sendirian, peluuukk Bumer, semoga Babe sehat2 selalu ya Bu...
BalasHapusaamiin ya Allah
Hapus