Boleh dibilang saat masih remaja, saya kurang dekat dengan ibu. Meski kami tak pernah bertengkar seperti hubungan beberapa teman saya dengan ibunya. Namun hubungan saya dan ibu juga tak seperti layaknya anak perempuan dengan ibunya.
Justru saya sangat dekat dengan bapak. Mungkin karena sejak kecil, bapak selalu membangun komunikasi yang insentif. Kalau mengajak jalan-jalan di taman atau kebun binatang, pasti akan banyak percakapan dua arah. Bapak juga senang mengajari anak-anaknya menyanyikan lagu berbahasa Inggris.
Ibu adalah seorang penjahit. Pelanggannya bukan hanya tetangga kami. Kebanyakan malah orang dari luar wilayah rumah kami yang menjahitkan pakiannya pada ibu.
Memiliki ibu yang pintar membuat pakaian, tentunya menyenangkan. Sejak kecil ibu selalu menyempatkan diri membuatkan pakaian untuk kami bertiga, putri kecilnya. Apalagi saat menjelang lebaran, di sela kesibukan menyelesaikan pesanan pakaian para pelanggan, ibu pasti selalu ingat menyisihkan waktu menjahit pakaian kami. Tapi baju lebaran kami seringnya sih bisa dipakai pas mepet waktunya alias barengan dengan suara takbir yang bergema dari TOA masjid di kampung.
Sebagai sulung dari empat bersaudara, saya sering mendapat tugas dari ibu. Membantu ibu membelikan benang atau kancing hias. Saya sih senang melakukannya. Karena itu artinya, saya bisa bersepeda hingga ke tempat yang lumayan jauh dari rumah.
Karena sering membantu ibu, saya suka memperhatikannya saat menjahit. Senang sekali menyaksikan tangan ibu yang bekerja dengan lincah. Membuat lipit di lengan baju. Atau memasang pita di bagian dada.
Satu hari saat ibu tengah mengikuti kegiatan PKK di kelurahan, saya segera mengambil alih mesin jahitnya. Sudah lama saya ingin membuat tas seperti yang ditampilkan salah satu majalah remaja. Melihat instruksi yang dimuat pengasuh rubrik mode di majalah tersebut sepertinya mudah.
Kain corak batik sudah siap. Saya mengambil kain jarik milik ibu yang sudah lama tak dipakai. Saya juga sudah mempersiapkan busa tipis untuk lapisan tas bagian dalam. Pokoknya, saya sudah lama mempersiapkan semua bahan yang dibutuhkan untuk membuat tas cantik seperti di majalah remaja itu.
Saya mulai membuat pola tas dari koran bekas. Saya gunting sesuai ukuran. Kemudian koran yang sudah berbentuk pola itu, saya letakkan di atas kain. Dengan pinsil warna, saya menyusuri pinggiran koran. Maksudnya sih agar saya mudah menggunting kain sesuai pola. Saya benar-benar membayangkan seperti ibu yang tengah memotong kain milik pelanggannya.
Begitu selesai menggunting kain sesuai pola tas, saya segera menuju mesin jahit ibu. Saya merasa bisa menjahit seperti ibu karena selama ini sering memperhatikan beliau. Ahhh...saya sudah membayangkan bakal memakai tas tersebut ke sekolah. Saya akan memamerkannya pada teman-teman sekelas.
Saya duduk di kursi ibu. Sebelumnya saya sudah menancapkan steker ke colokan. Oiya, mesih jahit ibu sudah memakai dinamo. Tentunya agar kaki ibu tidak lelah menjahit belasan kain milik pelanggannya.
Nah, dengan hati-hati saya mulai menjahit. Saat menjahit selembar kain dengan busa untuk pelapis, sejauh itu lancar. Saya makin pede meneruskannya. Tiba-tiba daerah sekitar jarum memperdengarkan suara rrrttttt....
Saya tetap menginjakkan kaki pada dinamo. Tapi suara asing itu masih terdengar. Olalaaa... benang telah berkumpul di ujung jarum jahit. Antara bingung dan panik, saya berhenti menjahit.
Keringat mulai membasahi kening dan leher. Pelan-pelan saya berusaha mengurai benang yang ruwet di jarum. Tetap saja jarum masih belum terlihat. Sebenarnya saya ingin membiarkan keadaan seperti itu saja. Biar nanti saya berterus terang pada ibu kalo benangnya 'mbundet' saat saya pakai. Tapi ambisi ingin menyelesaikan tas buatan sendiri, begitu membuncah.
Dengan sekuat tenanga, saya menggunakan pinset untuk memutus rangkaian benang ruwet itu. Tiba-tiba saja benang lepas seketika. Saya tertawa puas.
Namun tawa itu tak berlanjut manakala pandanganku tertumbuk pada benda mengkilap di sela-sela benang. Makdeggg.... Jantungku berdetak kencang. Aduuuh...jarumnya malah putus! Gimana nih, ibu pasti marah, pikirku resah.
Dengan gemetar saya segera membereskan kain dan bahan lainnya. Bekas potongan jarum sudah dibuang di sampah. Mesin jahit sudah seperti sedia kala kecuali tanpa jarum di tempatnya.
Saat siang itu ibu pulang dari kelurahan, saya tengah berada di rumah eyang. Rumah kami memang berdekatan dengan rumah eyang. Jadi sejak kecil saya sering bermain bersama sepupu di rumah eyang. Saya tengah bercanda dengan beberapa sepupu saat ibu datang mencari.
"Watiiii... kamu tadi memakai mesin jahit Ibu?"
Belum mendengar suara ibu saja, saya sudah tahu bakal kena marah. Makanya saya tidak menjawab pertanyaan itu. Saya terdiam. Semua sepupu dan eyang menatap kami bergantian.
"Ada apa sih Bulik?" Sepupuku ada yang bertanya.
Dan ibu pun menceritakan jarum jahit yang putus.
"Ini blus bu Parti kudu jadi sore ini. Jarumnya putus, padahal stok jarum habis, harus beli dulu kaaan,"
Mendengar penjelasan ibu, makin membuat rasa bersalah menggayut di hati ini. Mengapa aku tak menunggu ibu saja, meminta diajari menjahit dengan benar. Aku sok pintar dan sombong. Merasa bisa menjahit hanya karena sudah sering melihat ibu bekerja sepanjang hari di depan mesin jahitnya.
Sebagai penebus kesalahan, aku menawarkan bantuan untuk membeli jarum yang baru. Sepanjang jalan menuju toko penjual peralatan menjahit langganan ibu, pikiranku diliputi rasa bersalah. Andai aku tak terburu-buru ingin menyelesaikan jahitan tas baru, ibu tak bakal risau dengan jahitan yang harus diselesaikan. Dalam hati aku hanya bisa berdoa, semoga ibu bisa menyelesaikan jahitan milik ibu Parti secepatnya.
Aku segera mengayuh sepeda lebih kencang. Tak ingin menambah beban baru di pundak ibu. Apalagi aku tahu, ibu butuh duit dari ongkos jahitan blus untuk belanja kebutuhan rumah.
Begitu tiba di rumah, kuulurkan jarum jahit pada ibu. Aku duduk di dekat ibu. Memperhatikan jemarinya yang tak kenal lelah membuat pakaian pesanan langganannya. Jemari yang selalu bekerja sepanjang hari. Jemari yang tetap setia menjahitkan pakaian untuk kami, putri-putrinya hingga saat ini.
Dalam diamnya, ibu selalu memaafkan kesalahanku. Pintu maaf itu tak pernah tertutup untukku. Dan aku tak pernah berani mengucapkan kata maaf pada beliau.
Saat ini ijinkan aku meminta maaf, Bu....
Jemari yang luar biasa. Sungguh merembang mata ini membacanya.
BalasHapusSaya menuliskannya dalam waktu satu jam. Dengan mata berlinang, mengingat perjuangan ibu menyekolahkan kami berempat karena bapak tengah sakit dan harus istirahat dari pekerjaannya.
BalasHapusMakasih kunjungannya pak ustadz :)
Terima kasih atas partisipasi sahabat dalam Kontes Unggulan : Hati Ibu Seluas Samudera
BalasHapusSegera didaftar
Salam hangat dari Surabaya
Duuh baru bisa balas sekarang. Matur suwun pakdhe :)
HapusLinknya betulkan ya Jeng, jangan di bawah kalimat penutup
BalasHapusHihiii...sudah dibetulkan Dhe, maaf salah taruh :)
Hapusterharuuu...ibu memang the best ya mbaa..semoga menang yaa
BalasHapusMakasih mba...setuju sekali, ibu itu segalanya :)
Hapus