Pengalaman pertama pasti sesuatu yang mendebarkan, bikin pusing, stres, grogi, dan seribu cerita lainnya. Setiap orang pasti punya ceritanya sendiri. Dan saya sih ingin menceritakan di blog ini, karena beberapa alasan.
Alasan pertama tentunya karena saya belum pernah menuliskannya di blog ini. Seperti niat awal bikin blog ini adalah ingin berbagi yang bermanfaat. Jadi alangkah sayangnya bila saya tidak membagikan cerita pengalaman pertama melahirkan secara normal.
Alasan kedua adalah karena diminta oleh pemenang #ArisanBlogGandjelRel. Mereka adalah Marita Ningtyas dan Dini Rahmawati. Saya kenal Marita atau akrab disapa Ririt adalah ibu dua anak yang pintar blogging. Dia juga seorang content writer dengan konten berbahasa Inggris. Tulisannya di blog personal www.maritaningytas.com selalu dengan sudut pandang yang memiliki karakter khusus dan detil. Saya suka membaca tulisannya yang kadang menyentuh dan menginspirasi.
Sementara Dini Rahmawati adalah seorang ibu dari tiga anak yang semuanya memiliki prestasi. Mba Dini adalah pribadi yang humble, ramah, dan senang bercanda. Ngakunya sih mantan Pramuka, iya lah mba, saya juga, hihiiii. Katanya lagi belajar ngeblognya juga baru saja dimulai, tapi udah dotcom. Alamat blog personal mba Dini sesuai namanya yaitu www.dinirahmawati.com dengan judul blog Ini Blogku, Yaa. Tagline blog nya adalah blognya Dini, catatan kecil pengingat diri.
Seperti yang saya tulis di atas, pengalaman pertama pasti merupakan sesuatu yang mendebarkan. Bagi saya pengalaman pertama melahirkan itu juga proses pembelajaran. Karena saya tentu ingin sekali mengulanginya lagi.
Certa Pengalaman Pertama Melahirkan Secara Normal akan saya mulai dari H-7 sebelumnya. Dan saya baru sadar, selama hamil hingga dua kali nggak pernah foto-foto. Maklum jaman dulu kala, belum sadar kamera.
Karena suami kebetulan tengah sibuk dengan pekerjaan proyek yang mengharuskannya di luar rumah hingga dini hari. Saya pun pindah tidur ke rumah budhe di Jagalan.
H-7, 19 Maret 1995
Lokasi rumah sakit yang berada di tengah kota, bikin keluarga besar Ibu saya menyarankan saya pindah. Kebetulan begitu menikah saya dan suami langsung menempati rumah sendiri di daerah Pedurungan Kidul. Jarak dari rumah ke rumah sakit sekitar 7 km. Keluarga Ibu waswas bila saya sendirian di rumah saat menjelang hari kelahiran si sulung.
H-6, 20 Maret 1995
Ada berita heboh di seluruh media cetak tentang peristiwa artis yang meninggal karena kecelakaan mobil. Kalian pasti udah tahu dong dengan Nike Ardilla. Gadis cantik yang tengah populer dan ramah pada penggemarnya ini menghembuskan nafas terakhir di lokasi kecelakaan.
Nah, hampir tiap hari jelang HPL saya baca beritanya di media cetak. Jaman dulu belum ada sosial media kayak sekarang. Beuh, jaman masih banyak sapaan lewat tuturan dari pada tulisan.
H-5, 21 Maret 1995
Suami belum tiap hari nengok saya di rumah budhe. Saya sih memahami beban pekerjaannya yang butuh konsentrasi dengan jam-jam panjang di lokasi proyek. Jadi saya maklum karena suami melakukannya untuk biaya melahirkan anak pertama kami.
Sebagai pengantin baru yang langsung menempati rumah sendiri, banyak pengeluaran yang mesti dicermati. Karena rumah masih dicicil angsurannya, dan saya langsung hamil. Butuh dana yang harus dialokasikan sesuai dengan prioritas. Biaya kelahiran masuk dalam prioritas utama saat itu. Jadi lembur pun dilakukan suami demi menambah tabungan.
H-4, 22 Maret 1995
Saya tiap pagi malas banget jalan-jalan. Beruntungnya tinggal di rumah Budhe, yang bertetangga dengan dua rumah keluarga juga. Ada Budhe lagi dan seorang bulik yang setiap pagi mengusik kenyamanan istirahat saya.
"Abis Shubuhan ya jalan-jalan, jangan tiduran lagi,"
"Ngko anakmu keset loh," (nanti anakmu malas loh)
Begitu lah selalu bujukan keluarga tiap kali saya balik tiduran. Duuuhhh, mereka nggak pernah mengalamai malasnya bumil yang pengennya leyeh-leyeh kali ya.
H-3, 23 Maret 1995
Senangnya tinggal di Jagalan, kawasan Pecinan ini ada tukang jualan yang banyak. Segala macam jajanan dan makanan penggugah selera tersedia mulai bangun pagi hingga mau tidur. Ada Pasar Karang Kembang yang dekat dengan lokasi rumah keluarga Ibu. Biasanya saya rajin jalan pagi sambil kulineran di Pasar Karang Kembang ini.
Kadang suami pulang dari proyek dini hari menuju Jagalan. Dan paginya kami berdua jalan-jalan di pasar. Gayanya olah raga biar proses kelahiran lancar. Aslinya sih saya kalap pengen beli segala jajanan untuk sarapan, hahahaa.
H-2, 24 Maret 1995
Perut saya mulai mulas-mulas. Bahkan saya mulai merasa mual seperti orang hamil usia trimester awal. Sebuah kondisi yang tidak saya alami saat trimester awal. Orang bilang saya hamilnya ngebo. Semua makanan masuk dan tidak mengalamai mual.
Namun jelang kelahiran saya baru mengalami mual. Tiap pengen sesuatu dan dibelikan oleh budhe atau kakak sepupu, keinginan untuk menikmati makanan lenyap. Cuma dua atau tiga sendok udah bikin kenyang. Tapi kalo di tempat kerja saya nggak pernah merasakan mual sama sekali. Makan apa aja masuk. Hari Jumat ini merupakan hari terakhir saya masuk kerja. Karena Sabtu ternyata saya mulai mengalami kontraksi dan masuk rumah sakit.
Namun jelang kelahiran saya baru mengalami mual. Tiap pengen sesuatu dan dibelikan oleh budhe atau kakak sepupu, keinginan untuk menikmati makanan lenyap. Cuma dua atau tiga sendok udah bikin kenyang. Tapi kalo di tempat kerja saya nggak pernah merasakan mual sama sekali. Makan apa aja masuk. Hari Jumat ini merupakan hari terakhir saya masuk kerja. Karena Sabtu ternyata saya mulai mengalami kontraksi dan masuk rumah sakit.
Oiya, udah dua hari suami menginap di rumah budhe. Itu saran dari bulik dan kakak sepupu yang meminta langsung pada suami. Alhamdulillah suami mulai mengurangi aktifitas kerja jelang kelahiran. Dia udah minta ijin pada pimpinannya.
H-1, 25 Maret 1995
Masih dini hari saat saya merasakan perut mulas. Malam sebelumnya saya nyaris bolak balik ke kamar mandi, sementara tempat saya tidur ada di lantai 2. Suami sering pula terbangun menemani saya yang gelisah karena gerah dan rasa tidak nyaman di bagian perut.
Apakah ini saatnya kelahiran, pikir saya dengan perasaan yang campur aduk.
Saya merasa beruntung dikelilingi oleh orang-orang yang memberikan support berlimpah. Keluarga besar Ibu sangat aware dan tiap saat bertanya bagaimana, udah merasakan apa aja. Hingga kemudian kakak sepupu menyuruh suami mengantarkan saya ke rumah sakit. Karena melihat saya yang bolak balik ke kamar mandi.
Jadi usai shalat Shubuh kami pun berangkat ke rumah sakit. Naik motor boncengan, dengan udara sejuk pagi hari yang bikin hati saya terasa damai.
Jalan Mt. Haryono masih sepi dari lalu lintas kendaraan bermotor. Suasana pagi yang lengang mendukung suasana hati saya yang ingin kontemplasi. Saya menikmati setiap detiknya selama dalam perjalanan. Suami pun siap menjadi pendukung saya menjalani proses kelahiran si sulung. Semoga Allah mengirim malaikatNYA, membantu dengan kemampuan dan energi positif jelang HPL.
23 Jam Sebelum Kelahiran
Rumah sakit masih sepi saat saya dan suami memasuki pelatarannya. Begitu memasuki ruang IGD dan diperiksa oleh dokter jaga, saya diminta menunggu di bed.
Oiya, saya sudah memilih Bidan yang akan membantu proses kelahiran. Semua kakak sepupu, juga Ibu saya, budhe dan bulik semua dibantu oleh Bidan RS Panti Wilasa di Citarum. Rumah sakit yang sudah familiar dengan program kelahiran secara normal waktu itu. Apalagi rumah sakit ini dekat dengan rumah keluarga besar Ibu. Jadi saya memilih rumah sakit ini karena udah kebiasaan dari keluarga besar.
Pukul 11.00, tanggal 25 Maret 1995
Kontraksi yang saya alami sangat lambat. Masih bukaan dua dan tidak nambah lagi. Saya udah lelah berjalan di lorong rumah sakit. Tiap terjadi kontraksi, saya berhenti dan mengatur napas dibantu suami. Saya menikmati setiap detik rasa sakit yang menerjang di bagian bawah perut.
Entah berapa kilometer yang saya lintasi selama seharian itu. Hingga sore hari dan beberapa sepupu juga bulik dan budhe berkumpul menemani saya. Sampai suster menyebut kami serombongan suporter yang menanti kelahiran, hahahaa.
Hingga melewati Maghrib, dan sudah 14 jam saya mengalami kontraksi yang lambat. Kata orang sih anak pertama kadang gitu, prosesnya lama karena mencari jalan lahir.
Bukaan saya cuma maju tiga, nggak nambah banyak. Sementara saya mulai kepayahan karena berjalan hilir mudik sepanjang hari di lorong rumah sakit. Bidan yang membantu saya sampai mengusap perut setiap beberapa jam.
Ibu Mertua, Bapak Mertua, Bapak saya dan suami yang bergiliran jaga di ruang bersalin. Semua keluarga yang menemani sejak pagi mulai bergantian pulang mengurus rumah dan keluarganya.
Ibu saya sendiri nggak ikut menunggu di ruang bersalin karena nggak tega. Ibu di rumah mendoakan saya sambil nemeni adik bungsu saya. Kedua adik saya yang lainnya giliran jaga di rumah sakit, menanti ponakannya lahir ke dunia.
Selama kontraksi, Ibu Mertua lah yang sering mengusap perut saya. Menyabarkan, memberi dukungan dengan doa dan nasihat agar saya ikhlas menjalani proses kelahiran yang lama itu. Bergiliran dengan suami, adik laki-lak dan bapak saya, mereka keluar masuk ruang bersalin. Saya udah nggak boleh turun dari tempat tidur.
Ibu Mertua pula yang meminumkan air zam-zam, juga air rendaman rumput fatimah. Setiap kali perut saya diusap dengan air tersebut, ada rasa damai dan nyaman yang bikin hati tenang. Seperti sugesti yang mampu membuat saya sabar dan tidak berteriak-teriak seperti teman yang ada di ruangan sebelah.
Detik demi detik meluncur seakan begitu lambat. Pukul 10 malam, dokter jaga mulai mengunjungi saya. Mengecek kondisi saya dan jalan lahir yang nggak mau kompromi, masih bukaan enam.
Pukul 01.00 tanggal 26 Maret 1995
Bukaan saya udah komplit, dan ketuban pun dipecah oleh Bidan. Suami yang setia di sisi saya selama seharian ini menampakkan wajah yang cemas. Saya sendiri masih setia tarik napas buang napas seperti yang diajarkan saat senam hamil.
Perawat sudah seharian giliran nemeni saya. Mereka menghibur dan mengajak saya ngobrol bergiliran, kalo suami, Ibu Mertua, Bapak sudah lelah.
"Ibunya tenang sih nggak teriak-teriak, jadi kami senang nungguin di sini,"
Begitu tutur perawat-perawat itu. Dan saya nggak merasa kesepian karena mereka senang berbicara bahkan bercanda dengan suami. FYI, suami sepertinya mengusir kecemasannya dengan banyak bercanda dengan perawat. Saya kadang melupakan sakit tiap mendengar candaan itu.
Suami pula yang sering meringis menahan sakit tiap menemani saya kontraksi.
Tiba-tiba bagian bawah perut a.k.a jalan lahir merasakan dorongan yang keras. Saya menekan *maaf b0k0ng, saya ke tempat tidur. Posisi saya entah seperti apa, enggak karuan rasanya.
Beberapa kali saya merasakan dorongan itu namun tak ada sesuatu yang meluncur keluar dari jalan lahir.
"Rambutnya udah kelihatan. Ayo, Ibu simpan tenaganya ya, bentar lagi kalo adik mendorong, segera mengejan yaaa,"
Beberapa kali instruksi Bidan terdengar di telinga saya. Saya sudah lemah, tak memiliki tenaga untuk mengejan. Sudah dua hari saya nggak doyan makan. Bahkan makan pagi dan siang yang diantarkan oleh bagian dapur rumah sakit pun susah tertelan. Hanya buah yang aman masuk ke mulut saya. Bahkan saya pengen banget makan pepaya atau bengkuang. Dua buah kesukaan saya selama hamil.
Tiba-tiba saja Ibu Mertua masuk ke ruang bersalin lagi. Beliau meletakkan tangannya di dahi dan berdoa tak henti. Kemudian suami pun ikut masuk ke ruangan bersama bapak.
"Ibu udah kepayahan, gimana kalo cesar aja?"
Penuturan dokter jaga membuat mata saya terbelalak. Kaget campur takut dengan putusan dokter tersebut. Namun di tengah keputusan itu saya berucap dengan tegas menolak opsi dokter.
"Mengapa enggak dari awal cesar?" begitu pertanyaan saya.
Ini sudah sakit di bagian bawah, masa masih mau 'dioprek' bagian perut. Enggak deh, enggak mau, kata saya waktu itu.
Akhirnya suami dan dokter serta bidan keluar ruangan lagi. Entah apa yang mereka rundingkan. Yang jelas sih menurut penuturan suami setelah si sulung lahir, dia diminta menandatangani satu berkas pernyataan. Isinya katanya, nggak bakal menuntut rumah sakit bila terjadi sesuatu pada saya dan bayinya.
Saya nggak bisa membayangkan gimana perasaan suami waktu tanda tangan berkas pernyataan itu. Karena waktu keputusan saya ambil, yaitu memilih bantuan forcep untuk menarik anak saya menuju jalan lahir, ada banyak resiko kelahiran.
Namun saya yang menjalani proses kelahiran, bukan orang lain. Saya yang akan mengalami semua akibat dari proses kelahiran. Tentunya juga anak saya ya. Tapi saya yang punya keputusan akhir dan alhamdulillah suami menuruti keinginan saya.
Tepat pukul 03.10, si sulung hadir di dunia. Dengan tangisan kencang membelah dinihari menuju fajar tiba. Saya melihat ada bulir air mata yang membasahi pipinya.
Lelaki itu, yang selama ini selalu suka mencandai saya. Tak pernah terlihat murung, sekali ini terlihat lemah di mata saya.
"Nggak usah nangis, aku kan nggak apa-apa," tukasku untuk mengusir sesak di hati.
Suami membalas ucapan saya dengan kecupan di dahi. Bikin nyesss di hati. Sirna sudah lelah dan lemah yang terasa karena menanti proses kelahiran si sulung. Apalagi saya nggak boleh menggendong si sulung selama dua hari ke depan. Akibat proses kelahiran yang dibantu forcep jadinya si sulung mesti ditahan di tempat tidur mungilnya di ruang baby.
Si sulung usia 15 hari |
Ternyata baru diketahui kemudian, kenapa si sulung susah lahirnya. Placenta berada di sisi kanan, tidak di posisi dekat dengan janin. Hingga tidak ada yang mendorong janin keluar ke jalan lahir. Kemudian baby juga terlilit tali pusar. Itu lah sebabnya dokter meminta suami tanda tangan, karena kondisi tersebut baru diketahui detik-detik jelang kelahiran si sulung.
Hikmah dari proses kelahiran pertama ini adalah, harus melakukan pemeriksaan USG jelang lahiran. Dulu saya cuma USG dua kali, yaaitu bulan kelima dan kedelapan saat hamil.
Juga yang tak kalah penting adalah bumil mesti banyak makan jelang bumil mau melahirkan. Karena tenaga yang dibutuhkan didapat dari kalori yang masuk. Penting banget terutama untuk proses kelahiran secara normal.
Alhamdulillah saya menikmati proses melahirkan ini dengan banyak berdzikir, istighfar, dan baca shalawat. Sebuah proses yang menjadikan setiap perempuan semestinya banyak bersyukur. Saling mendukung dengan sesama ibu yang akan melahirkan, baik secara normal maupun cesar. Karena setiap ibu adalah pejuang kehidupan. Tak ada yang lebih baik, melahirkan normal atau cesar semua sama. Sama-sama menanggung resiko kematian. Sama-sama berjuang di jalan Ilahi.
Dan lelahnya proses kehamilan hingga melahirkan adalah menatap bayi mungil di pangkuan. Saat bayi tidur nyenyak pengennya diciumin terus.
Kalo udah usia 1th, lupa sakitnya melahirkan |
Gimana dengan kalian, udah pernah mengalami proses kelahiran yang menyesakkan hati? Atau lancar seperti lewat tol, eh tapi jalan tol sekarang mah banyakan macetnya ya. Kalaupun ada yang masih pengantin baru membaaca ini, yakin lah bahwa banyak kemudahan selama proses kelahiran. Bayangkan aja senangnya punya baby. Banyakin berdoa, berbuat baik, agar banyak yang mendoakanmu. Wassalamualaikum.
Tidak ada komentar: