Banyak cerita tersesat jemaah haji selama musim haji. Karena itu sejak masih di tanah air, ustadz yang membimbing manasik selalu mengingatkan agar kami berhati-hati. Bahkan kalo bisa, setiap datang pertama kali bawa kertas dan pulpen untuk mencatat setiap tanda atau bangungan toko. Karena faktor umur pasti memori otak tak mampu mengingat dengan baik.
Buktinya setiap hari ada saja cerita mereka yang tersesat. Rata-rata jemaah yang tersesat ini bukan hanya yang sudah berumur. Ada juga yang masih berusia 40 tahunan tersesat menemukan kembali tempat shalat usai dari toilet.
Kali ini yang ingin saya ceritakan adalah kisah teman-teman satu kloter 17 SOC (Solo). Bayangkan aja, satu kloter itu ada 370 jemaah. Ini adalah kloter khusus haji mandiri (non KBIH). Hampir 90% dari jemaah ini tersesat sepulang dari Jamarat.
Tersesat kok rombongan, gitu komentar mereka saat cerita pengalamannya. Kami yang tidak tersesat jadi ketawa. Ada
ya teman sedang berduka lara
malah diketawain?! Etapi ini bikin menghibur sih, jadi kagak dilarang
kok. Inshaa Allah dapat pahala yang sedang diketawain, heheheee
Ceritanya saat melontar jumroh Aqobah hari pertama, yaitu tanggal 10 dzulhijah. Satu kloter
hampir sebagian besar nyasar pas balik dari jamarat (tempat lontar
jumroh)menuju maktab 66, tempat kloter 17 SOC nginep selama di Mina.
Padahal beberapa rombongan ini digabung dan berangkat dipandu orang
setempat. Tapi karena jalan balik lewat terowongan dari jamarat udah ditutup,
kemudian dialihkan lewat kota. Nah,
pemandu ini ternyata tidak menguasai jalanan di Mina. Akhirnya, tersesat lah rombongan
ini.
Nyaris putus asa, bahkan ada yang sampai nangis *banyak juga
sih*.
Ada pula yang ngomong,”Nggak mau pulang kalo nggak naik ambulance.”
Ada pula yang ngomong,”Nggak mau pulang kalo nggak naik ambulance.”
*eiiits....hati2
bicaranya, ntar didengar malaikat* Duuhhh...
Pertama mendengar kisah mereka, saya dan beberapa jemaah yang
tidak tersesat ikut sedih. Namun begitu ibu Romanah, jemaah asal Demak, ikut
cerita, sedih itu berganti tawa.
Bayangkan aja, beliau yang pernah kerja
sebagai TKW di Riyadh, tidak menampakkan wajah sedih atau marah karena
tersesat. Mendengar cerita tersesat versi ibu Romanah bikin pendengarnya ngakak
abis.
Gini nih, karena beliau bisa bahasa setempat, maka diangkat lah
jadi jubir. Ini udah ditranslate dari bahasa gaul orang Arab ke bahasa gaul
kita hihiii…
“Piye iki, kok iso kesasar?” (Gimana sih kok bisa tersesat?)
Si pemandu menampakkan wajah tak kalah bingung dengan jemaah
haji dari kloter 17.
“Ini kan saya udah tanya-tanya, Bu. Saya udah ngikuti petunjuk orang yang kita tanya tadi…”
“Tapi napa masih nyasar?”
“Capek nih… udah cenut-cenut juga betis kami,” Imbuh jemaah lain.
Si pemandu kewalahan dikeroyok jemaah yang telah habis
kesabarannya karena lelah, haus dan lapar.
Rombongan kami tiba di Mina sudah tengah malam. Istirahat tak lebih dari dua jam, harus segera bersiap untuk melaksanakan salah satu Rukun Haji yaitu melontar jumroh Aqobah hari pertama. Syarat Rukun Haji pun masih melekat, tidak boleh dilanggar. Seperti berpakaian ihrom komplit. Tidak melakukan hubungan intim. Tidak memakai wangi-wangian, dll. Banyak lho pantangannya.
Jadi, perut masih kosong karena sarapan akan datang pukul 6 tepat. Tubuh capek karena perjalanan dari Arafah ke Muzdalifah, mesti bawa tas tenteng seberat 7-10 kg. Kemudian dilanjutkan mengumpulkan kerikil di padang luas di Muzdalifah. Tepat jam 12 malam berebut naik bus. Entah napa ya di tanah suci ini isinya berebut naik bus melulu. Benar-benar perjuangan tiada akhir. *istighfar tak henti*
Belum lagi mata ngantuk karena melek dari pagi menjelang wukuf sampai dinihari ini. Boleh dibilang kami melek selama lebih dari 24 jam. Ada sih sebenarnya waktu untuk istirahat sejenak. Antara makan pagi hingga menjelang shalat dhuha sebelum pelaksanaan wukuf. Namun jarang yang bisa menggunakan waktu istirahat ini. Kondisi tenda di Arafah memang tidak senyaman di Mina. Tidak ada fasilitas pendingin udara. Karpetnya juga kotor banget.
Nah, saat mata pengen terpejam sejenak, pukul setengah 3 dinihari petugas kloter sudah mengajak untuk segera berangkat ke jamarat. Karena banyak yang masih ingin istirahat, ada pemandu orang setempat yang sudah disiapkan. Orangnya gagah dan terlihat profesional. Banyak deh yang ikut dengan pemandu ini.
Saya dan teman satu regu ditambah beberapa dari satu rombongan yang sama, malah berangkat paling akhir. Tanpa pemandu pula. Pede banget kami ini. Tapi kami malah tidak ikut tersesat, syukur alhamdulillah...
Rombongan kami tiba di Mina sudah tengah malam. Istirahat tak lebih dari dua jam, harus segera bersiap untuk melaksanakan salah satu Rukun Haji yaitu melontar jumroh Aqobah hari pertama. Syarat Rukun Haji pun masih melekat, tidak boleh dilanggar. Seperti berpakaian ihrom komplit. Tidak melakukan hubungan intim. Tidak memakai wangi-wangian, dll. Banyak lho pantangannya.
Jadi, perut masih kosong karena sarapan akan datang pukul 6 tepat. Tubuh capek karena perjalanan dari Arafah ke Muzdalifah, mesti bawa tas tenteng seberat 7-10 kg. Kemudian dilanjutkan mengumpulkan kerikil di padang luas di Muzdalifah. Tepat jam 12 malam berebut naik bus. Entah napa ya di tanah suci ini isinya berebut naik bus melulu. Benar-benar perjuangan tiada akhir. *istighfar tak henti*
Belum lagi mata ngantuk karena melek dari pagi menjelang wukuf sampai dinihari ini. Boleh dibilang kami melek selama lebih dari 24 jam. Ada sih sebenarnya waktu untuk istirahat sejenak. Antara makan pagi hingga menjelang shalat dhuha sebelum pelaksanaan wukuf. Namun jarang yang bisa menggunakan waktu istirahat ini. Kondisi tenda di Arafah memang tidak senyaman di Mina. Tidak ada fasilitas pendingin udara. Karpetnya juga kotor banget.
Kondisi Tenda Arafah |
Nah, saat mata pengen terpejam sejenak, pukul setengah 3 dinihari petugas kloter sudah mengajak untuk segera berangkat ke jamarat. Karena banyak yang masih ingin istirahat, ada pemandu orang setempat yang sudah disiapkan. Orangnya gagah dan terlihat profesional. Banyak deh yang ikut dengan pemandu ini.
Saya dan teman satu regu ditambah beberapa dari satu rombongan yang sama, malah berangkat paling akhir. Tanpa pemandu pula. Pede banget kami ini. Tapi kami malah tidak ikut tersesat, syukur alhamdulillah...
Beraksi dulu usai lontar jumroh hari terakhir |
Kembali ke cerita mereka yang tersesat ah
Bu Romanah memukuli si pemandu saking gemes dan jengkel. Namanya
pemandu, harusnya kan hapal jalan. Bukannya bikin jemaah tersesat hingga makin
jauh dari maktab.
Tindakan ibu ini didukung oleh jemaah lain. Bahkan pemilik
bengkel dan pegawainya, tempat mereka numpang istirahat,ikut menyoraki.
“Bagusss… pukuli terus, rasain tuh,” Kesakitan si pemandu bikin jemaah
sejenak melupakan kelelahan.
“Ayo pukulin terus Hajjah, terus.”
Hadeuh…tuh orang malah jadi provokator semua.
Si pemandu rupanya memiliki kesabaran yang luas tak terbatas. Dia
hanya diam dan tersenyum sambil minta maaf terus menerus. Telapak tangannya saling mengait.
Tiba-tiba si pemandu ini menghilang. Para jemaah udah su’udzon,
mengira ditinggalkan di tempat asing tanpa ada yang bisa menolong. Penduduk
setempat hanya meringankan penderitaan mereka dengan memberikan berbotol-botol
air mineral, jus dan buah. Karena jemaah ini tak satu pun yang mengantongi
alamat komplit tempat maktab berada. Tak mungkin menunjukkan jalan tepat ke jamarat kan tanpa petunjuk jelas?!
Namun seperti kepergiannya, si pemandu mendadak muncul dengan
wajah berbinar.
“Ayo Haji dan Hajjah, ikuti saya,”
Secara serempak mereka malah menolak ajakan si pemandu.
“Nggak mauuu…nanti nyasar lagi.”
“Nggak lihat apa? Nih kaki saya udah mlethek karena capek dan
panas.”
“Sana pergi sendiri.”
“Kami di sini nunggu bala bantuan aja.”
Para jemaah ini sudah nyaris putus asa karena berulang tersesat. Penat tak tetanggungkan, belum lagi jalan pulang rasanya seperti tempat yang sangat jauh bagi mereka. Apa sebenarnya dosa dan salah yang telah dilakukan? Begitu yang sempat diceritakan begitu tiba di maktab.
Melihat ajakannya ditolak, si pemandu tersenyum sabar.
“Saya janji, Inshaa Allah kali ini benar. Kalo sampe nyasar lagi, silahkan potong leher saya,” Ucapnya
serius.
Tampaknya, ucapan si pemandu bisa meyakinkan jemaah yang lelah
ini. Kali ini si pemandu benar-benar mempertaruhkan nyawa. Berani potong leher?! Astaghfirullah...
Mereka pun mengikuti langkah si pemandu. Tentu saja dengan tetap mengomel panjang pendek dan langkah gontai.
Mereka pun mengikuti langkah si pemandu. Tentu saja dengan tetap mengomel panjang pendek dan langkah gontai.
“Waaah… bener-bener bikin jengkel tuh orang, Mba,” cerita ibu
Romanah sambil tertawa geli.
"Tapi kita tetap bersyukur lho. Sepanjang jalan itu banyak yang membagi halalan," Sela teman yang lain.
"Iya Mbak, sayang cuma jus dan buah. Nggak ada yang kasih nasi. Cacing di perut tuh udah keroncalan," Sambung bu Romanah dengan terbahak-bahak.
Gayanya bercerita sangat heboh. Dengan peragaan, bahkan kadang tertawa saat cerita tentang sepatunya yang jebol atau menangis saking putus asanya karena tidak juga tiba di maktab. Gimana nggak nangis bila harus jalan sejauh nyaris 12 km.
"Iya Mbak, sayang cuma jus dan buah. Nggak ada yang kasih nasi. Cacing di perut tuh udah keroncalan," Sambung bu Romanah dengan terbahak-bahak.
Gayanya bercerita sangat heboh. Dengan peragaan, bahkan kadang tertawa saat cerita tentang sepatunya yang jebol atau menangis saking putus asanya karena tidak juga tiba di maktab. Gimana nggak nangis bila harus jalan sejauh nyaris 12 km.
“Bisa tuh dapat dua kali berangkat ke jamarat,” Ujar ibu Romanah seraya geleng-gelang kepala sambil ngikik geli.
Ibu Romanah mengibaratkan jarak tersesatnya bagai pergi ke
jamarat dua kali. Ya benar juga, karena saya udah tiba di tenda Mina sejak jam enam pagi. Udah shalat Dhuha setelah sarapan, trus tilawah. Sempat bokci, bobok cantik juga, hahaha... Trus terbangun karena rombongan yang tersesat ini baru jam 10 lebih masuk ke tenda. Bahkan ada lho yang baru tiba sekitar jam tiga sore.
Bayangkan betapa berat ujian itu bagi teman satu kloter kami. Namun begitu tiba di tenda, lenyap sudah nestapa. Duka itu berbayar lunas saat saling mengisahkan perjalanan yang jauh hingga mencapai rumah sakit Mina di tengah kota. Saling mengingat tingkah konyol yang tanpa sengaja muncul untuk menghibur bila lelah mencapai puncaknya.
Bayangkan betapa berat ujian itu bagi teman satu kloter kami. Namun begitu tiba di tenda, lenyap sudah nestapa. Duka itu berbayar lunas saat saling mengisahkan perjalanan yang jauh hingga mencapai rumah sakit Mina di tengah kota. Saling mengingat tingkah konyol yang tanpa sengaja muncul untuk menghibur bila lelah mencapai puncaknya.
Ah, saya yang tak ingin tertawa jadi ketularan. Kami pun ngakak
berame-rame. Yang kesasar pun ikutan tertawa. Sejenak lepas ketegangan, kelelahan, penyesalan serta kesedihan. Dan penat pun melayang.
Sekian dulu ya cerita sedih mengundang tawa dari sesama teman jemaah haji. Nantikan lanjutan kisah seru lainnya dari ibadah haji yang telah lalu.
Terima kasih kunjungannya yaaa....
Intinya malu bertanya sesat dijalan mba sulis...
BalasHapussalam admin satriyoku.blog
Iya kah? Udah tanya2 juga sih, katanya karena tak ada yang tahu alamat maktab dg jelas, jadi penduduk setempat nggak ada yg bisa bantuin.
HapusMakasih udh nitip jejak :)
dari pengalaman ini jadi bisa berbagi ya mbak saat teman-teman kesana tidak tersesat
BalasHapusYess... betul mbak, semoga bermanfaat :)
HapusJadi pengin ngerasain berhaji nih Mak...doakan yaaa...jadi bisa bercerita.. :)
BalasHapusAamiin, moga bisa segera terwujud keinginan mak Lies :)
BalasHapus