Haloo assalamu'alaikum, teman. Siapa yang pernah tinggal di daerah pecinan? Saya yakin di negeri ini, di berbagai kota ada wilayah pecinan. Karena banyak pendatang dari negeri Tiongkok yang senang melanglang buana ke penjuru bumi. Saya ingin curhat tentang gado-gado rasa selama tinggal di daerah pecinan Semarang. Seperti apa sih rasanya tinggal di daerah pecinan? Apakah saya ikutan makan daging babi, atau ikut main barongsai saat kecil? Yuk lanjut baca, agar tak salah tafsir dengan situasi dan kondisi kami yang tinggal di daerah pecinan.
Sejak dibuka kran keterbukaan pada era reformasi, kemudian ditetapkan juga Tahun Baru Imlek sebagai Hari Libur Nasional oleh mantan Presiden Gus Dur kala itu, membuat gairah pembauran makin terasa. Terutama kota Semarang, tempat tinggal saya di mana banyak rumah peribadatan umat Khong Hu Chu bertebaran.
Saya yang lahir dan besar di daerah Pecinan Semarang, sejak kecil sudah mengenal arti kata pembauran. Karena penghuninya memang membaur antara warga keturunan Tiong Hoa dengan Pribumi. Dulu memang sering disebut seperti itu, namun kami yang berada dalam satu lingkungan malah tidak pernah menyinggungnya. Apalagi banyak tetangga yang pribumi menikah dengan orang keturunan Tionghoa. Saat itu kami hidup rukun, bergaul dan bahkan saling berbagi makanan saat hari besar masing-masing.
Jadi, sejak kecil pula saya udah kenal yang namanya kesenian Barongsai, Liong, Wayang Potehi dan adat budaya seperti pemakaman, kelahiran dan pernikahan. Bahkan tetangga saya ada yang memiliki kelompok kesenian Barongsai ini. Kalo latihan, saya dan teman-teman sering menonton. Namun sejak pelarangan oleh mantan Presiden Soeharto, kesenian itu hilang bak ditelan bumi. Baru muncul lagi setelah era reformasi.
Tinggal di lingkungan pecinan itu menyenangkan. Beragam kebiasaan yang berbeda, menumbuhkan sikap toleransi dalam ibadah masing-masing. Bertenggang rasa, mengenal adat kebudayaan tetangga yang tak sama, makin menambah pengetahuan kami.
Bila ada tetangga yang punya gawe, semua saling membantu. Jaman dulu kan katering belum sebanyak sekarang, jadi semua makanan yang akan disajikan dalam upacara pernikahan dibikin bergotong royong.
Yang paling saya sukai tinggal di pecinan adalah dekat dengan pusat kota. Kemana pun saya pergi, sering jalan kaki aja. Mau ke Simpang LIma, Pasar Johar, atau pun ke sekolah, kami selalu jalan kaki. Kecuali kalo perginya bareng orang tua, baru deh naik becak.
Apa saja nikmatnya tinggal di daerah pecinan?
Pasar juga ada di seputaran wilayah rumah saya. Mau pilih belanja di mana? Pasar Langgar, Pasar Dargo, Pasar Johar, atau Pasar Gang Baru? Semua pasar ini sudah saya kunjungi. Yang paling sering tentu saja Pasar Gang Baru. Karena bahan belanjaan di pasar ini berkwalita bagus dan banyak pilihannya.
Di Gang Baru ada yang jual daging Babi, iya... itu benar sekali. Trus saya nggak jijik? Tentu saja jijik, meski cuma lewat. Tapi asal tidak bersinggung langsung dengan anggota tubuh saya, tentu saja tidak masalah. Apalagi saya juga belanjanya bukan daging babi, tapi ikan laut atau ayam. Di pasar ini barang belanjaan bermutu bagus, sudah pilihan deh. Tentu saja dengan harga yang lebih mahal dibanding pasar yang lain.
Di pasar ini juga sedia beragam bahan makanan yang jarang ditemukan di tempat lain. Seperti daging kodok, bahan sup hisit, masakan Chinese dan entah apa lagi, saya lupa namanya.
Lantas, apakah saya tergoda ingin menikmati masakan chinese food, atau swike kodok?
Enggak!
Karena kami sudah ditanamkan nilai-nilai agama sejak kecil. Simbah sudah tinggal di kampung Karang Anyar/ Randu alas ini sejak lama. Warganya beragam agama dan kepercayaan, ada Khong Hu Chu, Islam, Kristen, Katholik, Kejawen.
Namun saya dan saudara sepupu ikut pelajaran agama sepulang sekolah. Bahkan ngaji pada dua guru ngaji yang mengajarkan komplit, dari tajwid hingga Tarikh, pelajaran yang saya sukai.
Enggak mungkin saya tergoda mencicipi swike, babi panggang (melihatnya aja saya jijik), atau ba'cang. Makanan terakhir ini terbuat dari ketan yang diisi cincangan daging babi. Teman-teman saya suka makan ini, namun saya tidak berminat ingin mencicipinya.
Teman-teman saya bahkan sudah kenal banget kalo keluarga saya termasuk santri karena simbah kakung memang terkenal saklek dalam urusan ibadah. Namun simbah justru orang yang sangat memiliki toleransi dalam hubungan sosial bertetangga. Jaman G30S PKI gencar dibasmi, simbah menolong tetangga yang rumornya salah seorang anggota dengan menyembunyikannya di dalam rumah. Alhamdulillah, tetangga dan keluarganya aman di rumah simbah. Semoga Tuhan mengampuni kesalahannya, karena sekarang beliau orang yang sholeh.
Tiap hari raya masing-masing, kami saling berbagi makanan. Tentu saja yang halal yang dimasak dan dibagikan pada tetangga. Bertepatan dengan Imlek begini, saya selalu mengingat kue Kranjang, lontong cap go meh, dan manisan yang sering dibagikan pada kami. Begitu pun saat lebaran, kami juga berbagi lontong opor pada mereka.
Nah, gimana dengan upacara pernikahan?
Kami saling mengundang saat resepsi, bukan saat upacara yang sakral. Seperti ketika tetangga yang beragama Nasrani melangsungkan pemberkatan di gereja, tentu saja saya tak hadir. Kami hanya hadir saat makan-makan saja. BEgitu pula saat ijab kabul, mereka juga tidak kami undang. Biasanya mereka hadir sebelum ijab, atau saat resepsi. Itu adalah toleransi dalam hubungan sosial kami selama ini.
Lantas, apakah kami saling berbagi kesedihan juga?
Tentu saja. Saat ada anggota keluarga tetangga yang meninggal, apapun keyakinannya, kami saling berempati. Kalo ada tetangga Chinese yang meninggal, kami bisa memilih melayat saat malam sebelum dimakamkan atau paginya. Maysong atau sangseng, sudah jadi kegiatan kami sejak kecil.
Kami tidak heran lagi dengan upacara prosesi pemakaman yang berbeda. Justru dari prosesi itu, kami mengenal kebudayan negeri Tiongkok yang indah dan unik di mata kami.
Jadi, betapa banyak ragam budaya yang bisa saya pelajari, mengerti namun tidak ikut menjalaninya. Sebagai bagian dari menjaga hubungan baik antar tetangga, tentu saja makin memperkaya batin saya dan semua warga yang tinggal di wilayah pecinan Semarang. Bahkan sejak lama saya menganggapnya sebagai gado-gado rasa tinggal di daerah pecinan Semarang yang sangat menyenangkan dan tak dapat tergantikan di manapun di wilayah lain negeri ini.
Gimana pengalaman masa kecilmu, teman? Wassalamu'alaikum :D
Bila ada tetangga yang punya gawe, semua saling membantu. Jaman dulu kan katering belum sebanyak sekarang, jadi semua makanan yang akan disajikan dalam upacara pernikahan dibikin bergotong royong.
Yang paling saya sukai tinggal di pecinan adalah dekat dengan pusat kota. Kemana pun saya pergi, sering jalan kaki aja. Mau ke Simpang LIma, Pasar Johar, atau pun ke sekolah, kami selalu jalan kaki. Kecuali kalo perginya bareng orang tua, baru deh naik becak.
Apa saja nikmatnya tinggal di daerah pecinan?
Pasar juga ada di seputaran wilayah rumah saya. Mau pilih belanja di mana? Pasar Langgar, Pasar Dargo, Pasar Johar, atau Pasar Gang Baru? Semua pasar ini sudah saya kunjungi. Yang paling sering tentu saja Pasar Gang Baru. Karena bahan belanjaan di pasar ini berkwalita bagus dan banyak pilihannya.
Pasar Gang Baru |
Kalo bikin lumpia, saya beli bahan rebung di sini |
Di Gang Baru ada yang jual daging Babi, iya... itu benar sekali. Trus saya nggak jijik? Tentu saja jijik, meski cuma lewat. Tapi asal tidak bersinggung langsung dengan anggota tubuh saya, tentu saja tidak masalah. Apalagi saya juga belanjanya bukan daging babi, tapi ikan laut atau ayam. Di pasar ini barang belanjaan bermutu bagus, sudah pilihan deh. Tentu saja dengan harga yang lebih mahal dibanding pasar yang lain.
Di pasar ini juga sedia beragam bahan makanan yang jarang ditemukan di tempat lain. Seperti daging kodok, bahan sup hisit, masakan Chinese dan entah apa lagi, saya lupa namanya.
Bahan masakan sup hisit, Chines food lainnya |
Lantas, apakah saya tergoda ingin menikmati masakan chinese food, atau swike kodok?
Enggak!
Karena kami sudah ditanamkan nilai-nilai agama sejak kecil. Simbah sudah tinggal di kampung Karang Anyar/ Randu alas ini sejak lama. Warganya beragam agama dan kepercayaan, ada Khong Hu Chu, Islam, Kristen, Katholik, Kejawen.
Namun saya dan saudara sepupu ikut pelajaran agama sepulang sekolah. Bahkan ngaji pada dua guru ngaji yang mengajarkan komplit, dari tajwid hingga Tarikh, pelajaran yang saya sukai.
Enggak mungkin saya tergoda mencicipi swike, babi panggang (melihatnya aja saya jijik), atau ba'cang. Makanan terakhir ini terbuat dari ketan yang diisi cincangan daging babi. Teman-teman saya suka makan ini, namun saya tidak berminat ingin mencicipinya.
Teman-teman saya bahkan sudah kenal banget kalo keluarga saya termasuk santri karena simbah kakung memang terkenal saklek dalam urusan ibadah. Namun simbah justru orang yang sangat memiliki toleransi dalam hubungan sosial bertetangga. Jaman G30S PKI gencar dibasmi, simbah menolong tetangga yang rumornya salah seorang anggota dengan menyembunyikannya di dalam rumah. Alhamdulillah, tetangga dan keluarganya aman di rumah simbah. Semoga Tuhan mengampuni kesalahannya, karena sekarang beliau orang yang sholeh.
Hingga detik ini saya belum pernah belanja kue kranjang karena selalu ada yang berbagi |
Tiap hari raya masing-masing, kami saling berbagi makanan. Tentu saja yang halal yang dimasak dan dibagikan pada tetangga. Bertepatan dengan Imlek begini, saya selalu mengingat kue Kranjang, lontong cap go meh, dan manisan yang sering dibagikan pada kami. Begitu pun saat lebaran, kami juga berbagi lontong opor pada mereka.
Nah, gimana dengan upacara pernikahan?
Kami saling mengundang saat resepsi, bukan saat upacara yang sakral. Seperti ketika tetangga yang beragama Nasrani melangsungkan pemberkatan di gereja, tentu saja saya tak hadir. Kami hanya hadir saat makan-makan saja. BEgitu pula saat ijab kabul, mereka juga tidak kami undang. Biasanya mereka hadir sebelum ijab, atau saat resepsi. Itu adalah toleransi dalam hubungan sosial kami selama ini.
Lantas, apakah kami saling berbagi kesedihan juga?
Tentu saja. Saat ada anggota keluarga tetangga yang meninggal, apapun keyakinannya, kami saling berempati. Kalo ada tetangga Chinese yang meninggal, kami bisa memilih melayat saat malam sebelum dimakamkan atau paginya. Maysong atau sangseng, sudah jadi kegiatan kami sejak kecil.
Kami tidak heran lagi dengan upacara prosesi pemakaman yang berbeda. Justru dari prosesi itu, kami mengenal kebudayan negeri Tiongkok yang indah dan unik di mata kami.
Jadi, betapa banyak ragam budaya yang bisa saya pelajari, mengerti namun tidak ikut menjalaninya. Sebagai bagian dari menjaga hubungan baik antar tetangga, tentu saja makin memperkaya batin saya dan semua warga yang tinggal di wilayah pecinan Semarang. Bahkan sejak lama saya menganggapnya sebagai gado-gado rasa tinggal di daerah pecinan Semarang yang sangat menyenangkan dan tak dapat tergantikan di manapun di wilayah lain negeri ini.
Gimana pengalaman masa kecilmu, teman? Wassalamu'alaikum :D
wah mbak seruuu ih, jadi itu khusus untuk chinese ya kaya china town, mau cari segala hal yang berbau china bisa di daerah tersebut, pas nih momennya sama perayaan sekarang
BalasHapusIya mbak, mau nyari apa, yuk yuk belanja di sini
Hapusini salah satu toleransi antar umat beragama yg patut dicontoh...
BalasHapustengkiu share kecenya ya mbak
Makasih juga kunjungannya, mba Inda
HapusWaaaah seru ya tinggal di pecinan. Pas chinese Lunar New Year ada yang bagi-bagi dodol dan angpau juga ngga mak? Ehehehee
BalasHapusSelalu ada yang bagi-bagi dodol. Kalo angpau itu kan biasanya diberikan pada seseorang yang belum nikah. Yang udah nikah sih gak bakal dapat angpau
HapusPengalaman yang menarik ya, mba:). Toleransi jika dditumbuhka n sejak kecil akan menjadi bekal untuk hidup bertoleransi
BalasHapusIya mbak, bikin hidup saya berwarna
HapusKalo baca ini jadi inget dulu waktu punya bos Chinese...orangnya baiiik banget, tiap Imlek ngasih angpau dan nraktir makan di resto Chinese Food sepuasnya.., dan beliau ini Cina muslim lho..jadi kami makan makanan halal..
BalasHapushuhuuu...jadi inget beliau
Waah, asik dong ya, bisa dijadwalkan tiap Imlek pasti makan-makan
HapusWah seru banget ya tinggal di tempat seperti itu. :D Jadi penasaran deh pingin ke sana.
BalasHapusKapan-kapan ke Semarang, Nis, ntar aku antar jalan dan kulineran di Gang Baru. Tapi harus pagi, kalo udah siang yang jual udah gak ada
HapusJd kangen udah lama ga blusukan ke gang baru. Dlu suka nemenin mama belanja disana
BalasHapusAsik ya, bisa ikut kulineran gempol atau pecel, hihihiii
HapusPernah beberapa kali ke pasar gang baru mbak Wati, beli kue moho dan pecel. Kue moho itu kesukaan teman, tapi saya ngga suka karena kalau dimakan bikin seret di tenggorokan, kalau terpaksa makan nguyahnya lama sekali :)
BalasHapusBos kalau implek gini selalu kasih kue keranjang 3 buah per orang, lumayan kan :)
Wooow, moho itu kue favoritku loh mbak, yang bikin seret itu yang enyaaak, hahaha
HapusWaktu ke Semarang aku sempat mampir ke pasar beli lomie dan tahwa. Kalo nggak salah nyebutnya pasar Semawis, beda ya dengan pasar gang baru ini?
BalasHapusBacang bisa dimodif juga, jadi isinya pake daging ayam :)
Kalo pasar semawis cuma ada hari jumat sampai minggu, itu pun bukanya sore dan hanya di sepanjang jalan gang warung. Kalo pasar Gang Baru kan buka tiap pagi dan tiap hari, mbak Li
Hapusiyalah, mau tinggal di daerah mayoritas beragama beda tapi kalau kepercayaan dan keyakinan kita teguh, saya rasa gak masalah sih. Malah jadi belajar kebiasaan dan kebudayaan lain. Bukankah Indonesia juga terdiri dari berbagai suku dan punya adat istiadat yg beda? Makanya kita jadi unik ^_^
BalasHapusBetul sekali mbak Ria, bukankah keberagaman itu yang bikin indah dunia ya, hehehe
Hapuswah seru nih jalan-jalannya :)
BalasHapusIya banget :)
HapusWah seru juga ya mbak. Ibarat pelangi warna warni tp jd satu dan bikin indah.
BalasHapusKlo soal kuliner orang china jago2 yaa
Masakah chinese food emang juara, mbak
HapusPasti seru ya, Mba, bisa menikmati beragam budaya dari masing-masing kepercayaan. Daerahnya pasti ramai terus juga soalnya perayaan dari masing2 kepercayaan bisa gantian. :D
BalasHapusIyaaa.... bisa sering dapat rejeki, hihiii
HapusDari dulu ibuku juga nggak pernah beli kue ranjang, Mbak. Alhamdulillah dapet hehe.
BalasHapusWah seru ya mbak bisa kenal beragam budaya :)
BalasHapusWah menarik sekali masa kecilnya. Bisa jadi beberapa postingan nih, melihat pecinan dari berbagai sudut.
BalasHapusWah mbak wati tinggal di pecinan ya, klo masa kecilku di tanah sunda bandung garut,jadi kangen hidup di sunda hmm, orang cina aku mah kerjaan dulu 2x ma orang cina bahkan yang sekarang pun bosku cina, tiap imlek dapet kue keranjang 4 warna pink, hijau, coklat muda dan tua, kubagi tetangga depan ma sebelah satu2 kita cukup 1 heu
BalasHapus