Urutan rukun haji setelah Wukuf di Arafah adalah pindah menuju Muzdalifah. Melakukan mabit dan mengambil kerikil untuk sangu melontar jumroh di Mina. Mengapa harus di Muzdalifah ngambil kerikilnya? Mengapa tidak di Arafah saja? Atau bawa dari tanah air? Begitu pasti pertanyaan bagi mereka yang tidak mengetahui alasan sesungguhnya mengapa jemaah haji mesti mabit di Muzdalifah.
Nah ceritanya bus yang saya tumpangi sudah sampai di lapangan terbuka Muzdalifah. Satu per satu jemaah pun turun. Karena rombongan saya terpencar-pencar alias tidak naik bus yang sama, saya dan suami serta beberapa teman dari rombongan I berdiri menunggu.
Tiba-tiba petugas TPIHI menyerukan pada seluruh jemaah yang sudah tiba agar segera menggelar tikar atau karpet plastik yang sudah disiapkan di dalam tas tenteng. Kemudian dilanjutkan mengumpulkan kerikil.
"Nggak usah berebut. Kerikilnya ada banyak, tidak bakal habis," Seru pak Faojin dengan gaya bercanda.
Mungkin candaan pak Faojin karena melihat beberapa jemaah terlalu bersemangat mengumpulkan kerikil. Bahkan ada juga yang terlalu serius hingga saling bertubrukan karena memilih kerikil sambil jalan mundur.
Seperti biasa saya dan suami telah berbagi tugas. Suami sudah menggelar karpet plastik bening. Kemudian agar tak terbang karena tiupan angin malam, tas tenteng diletakkan di atas karpet.
"Kamu gelar sekalian karpetmu, trus istirahat. Biar aku aja yang cari kerikil," Pesan suami.
Duuuh...siapa coba yang tak makin sayang sama suami seperti dia? Perhatian banget sama istrinya *kecup sayang untukmu say*
Saya pun melaksanakan pesan suami. Wah karpet kami jadi tampak luas. Bisa untuk berselonjor kaki atau tiduran untuk empat orang.Ternyata saya tidak bisa duduk diam. Melihat dari kejauhan kesibukan suami yang mengumpulkan kerikil. Saya pun bangkit dan menyusul di sebelahnya mencari kerikil.
Sembari tetap melantunkan talbiyah dan diselingi istighfar, tangan saya asik memilah kerikil dari pasir lembut tanah Muzdalifah. Teringat kisah Nabi Ibrahim yang digoda syetan agar mengurungkan niatnya menyembelih Nabi Ismail. Mata saya berkabut. Betapa berat ujian keimanan Nabi Ibrahim. Namun iman yang kuat dan karena Allah beliau ikhlas mengorbankan sang putra.
Saya menarik napas perlahan. Mengusir perasaan sedih karena membayangkan kondisi keluarga tersebut. Menanti hadirnya buah hati, namun begitu tumbuh besar, tiba-tiba harus dihadapkan pada ujian dari Sang Maha Kuasa.
Apa yang kini saya lakukan hanya setitik perjuangan yang tak ada apa-apanya dibanding pengorbanan sang nabi. Apalagi kerikil di tanah lapang ini telah dipersiapkn oleh penyelenggara haji. Tak perlu risau harus sangu dari tanah air. Repot pasti membawanya.
Kembali pada kegiatan kami. Tadinya saya mengumpulkan kerikil kecil. Tapi suami bilang kerikil kecil susah buat melontar jumroh. Karena ukurannya kecil, ntar tidak bisa mengenai dinding jamarat. Eh betul juga ya say...
Tapi kerikil kecil itu tidak saya buang. Siapa tahu ada yang mau menampungnya kan?! Di tanah suci itu harus diringankan kaki dan tangan untuk saling tolong menolong.
Begitu telah terkumpul sesuai jumlah yang kami butuhkan, saya pun berdiri. Dan berjalan menuju tempat saya meninggalkan tas di atas karpet plastik.
Dari jauh pun pandangan saya sudah tertambat pada sosok renta yang membungkuk dan tangan terjulur. Sebuah kantong plastik besar terlihat berisi kerikil. Belum banyak yang berhasil dikumpulkan sang nenek.
"Mbah... temannya mana?" Sapa saya sambil menyentuh lengannya.
Saya ikut jongkok di sisinya. Menatap jemari tangannya yang keriput termakan usia. Saya memperkirakan usianya mencapai 80an tahun.
Jawaban dari pertanyaan saya hanya berupa gelengan. Kening ini berkerut.
"Simbah masuk rombongan berapa?"
"Berapa ya mbak?"
Duh, simbah ini malah mengembalikan pertanyaan, hihiii
"Simbah dari mana? Kalo saya kan dari rombongan satu. Rumah saya di Pedurungan, Mbah."
"Simbah dari Gunungpati."
Jawaban simbah sudah membantu saya cukup banyak. Saya tinggal mencari pita hijau pupus. Seragam rombongan dari kecamatan Gunungpati. Ah, ternyata teman-teman simbah ada di belakang tempat saya menggelar karpet.
"Simbah duduk aja yuk. biar saya yang cariin kerikil."
Ajakan saya ini sempat tak digubris. Ego seorang perempuan tua yang merasa masih sanggup mengerjakan sesuatu dan tak ingin merepotkan seseorang. Suami kembali bangkit untuk mengumpulkan kerikil. Kali ini buat simbah.
"Iya, Bu, nurut aja," Seseorang ikut membujuk simbah.
Saya bernafas lega saat simbah mau diajak duduk.
"Mana keluarganya, Mbah?"
Sekali lagi gelengan yang menjawab pertanyaan saya.
"Simbah ke Makkah dengan siapa? Suami, anak atau cucu?"
"Sama cucu."
"Mana cucunya?"
Mata saya dan simbah mencari di seputar tempat duduk. Tangan saya mengarahkan pandangan simbah untuk mencari cucunya. Namun tak ada pandangan mengenal dari tatapan simbah.
"Ya sudah, Simbah duduk di sini aja sama saya dan suami. Tempat kami masih bisa kok buat tidur bertiga atau berempat."
Saya bermaksud menenangkan perempun tua itu dengan bujukan. Maksudnya sih agar beliau tidak mencari cucunya kemana-mana. Padang Muzdalifah ini sangat luas. Saya takut aja kalo simbah berjalan-jalan dan hilang. Banyak sih kasus orang hilang karena tak bisa menemukan kembali tempatnya semula.
Saat kepala saya menengok ke belakang, seseorang mengacungkan jempolnya. Diiringi beberapa aksi serupa dari orang yang saya tahu satu rombongan dengan simbah.
Saya bertanya menggunakan bahasa isyarat. mereka malah tertawa-tawa sambil tetap mengacungkan jempol. Ah, apa sih maksud acungan jempol itu?
"Yang duduk di sana itu nggak ada cucunya, Mbah?"
Pertanyaan saya membuat simbah menengok pada rombongan yang sedang tertawa itu. Simbah kembali menggeleng, menandakan tak mengenali cucunya di sana.
Suami akhirnya memutuskan agar simbah tetap bersama kami. Nggak tega ngelihat simbah kebingungan mencari cucunya.
Malam makin pekat. Udara gurun yang dingin mulai menyelusup kulit. Saya tidur bersisian dengan simbah. Eh tiba-tiba simbah mengulurkan tangannya. Maksudnya sih merangkul tubuh saya. Waaah, saya pun balik memeluk tubuh ringkih simbah.
Entah siapa yang bangun duluan. Saya atau simbah?! Yang jelas sih kami berdua tertidur karena lelah dan ngantuk. Bersyukur banget, di tengah belantara padang pasir, saya dipertemukan dengan perempuan tua seusia simbah saya. Simbah saya sudah lama meninggal.
Berasa punya simbah lagi.
Simbah dari Gunung Pati |
Saya baru tahu kalo simbah ini berangkat sendiri begitu tiba di Mina. Anak-anaknya sebenarnya akan berangkat haji tahun 1436 H. Namun simbah ini nggak mau mundur setahun. Akhirnya oleh keluarga, simbah dititipkan pada teman keluarga yang juga teman satu rombongan.
Nah acungan jempol itu diberikan pada saya karena simbah bisa duduk tenang. Biasanya simbah suka jalan kesana kemari, tidak bisa duduk tenang dalam satu waktu.
"Pokoknya, njenengan hebat bisa buat mbah Sanah anteng." Puji teman serombongan simbah.
"Makanya saya biarkan aja sama mbak Wati. Kami udah capek, Mbak," Imbuh yang lain.
Saya terdiam. Ya Allah, kasihan simbah yang berangkat tanpa ditemani keluarganya. Tapi simbah Sanah beruntung dikelilingi oleh teman-teman rombongan yang baik ini.
Dari cerita mereka, tiap orang memiliki tugas yang berbeda. Ada yang mengambilkan makan, menyiapkan pakaian atau menata tempat tidurnya. Bahkan ada juga yang mendapat jatah mencuci pakaian simbah.
Subhannallah...moga Allah yang mengganti uluran perhatian itu dengan rejeki kesehatan dan umur yang berkah. Aamiin Ya rabbal alamin.
Sekian dulu ya kisah bertemu simbah yang ngeloni saya tidur di Muzdalifah. Nantikan kisah-kisah seru saya saat berhaji kemarin.
Matur tengkiyu udah membaca cerita saya. Nantikan lanjutannya yaaa
Waaah terharu banget dengan kisahnya. Semoga saya bisa segera menyusul Mak. Doakan saya.
BalasHapusAamiin...moga segera terwujud ya mak Lina :)
HapusSimbah hebat, Mba Hidayah hebat, semoga menjadi haji dan hajjah yang mabrur, segala langkah disana menjadi amal ibadah. Aaaamiiiiiin...
BalasHapusAamiin... makasih doanya
HapusSaya mah nggak hebat, cuma tidur bareng aja sama simbah. Teman2 satu rombongannya tuh yg hebat. Sabar ngadepin simbah.