Berita pesawat terbang yang jatuh di perairan Samudra India nyaris memenuhi layar kaca pagi ini. Semua stasiun TV menayangkan peristiwa tragis itu dengan mewawancarai narasumber. Pertama melihat beritanya, jantung Ariana berpacu tak beraturan. Ia segera duduk di sofa dengan jemari tangan saling meremas.
Ia mesti kuat mendengar penyiar berambut cepak itu membaca kabar terbaru dari bandara maupun rumah sakit. Ia pernah menjalani ritual ini. Mendengar kabar tiap saat, berharap ada keberuntungan. Berharap mukjizat Tuhan menolongnya dari hati yang patah.
Bisikan doa ia ucapkan lirih. Berharap ada mukjizat bagi semua penumpang dan awak pesawat.
“Tuhanku, jangan ada lagi wajah duka dari keluarga tercinta,”
Ia tak yakin mampu menghadapi setiap peristiwa kecelakaan pesawat setelah kejadian itu. Meski ada psikolog yang mendampingi dirinya, juga kasih sayang dan perhatian dari keluarga serta teman-temannya, tetap saja ia rapuh.
Ketika ia ingin mandi dan memilih baju kerja, tangannya terhenti di udara. Bayangan wajah tampan, senyum yang tak pernah alpa terpahat dengan tulus, dan suara lembut tiap pagi, menari-nari di sana.
Ariana tertegun.
“Selamat pagi, sayangku. Sarapan apa kita hari ini?”
“Sarapan yang biasa. Ada roti bakar selai madu, teh tanpa gula, dan jus jeruk tanpa gula,”
“Hmmm, menggoda juga pilihan menunya,”
Ariana akan tersenyum bila melihat sosok tampan itu menikmati setiap gigitan roti bakar di meja makan. Tiap pagi ia akan menjumpai ekspresi menyenangkan ketika laki-laki itu memejamkan mata saat menghirup teh panasnya. Atau mencecap jus jeruk dari gelas berukuran besar yang Ariana pilih. Ariana tak pernah bosa menatap pujian dari laki-laki paling tampan sedunia itu.
Dering telepon genggam menyadarkan Ariana dari lamunannya.
Langkahnya bergegas menuju meja di ruang keluarga. Ponselnya bergerak dan terus meneriakkan suara Alanis Morissette.
"Riana, kamu nonton beritanya?" suara Mama terdengar jelas.
"Iya, Ma,"
"Matikan TV kamu, dan jangan baca koran,"
Suara Mama terdengar keras di telinganya. Ariana mengangguk. Lupa Mama tak bakal melihatnya.
"Iya, Ma. Riana sehat dan sedang siapin sarapan. Mama dan Papa sehat juga kan? Titip salam kangen ya buat Papa. Daaa Mamaaa,"
Riana mengucapkan maaf dalam hati karena telah mematikan ponselnya tanpa menunggu jawaban Mama. Ia sedang enggan mendengar nasihat pagi ini. Seperti nasihat yang sudah sering didengarnya dua tahun lalu. Hingga ia mesti mencabut kabel telpon rumahnya. Ia pun menyortir siapa saja yang bisa menelpon langsung ke ponselnya. Hanya nomer kontak keluarga dan sahabat yang masuk dalam nada dering ponselnya.
Ariana kembali ke dalam kamar tidur. Kali ini ia lebih cepat memutuskan blus dan rok mana yang dipakainya untuk bekerja.
_____________
"Sudah selesaiii!"
Teriakan Aska mengundang tawa Ariana.
Aska berdiri meregangkan tubuhnya.
"Kamu jadi kan ke kampungmu?"
"Jadi dong. Kamu berubah pikiran?"
Aska menggeleng.
"Tidak mungkin aku berubah pikiran. Aku pengen melihat rumah itu,"
"Rumahnya sederhana seperti yang aku bilang kemarin. Rumah kampung."
"Yang penting aku ingin ikut kamu ke kampung Ringinputih. Pengen menikmati semua yang pernah kamu ucapkan untuk menggodaku datang kesana," Aska berkeras.
"Kalo gitu kita mesti pulang gasik, aku malas kejebak macet di jalan tol."
Aska mengangguk.
Ariana segera mengecek jadwal penerbangan mereka. Rencananya mereka akan memilih penerbangan ke Solo pukul 16.15 WIB. Dari Solo mereka telah memesan mobil untuk mengantar ke rumah keluarga Gandi.
Ariana membayangkan wajah Ibu Gandi, wajah Bapaknya, dan Septi, adik satu-satunya. Orang-orang terkasih Gandi, suaminya. Ia merasa bersalah jarang menghubungi mereka. Namun mereka tetap menerimanya ketika kemarin ia berniat ingin menginap di sana.
Gandi, laki-laki yang selalu ada di hatinya. Yang tak akan terhapus mesti tahun akan berganti. Orang-orang dan wajah baru akan datang menjumpainya.
"Melamun lagi?!"
"Askaaa..."
"Aku paling sebel kalo lihat matamu muram seperti itu,"
Ariana mengangkat bahunya pasrah. Ia memang tak mampu lagi menatap masa depannya dengan mata berbinar. Dulu, ia pernah memiliki binar semangat seperti milik si mungil Aska. Ia pernah berada dalam posisi gadis mungil dengan lesung pipit yang menggemaskan itu. Mana ada laki-laki yang tak ingin segera melamarnya?
"Hei, gimana kabar Agung?"
Aska tersenyum. Lesung pipitnya mengiringi senyum riangnya.
"Biasaaa, sedang lembur untuk akun klien perusahaan. Dan aku sudah minta ijin yang intinya sih dia oke aja,"
"Syukurlah."
"Besok kita berangkat langsung dari sini?"
"Iya, jangan lupa, bawa pakaian secukupnya. Kita cuma dua hari di sana,"
Aska hanya tertawa kecil.
____________
"Sekarang kampung ini sudah tak lagi seperti dulu,"
"Waktu kamu pacaran Mas Gandi?"
Ariana tersenyum kecil. Ia masih mengingat dengan jelas kisah enam tahun lalu ketika KKN di desa Ringin putih. Desa yang asri, dengan tanaman yang tumbuh subur di mana-mana. Hamparan hijau dan kuning padi yang siap panen. Setiap jengkal tanah dibudidayakan dengan tanaman palawija.
Desa yang mempertemukan mereka tanpa sengaja. Karena Gandi adalah pekerja di ibukota yang kebetulan mengambil cuti untuk kegiatan nyadran di desa.
Pertemuan yang akhirnya mengeratkan jalinan kasih di antara keduanya. Dan tiga tahun kemudian mereka menikah dengan restu kedua orang tua. Meski pada awal perkenalan dengan orang tuanya, Gandi terlihat gelisah.
Ariana menyadari mereka datang dari keluarga yang sangat berbeda. Bukan masalah harta benda, namun jalan pemikiran yang tak sama. Orang tua Gandi adalah orang-orang yang sederhana. Hidup mereka bersahaja namun tak kekurangan. Sementara orang tua Ariana adalah pengusaha jasa konstruksi dengan karyawan ratusan orang.
Namun sikap Gandi yang sederhana dan jujur saat melamar Ariana, bikin hati Mama takluk. Gandi langsung menempati ruang kosong hati orang tua Ariana. Kerinduan pada sosok anak laki-laki yang tak pernah mereka miliki ada pada Gandi. Meski menikahi putri seorang pengusaha, Gandi tetap bekerja sebagai peneliti di perusahaan farmasi. Ia tak menginginkan jabatan instan dari sang mertua. Keputusan yang sangat dihargai oleh keluarga Ariana.
"Masih jauh kah rumahnya?"
Ariana melirik teman seperjalanannya. Dua botol air mineral telah tandas dan tergeletak di pintu samping penumpang. Cuaca panas dari jalanan seakan menembus ke dalam mobil yang mereka tumpangi. Ariana melarang temannya menyalakan AC dengan maksimal. Ia tak ingin accu mobilnya jadi panas. Mereka beruntung dapat mobil ini meski tahun produksinya lumayan lama.
"Itu rumah orang tua Gandi. Yang memakai gamis coklat itu Ibu Gandi,"
Mereka turun dari mobil.
"Ariana, kamu makin kurus," Ibu segera memeluknya erat.
Ariana merasa bersalah ketika mendapati dirinya begitu nyaman dalam pelukan perempuan itu. Ariana menatap wajah ibu dari kekasih hatinya dengan tatapan muram.
"Maafkan Riana, Bu. Langsung kemari dan mendadak ngabari pengen menginap,"
Ibu Gandi menggeleng dan menepis ucapannya lebih lanjut.
"Ayo masuk dan kalian mesti mandi dulu. Capek kan naik mobil dari Solo,"
"Mbak Rianaaa..." teriakan riang menerpa indra pendengarannya.
Sosok gadis usia belasan tahun yang tampak bertambah tinggi dengan kacamata bertengger di wajah. Jantung Ariana bergemuruh.
"Sejak kapan pakai kacamata?"
"Persis Mas Gandi kata tetangga, Ibu juga sih. Cuma nggak pernah diomongkan langsung."
Ariana mengiyakan dalam hati. Ia menghela napas. Melepaskan sedikit sakit yang tiba-tiba muncul. Ia telah melepaskan sosok itu pergi dengan ikhlas meski hatinya berdarah-darah. Ia tak mungkin melanggar takdir Tuhan.
________
Makan malam mampu menghentikan ocehan Aska yang tak henti begitu bertemu Dewi. Mereka beda usia banyak, namun sepertinya Aska lah yang tak beranjak dewasa sesuai usia. Keduanya ribut hingga Ibu menghalau Dewi segera mandi.
"Hmmm... enak banget sayurnya. Aku belum pernah makan sayur ini. Tapi rasanya bakal bikin aku ketagihan, Ri,"
"Terima kasih, kalo gitu ayo nambah lagi, mbak,"
Aska meringis sambil memegang perutnya. Ariana tersenyum geli.
"Bu, Riana mau ngomong sama Ibu dan Bapak,"
Aska melotot pada temannya. Ia masih ingin menghabiskan bakwan jagung yang sangat lezat dan empuk.
"Mbak Aska makan dulu sampai selesai. Jangan ikut-ikutan Riana ya."
Ibu segera menggandeng lengan Riana ke ruang tamu.
"Ri, Ibu dan Bapak ikhlas kalo kamu akan menikah lagi,"
Ucapan Bapak mengagetkan mereka berdua. Ibu menghardik pada Bapak.
"Riana belum berpikir sampai di sana, Pak," ucap Riana dengan senyum sedih.
"Trus untuk apa kamu kemari? Nyadran kan sudah berlalu,"
Riana menarik napas panjang. Ia menguatkan hati untuk segera mengucapkan niatnya.
"Ibu, Bapak, Riana kemari karena ingat dengan niatan Mas Gandi. Dulu kami pernah ingin membangun masjid di kampung sini. Cuma ketika mencari tanah yang cocok, nggak pernah dapat. Tiba-tiba saja Mas Gandi pergi, ninggalin Riana sendiri."
"Riana nggak sendiri, ada kami yang selalu siap menerimamu kapanpun kemari," Ibu mengulurkan tangannya.
Riana tersenyum.
"Ibu ingat kan, rumah milik Mas Gandi yang ada di ujung jalan itu?" tanyanya.
"Iya, mengapa dengan rumah itu? Dewi masih rajin bersih-bersih seminggu sekali,"
"Riana ingin menjadikan rumah itu masjid, seperti niat Mas Gandi,"
Ruangan itu hening sejenak.
"Uang asuransi milik Mas Gandi masih Riana simpan, belum diutak-atik. Rencananya sebagian untuk dana renovasi dan perlengkapan isi masjid. Pasti Mas Gandi suka, ya,"
Tangis pecah dari kedua orang tua Gandi. Mereka saling berpelukan. Riana sendiri menelan isak yang nyaris meledak di lehernya. Tuhan, ia masih merasakan sakit tiap kali mengingat kenangan indah yang putus sebelum ia sempat mencecap lebih banyak lagi.
"Riana ingin hati ini lebih pemaaf. Agar Mas Gandi bisa tenang di sana. Riana tak ingin menempati rumah itu tanpa Mas Gandi. Riana juga tak ingin menjualnya dan menerima uang milik Mas Gandi. Mungkin dengan menjadikan rumah itu untuk ibadah, Mas Gandi bisa tersenyum dan menemui Riana saat dalam mimpi. Riana tak pernah bermimpi bertemu Mas Gandi. Sementara papa aja bermimpi ketemu Mas Gandi dan memancing berdua. Riana kangen banget, Buuu,"
Meledak lah tangis yang selama ini selalu Riana sembunyikan dalam hati. Hampir tiga tahun ia menahan semua duka itu di balik topeng wajahnya yang selalu penuh senyum.
Aska menyusut air mata yang mengalir di pipinya. Ia tak tahan mendengar penderitaan yang diam-diam masih bertengger di hati teman sekerjanya. Ia tak mengira temannya masih memendam kepedihan, meski tahu bahwa Riana masih mencintai suaminya. Namun ia menganggap Riana sudah melarutkan kesedihan dengan bekerja dan berhasil. Meski ia tahu Riana selalu menepis bila ingin mengenalkannya pada seorang laki-laki.
"Bukan hanya Riana yang kangen, Ibu pun juga. Tapi Ibu selalu menepis bisikan setan itu. Ibu segera ambil wudlu dan shalat, mendoakan Gandi agar ia tenang di sana,"
Riana masih larut dalam tangis. Ia tak mampu menghalau bayangan sosok tampan yang selalu bersikap lembut padanya. Riana tak yakin sampai kapan kepedihan hatinya akan menyusut. Ia hanya tahu hatinya telah terpasung selamanya.
Ia tak pernah bisa menerima kabar kematian suaminya. Seperti ia yang tak pernah bisa menatap bangunan berukuran 12x24 yang berada di ujung jalan. Rumah yang niatnya ingin dijadikan seperti tempat beristirahat bila mereka berkunjung ke desa. Banyak rencana yang sudah disusun oleh mereka berdua. Seperti bentuk bangunan bila sudah direnovasi, isi perabot, bahkan lampu dan karpet untuk ruang keluarga.
Riana tak yakin mampu menatap penjuru ruangan rumah itu tanpa ada Gandi di sisinya. Rumah itu tak mungkin lagi menjadi tempat hunian keluarga. Jadi ia pun memutuskan ini agar sebongkah batu yang membebani hatinya ikut luruh dengan perubahan rencana mereka.
"Gandi pasti senang dengan keputusanmu. Rumah dan uang itu sudah menjadi hakmu, Riana. Kamu bebas mempergunakannya untuk apa saja. Seperti yang pernah kami ucapkan dulu, apa yang Gandi miliki, adalah milikmu,"
Dan makin meledak lah tangis Riana ketika jemari kasar Bapak mengelus rambutnya. Mereka bertiga saling mengeratkan pelukan untuk mengurai kepedihan yang seakan belum bertepi.
Foto dari pixabay.com
Aaah..sedih ya. jadi ingat, dulu ada salah satu teman om ku namanya Gandi naksir aku..hihi, sayangnya aku nggak mau :D
BalasHapusMb...cerpennya bagus.. Jadi ingat bbrp hari lalu, ttng dentuman di Solo, di kira pesawat jatuh.
BalasHapussedih baca cerpennya mbak :(.. tp bagus kok ... cuma ingetin aku ama temenku yg juga meninggal dlm kecelakaan pesawat..
BalasHapusJadi ingat kisah adik kelasku yang ditinggal bapak ibunya waktu kecelakaan Senopati beberapa tahun yang lalu :(
BalasHapusAhhh, baca ini jadi sedih, huhuhu, angis beneran ini aku mbaaa, jadi ingat alm. adikku :(
BalasHapusDuh... Riana, berbahagialah, semoga Gandi juga. Bagus, Mbak, cerpennya :)
BalasHapuskenapa siang2 jadi melow niy, membaca kisahnya mengingatkan aku pada seseorang..
BalasHapusAsyik... Mbak Wati nyerpen....
BalasHapusAyok, diseriusi. Ceritanya bagus.
Tambahkan setting yang terlihat nyata, perdalam karakter, then you go.
Semangat!!!
Ceritanya sedih mbak. Baru kali ini baca cerpen mb Wati :)
BalasHapusJadi inget, aku sudah lama nggak nulis fiksi. Pengin nulis tapi mampet ide haha
bagus mba cerpen nya :)
BalasHapusTermehek-mehek mba, kereeen. Jadi kangen pengen bikin cerpen lagi, huhu baper
BalasHapuslama ngga baca cerpen nih, cerpennya bikin sedih :(
BalasHapusjadi melow baca cerpen mba Wati bagus nya, keren sekali mba. tapi sedih, semoga bikin lagi yg happy ending :)
BalasHapushikss... bacanya serasa gimana gitu.. menyentuh dan mengalir... mba Wati tar kalo bikin cerpen colek2 lagi ya biar mampir.. :-)
BalasHapus