Ada
orang tua yang bangga saat anaknya yang masih berusia empat tahun bisa membaca.
Dan tak sedikit pula yang berharap cemas kala sang bocah berusia enam tahun
belum bisa membaca lancar. Andai saja banyak orang tua yang mengerti, bahwa
anak usia di bawah enam tahun belum saatnya mengenal baca tulis. Hingga tak
perlu melakukan tindakan memaksa anak berlatih membaca sampai pintar seperti
teman sebayanya.
Di
sisi lain, banyak sekolah dasar yang mengharuskan setiap calon muridnya bisa
membaca dan menulis. Bahkan kemampuan baca dan tulis menjadi syarat mutlak saat
seleksi penerimaan murid baru. Hal ini lah yang makin membuat banyak orang tua
mengikutkan anak-anaknya les baca dan tulis.
Pengalaman
seorang teman saat putranya masuk SD pada usia lima tahun bisa menjadi
pembelajaran bagi kita semua. Saat kelas 1, sebut saja namanya Dimas, bisa
mengikuti pelajaran dengan baik. Hingga saat menginjak kelas 5, Dimas mulai
menurun prestasinya. Sang bunda pun memberinya les tambahan. Namun hal itu
makin membuat Dimas malas belajar. Di kelas pun konsentrasi belajar jadi
berkurang. Dia tidak dapat mengikuti pelajaran. Efeknya membuat Dimas malas
berangkat sekolah dan uring-uringan bila di rumah.
Setelah
guru BK turun tangan, dan mengajak Dimas bicara, baru lah diketahui bahwa Dimas
bosan sekolah. Dimas bercerita kalau sejak kecil ia dipaksa ibunya belajar
membaca. Di sekolah TK selalu ada PR tiap hari. Bila gurunya lupa memberi PR,
sang ibu lah yang akan memintanya belajar membaca atau menulis kata-kata baru.
Sebagai
orang tua kita perlu berkaca pada Stefie Sierra Ngangi. Seorang gadis muda yang
belum menikah, belum memiliki pengalaman mengurus anak. Namun empatinya pada
perkembangan mental anak-anak sangat luar biasa. Meski berusia muda, Sierra
percaya bahwa kebebasan berekspresi sangat diperlukan bagi tumbuh kembang
kepribadian seorang anak. Menurut Sierra, seni bisa membentuk kepribadian seorang anak.
Menjadikan rasa percaya diri tumbuh karena bakat seni yang dimilikinya.
Juga mengasah empati si anak pada lingkungannya.
Dari
pengalamannya, ia meyakini bahwa seorang anak membutuhkan kebebasan
bereksplorasi. Sierra pun berbagi pengalaman dengan membuka sekolah Kiwikids
Preschool & Kindergarten, Kiwi School dan Stefie’s House of
Creativity. Ia berharap anak-anak yang
dididik di sekolahnya tumbuh menjadi anak yang memiliki rasa percaya diri.
Dengan menerapkan metode Montessori, yaitu memberikan kebebasan pada siswanya
untuk bereksplorasi. Mengenal lingkungannya, dengan menyentuh, mengamati atau
berlari kian kemari. Tentunya dengan pendampingan dari guru.
Dari pengalaman Sierra, seni bisa membentuk kepribadian seorang anak. Menjadikan rasa percaya diri tumbuh karena bakat seni yang dimilikinya. Juga mengasah empati si anak pada lingkungannya.
Sumber Bacaan :
1. ARTIE TEDJA: Penerapan Metode Montessori http://artieteja.blogspot.com/2013/10/penerapan-metode-montessori.htm
Sumber Bacaan :
1. ARTIE TEDJA: Penerapan Metode Montessori http://artieteja.blogspot.com/2013/10/penerapan-metode-montessori.htm
Tergantung sih sebenarnya mbak, kalau saya bagaimana kita menstimulasi si anak dan melihat potensinya. Anak saya termasuk cepat membaca tapi semuanya dijalani dengan fun, tanpa tekanan... Sebelum mengajarinya, saya sudah membaca beberapa hal pro dan kontra mengenai hal ini. Tidak mudah untuk memutuskan. Tapi saya menuruti kata hati dan bismillah... Jadi kalau menurut saya pertengahan saja dalam hal ini, kembali kepada pilihan masing-masing..
BalasHapusSalam kenal mbak, mampir ke blogku yah..
Bener banget Ummu Abdillah, meski tiap anak berbeda, yang penting fun aja saat belajar. Aku dulu juga ngajari anak sambil bermain sih :)
HapusMakasih kunjungannya yaaa
Makasih ya mbak, sudah mampir ke blogku. Blognya saya follow, kalau berkenan follow balik :)
HapusSaya juga senang bisa berkunjung ke blog mbak Sri. Iya aku follow yaaa :)
HapusOOT. Anaknya cowok2 ya mbak, kebalikan anak saya cewek2. :))
BalasHapus