Milzam dan Naufal bareng sepupu |
Suatu hari, saya surprise mendengar cerita ibu tentang komentar beberapa tetangganya. Semua tentang tanggapan positif perilaku anak-anak ketika menyambangi rumah simbahnya, ibu dan bapakku. Sebagai ibu, mata saya penuh kabut dan terharu. Ibu mana yang tak bangga ketika mendengar pujian dari orang luar tentang anak-anak?!
Sebenarnya perilaku Milzam dan Naufal biasa saja di mata saya sebagai ibunya. Sudah lumrah kalau seorang anak menunduk sopan saat berjalan di antara orang yang lebih tua. Kemudian menyapanya dengan salam dan mengajak tersenyum pada orang yang dikenalnya. Memang itu yang selama ini saya ajarkan pada keduanya.
Mungkin juga sikap anak-anak saya ini mendapat apresiasi positif karena saat ini masih lebih banyak perilaku negatif anak abege. Naik motor di kampung ugal-ugalan ngebut. Berjalan tanpa mengindahkan sopan santun. Boro-boro menyapa pada orang tua yang berpapasan, senyum saja enggan.
Menengok ke masa balita anak-anak, saya memang bercita-cita membentuk Milzam dan Naufal menjadi anak beretika baik. Memiliki sikap sopan, hangat, ringan menolong serta hormat pada orang yang lebih tua. Angan-angan yang bagi saya saat itu sepertinya susah banget diwujudkan.
Saya masih ingat ketika si sulung Milzam ingin membantu pekerjaan di rumah. Biasanya saya akan membiarkan tangan mungilnya menyapu atau mengepel lantai. Saya berada di belakangnya sambil mengawasi agar tak terjatuh karena ceceran air di lantai.
Sebenarnya sepulang kerja saya sudah penat dan ingin segera menyelesaikan pekerjaan di rumah. Namun saya juga tak ingin melarang si sulung membantu. Sebagai ibu, saya ingin mengenalkan Milzam dengan pemahaman bahwa pekerjaan rumah tangga itu tidak tabu dikerjakan oleh anak cowok.
Pada waktu acara pengajian di rumah, sejak pagi pun Milzam sudah membantu saya beberes. Mulai dari membersihkan rumah, kemudian menjelang sore menata makanan kecil di piring saji, hingga menggelar tikar. Dengan langkah mungilnya, Milzam menyeret tikar dari ruang shalat menuju ruang tamu.
Si bungsu Naufal ternyata telah merekam sikap sang kakak dalam memori otaknya. Sehingga saat usianya tiga tahun pun, Naufal cukup trampil membantu saya menyapu lantai.
Saya tak pernah melarang anak-anak membantu beberes rumah. Seperti ketika si mbak pulang desa, saya menyetrika baju, Naufal ingin membantu. Saat itu usianya masih tujuh tahun, namun ternyata ia cepat tanggap mengikuti anjuran saya.
"Tangan adik hanya boleh menyentuh bagian ini saja, karena yang lain panas seperti api," Saran saya kala itu sambil menunjukkan bagian setrika yang boleh disentuh.
Naufal menjawab tangkas,"Iya Bu, Naufal kan sering lihat Mbak Siti nyetrika."
"Yang disetrika bajumu aja, yang mudah dan kecil. Kan tangan Naufal masih kecil?" Bujuk saya lagi.
Saya memang mengijinkan Naufal menyetrika, tapi hanya baju miliknya. Saya tak ingin ia kelelahan menyetrika.
Namun yang bikin saya surprise dengan tingkah polah anak-anak adalah ketika Naufal berusia 10 tahun. Sabtu sore itu saya kelelahan menyetrika. Saat itu saya tidak memiliki asisten rumah tangga karena mbak Siti sudah keluar untuk berumah tangga. Mencari yang baik seperti mbak Siti susah banget. Akhirnya saya memutuskan bisa mengerjakan pekerjaan rumah tanpa bantuan asisten lagi. Apalagi anak-anak sudah besar dan bisa membantu saya. Seperti mengangkat jemuran, membuang sampah dan membersihkan kamar masing-masing.
Sore itu saya ketiduran di ruang keluarga setelah menyetrika. Apalagi udara sejuk berhembus dari pintu samping yang terbuka. Tiba-tiba saja saya terbangun oleh suara gemericik air. Dalam keadaan setengah tidur saya membayangkan bahwa itu suara hujan. Lama kelamaan saya curiga dengan suara jatuhnya air. Saya pun bangun dan mencari asal suara.
Olalaaa... Ternyata suara itu berasal dari kucuran air di atas washbak di dapur. Dan Naufal berdiri di atas kursi kecil, orang Jawa menyebutnya dingklik, tengah mencuci piring dan sendok kotor.
Saya hanya mampu diam. Dalam hati bercampur perasaan geli, takjub dan haru. Memori otak ini kembali ke masa Naufal berumur enam tahun. Saat saya tengah mencuci peralatan makan yang banyak usai pengajian rutin tiap kamis malam.
"Mau bantu Ibu?" Saya melihat Naufal sudah membawa kursi seperti kursi yang tengah saya pakai duduk.
Naufal mengangguk. Ia segera duduk di samping saya.
"Adik nyuci sendok saja. Ibu kan udah besar dan kuat memegang piring, jadi nyuci piring," Bujuk saya kala itu.
"Kalau adik udah besar, boleh nyuci piring kan, Bu?"
"Boleh... nyuci piring, nyuci gelas, atau mangkok. Kalau udah besar kan tangan adik udah kuat membawa piring."
Lamunan saya memudar ketika mendengar panggilan Naufal.
"Ibu tidur lagi, Naufal sekarang udah besar. Jadi sudah boleh nyuci piring dan gelas. Ibu kan cape."
Gaya si bungsu berbicara bikin saya pengen tertawa. Ah, Naufal pasti selalu mengingat setiap ucapan ibunya ini. Ya, anak-anak itu mudah dibentuk kepribadiannya sejak dini. Anak-anak juga peniru yang ulung. Bila kebaikan yang dilihatnya sejak dini, kebaikan pula yang ditirunya.
Sekarang saya sering tersenyum mengingat tingkah polah masa kecil Milzam dan Naufal. Pembiaran tingkah anak-anak, yang dibarengi dengan pengawasan dan pengajaran yang baik akan berdampak di kemudian hari. Saya tidak bisa membayangkan, bila dulu melarang anak-anak membantu pekerjaan rumah. Mungkin saat ini mereka tak berempati dengan membantu saya beberes rumah.
Sekarang saya bisa duduk manis sambil membaca buku, ketika si sulung mengangkat pakaian dari jemuran. Atau si bungsu yang membersihkan sampah di dapur dan membuangnya di bak sampah yang ada di depan rumah. Atau meminta bantuan si sulung belanja cabe, sayuran atau telur di warung tetangga.
Tidak pernah ada alasan bagi si sulung menolak permintaan saya meski sekarang telah menjadi mahasiswa di sebuah universitas negeri. Bahkan ia pun tak malu menemani saya berkunjung ke penerbit Tiga Serangkai di Solo. Saat itu kaki saya cedera engkelnya sehingga harus memakai tongkat penyangga. Berjalan di samping saya, menautkan jemari untuk menopang setiap langkah kaki ini. Padahal saat itu saya bepergian bareng teman-teman perempuan. Jadi hanya Milzam yang berjenis kelamin laki-laki dalam rombongan itu. Tak nampak perasaan sungkan di wajahnya. Namun perhatian dan empati untuk selalu berada di sisi ibunya. Mengawasi dan siap membantu langkah saya kemana pun melangkah.
Doa syukur selalu saya panjatkan, karena Allah telah memberi anak-anak yang baik ini.
Memiliki anak-anak yang berakhlak baik adalah impian setiap orang tua. Harta yang tak ternilai. Mdah-mudahan anak-anak kami juga kelak menjadi anak yang shalih
BalasHapusAku terharu mbak membaca ceritanya. Semoga bisa mengikuti jejak Mbak punya anak-anak yg santuuun banget. Aamiin yra. Makasih sudah ikutan :)
BalasHapusAllhamdulillah anak=anak yang sholeh ya mbak
BalasHapus