Melontar jumroh hari ketiga tanggal 12 Dzulhijah, kami menemukan jalan baru yg lebih dekat. Bukannya mau memberi contoh buruk sih, tapi berangkat cari jalan sendiri ternyata lebih nyaman.
Suami hanya pakai feeling dan mengandalkan ingatan, serta berpikir dengan logika aja waktu memilih jalan arah kanan. Mengamati gunung batu yang dijadikan terowongan, serta arah peta yang baru dipelajari sehari sebelumnya. Nggak manut sama pak ketua TPIH.*nyuwun ngapunten*
Ya...hari pertama dan kedua, kami ambil jalan belok kiri dan melewati maktab dari beberapa propinsi di indonesia dan negara lain. Jalannya berarti memutar, dan tentu saja lebih jauh. Itu adalah petunjuk jalan dari petugas haji. Udah gitu, kami tidak diberi alamat tempat maktab 66.
Andai saja ketua TPIH memberi pesan, paling tidak alamat maktab, Insya Allah teman-teman jemaah haji tidak mengalami tersesat sepulang dari melontar jumroh Aqobah pada hari pertama. Kisahnya pernah saya tulis di Sini.
Nah pada hari ketiga, suami langsung mengambil jalan yang berbeda. Melewati tenda Kelompok haji arminareka, juga maktab negara Malaysia, kami ambil jalan belok kanan. Melewati jemaah haji dari Nigeria, Ghana dan entah dari negara mana lagi, yang nyambi jualan selama proses ibadah haji. Jalan ini kami lalui hari kedua saat pulang dari jamarat menuju maktab.
Dari kejauhan pun sudah tampak terowongan Mina. Kami masih harus melintasi pagar kawat yang memisahkan dua jalur berangkat dan pulang dari jamarat. Terowongan Muassien terbagi dalam dua jalur juga. Sebelum masuk terowongan sepanjang 600 meter, ada posko jaga petugas Indonesia.
Setiap beberapa waktu, ada pengumuman agar jemaah haji Indonesia menjaga diri dengan tidak memilih waktu afdol melontar jumroh. Seperti kami yang memilih berangkah pukul 2.30 dinihari. Aman dan nyaman, karena saat pulang sekitar pukul 04.20 cuaca tentu saja masih adem. Jadi kami juga bisa shalat shubuh berjamaah di maktab.
Waktu afdol melontar jumroh adalah setelah shalat shubuh atau saat dhuha. Saat hari pertama melontar jumroh Aqobah, kami baru berjalan pulang dan keluar dari terowongan. Ternyata jalur menuju terowongan dipenuhi oleh ribuan, mungkin ratusan ribu jemaah haji. Tubuh saya merinding menyaksikan jalan selebar enam meter yang penuh oleh jemaah.
"Ibu sudah melontar jumroh Aqobah?" Seorang jemaah bertanya dari balik pagar pembatas.
Kami mengangguk dan memberikan kabar kalo jamarat mulai sesak.
Dari pengeras suara pun terdengar himbauan, agar jemaah haji dari Indonesia mengurungkan niatnya melontar jumroh. Dari pantauan lewat saluran tv, jamarat terlihat penuh jemaah haji. Jalan satu-satunya, jemaah yang baru ada di depan terowongan harus memundurkan jadwal melontar jumroh usai shalat dzuhur.
Kala itu saya sampai mbrambang, betapa berat untuk memundurkan jadwal. Apalagi melontar jumroh Aqobah harus hari itu juga, yaitu tanggal 10 dzulhijah. Tapi kita harus mengutamakan keselamatan diri agar tidak celaka.
Hingga hari ketiga itu kami tetap memilih berangkat dinihari, karena udara di Mina yang masih segar dan sejuk, membangkitkan semangat kami yang jalan berombongan. Kali ini rombongan kami bertambah banyak. Yang takut tersesat, sejak hari kedua melontar jumroh, udah langsung mengikuti kami.
Mungkin karena lontar jumroh ini masuk hari ketiga, kami tak begitu tergesa berjalan. Kami sangat menikmati suasana sepanjang jalan menuju jamarat.
Mendekati jamarat |
Sesekali berjalan dengan saling lempar candaan. Agar hati senang, sehingga berjalan sepanjang 4 km pun tak terasa lelah. Meski bercanda, saya sih tetap melantunkan shalawat dan istighfar dalam hati.
Kalo lelah, bisa memilih jalur eskalator datar. Tinggal berdiri aja seperti foto di bawah ini. Sayangnya karena banyak yang memilih fasilitas eskalator ini, jalannya jadi lambat. Yang ingin cepat sampai tentu saja memilih jalur biasa. Pengguna kursi roda juga disarankan tidak mengambil jalur eskalator.
Rombongan I, Semarang campur kab. Demak |
Meski pukul 2.30 dinihari, Mina selalu ramai oleh jemaah yang melaksanakan rukun melontar junroh. Berbeda dengan pelaksanaan Thawaf dan Sai yang harus menjaga wudlu. Melontar jumroh tidak diharuskan menjaga wudlu. Jadi kalo perut kembung, monggo aja buang angin *ups, hihiii
Kali ini saya hanya membawa dua botol yang berisi air zam-zam. Dua-duanya saya isi dengan serbuk oralit. Satu saya siapkan untuk mas bojo tersayang. Yang belum tahu apa manfaat oralit, silahkan deh berkunjung ke tulisan saya yang berjudul Berbagi Tips Jaga Kesehatan Saat Haji/Umroh.
Pose di depan jumroh Aqobah |
Setiap usai melontar 3 jumroh, kami bersyukur. Tinggal satu kali lagi melontar jumroh pada tanggal 13 dzulhijah, esok harinya. Setelah itu kami harus segera meninggalkan Mina sebelum matahari terbenam dan melakukan thawaf ifadhah.
Kalo sudah melaksanakan thawaf ifadhah, selesai lah rukun haji. Artinya larangan yang tak boleh dilanggar pun juga sudah tidak ada. Seperti melakukan hubungan intim antara suami istri, menanggalkan pakaian ihrom dan tidak memakai wangi-wangian.
Nah, sekian dulu cerita perjalanan haji kami. Nanti dilanjut lagi ya, temans.
Terima kasih kunjungannya.
subhanallah mbak..
BalasHapusdo'akan saya agar bisa secepatnya beribadah haji juga ya :)
Insya Allah...Lia dan keluarga bisa disegerakan berangkat haji ya :D
Hapusharus mengikuti aturan untuk keselamatan juga y ambak
BalasHapusBetul mba Lidya, itu penting banget sih
HapusWaahh berguna banget nih tipsnya. Mudah2an kami dilimpahkan rejeki utk bisa berangkat secepatnya
BalasHapusAamiin...moga segera terwujud bisa berangkah ke Makkah :)
Hapusmasyaa allaah saya benar-benar ngiri
BalasHapussemoga dimudahkan allah untuk berkunjung ke sana sekeluarga
Gpp iri positif kan mbak... Insya Allah ya mb Astri Hapsari dan keluarga bisa segera berangkat ke Makkah juga, aamiin :D
HapusKeselamatan selalu yang utama ya mbak. Semoga tidak terjadi tragedi mina lagi untuk tahun-tahun selanjutnya.
BalasHapus