Pagi datang
selalu tiba-tiba. Meski aku tahu, subuh telah beranjak sejak tadi. Suara
kesibukan pagi pun telah memerangkapku dalam nyanyian rutin.
Sepagi ini
aku bahkan sudah menebar kesibukan yang selalu sama setiap hari. Akankah bosan
menjeratku? Bisa saja. Andai tak hadir suara Makni yang sering mengingatkanku.
Petuahnya tak pernah dengan kentara dinyanyikan. Hingga aku tak mungkin mengelak dari petitih yang santun.
Aku bahkan tak pernah mendengarmu bergunjing. Engkau adalah perempuan langka. Jarang menyebut keburukan seseorang. Hanya canda yang sering kau curahkan.
Aku bahkan tak pernah mendengarmu bergunjing. Engkau adalah perempuan langka. Jarang menyebut keburukan seseorang. Hanya canda yang sering kau curahkan.
Duhai,
engkau lah ibu yang bukan ibu kandungku. Namun mengapa aku senang sekali berada
di sekelilingmu. Menunggumu memotong sayur. Duduk di sisimu menanti masakan
yang tak pernah dibuatkan oleh ibu. Masakan sederhana berupa sayur daun ketela.
Atau labu kuning yang berubah ujud menjadi sayur lodeh. Yah, ibu bahkan tak
pernah memasak sayur seperti yang kaubuat untuk sepupuku. Tak salah kan bila
aku selalu ada di sisimu.
Ketika
mesti tinggal di tempat kost, engkau tak pernah lupa memperhatikan
kesejahteraanku. Dari warung yang kau kelola, selalu ada untuk kau sisihkan
untukku. Setiap senin pagi aku harus mampir di warung untuk membawa beberapa
bekal dibawa ke tempat kost. Tak boleh ada penolakan. Begitu pun saat aku melakukan perjalanan jauh keluar kota, engkau menyisihkan roti untukku. Bekal makan di jalan.
Bahkan saat
menanti kelahiran anak pertamaku, engkau pun hadir bersamaku. Masih seminggu
lagi, dan engkau yang mengusulkan agar aku pindah sementara dari rumah. Karena
suami sering lembur. Makni yang takut bila aku mengalami kontraksi tanpa ada
suami di sisiku saat tengah malam. Aku pun pindah dan numpang tidur di rumah
bude Min. Makni tak mengeluh mengapa aku tak memilih rumahnya. Beliau hanya
tersenyum menyetujui pilihanku.
Jadi, aku
tidur di rumah bude Min. Bangun pagi aku jalan-jalan ditemani oleh Makni. Sarapan
pun sudah disediakan oleh Makndut, adik bungsu ibuku. Tiga rumah milik bude dan
bulikku ini memang berdampingan. Mereka adalah saudara kandung dan ipar ibuku.
Hari
kelahiran tiba. Milzam pasti senang bila bisa bicara. Kelahirannya ditunggui
oleh tiga eyang yang menyayangi bundanya. Di samping ibu mertua dan suamiku,
serta beberapa sepupu. Ruang tunggu rumah sakit sudah mirip ruang keluarga.
Semua berkumpul dan menemaniku menanti kelahiran Milzam.
Saat
seorang sepupu dari keluarga bapak ada yang menikah, Makni pun mengajukan diri
menemaniku.
Kata orang
tua jaman dulu, ibu yang habis melahirkan itu tidak boleh tidur sebelum waktu
Dzuhur tiba. Para tetua kami sepertinya tahu, aku adalah orang yang mudah
mengantuk. Jadi, Makni hadir di sisiku. Karena ibu dan seluruh keluargaku,
termasuk suami harus hadir di resepsi sepupu.
Makni yang
datang membawakan makanan kesukaan, aku sambut penuh antusias. Bahagia banget
bisa berbincang dengan Makni. Apalagi tangannya ringan membantuku merawat
Milzam. Pijatan sayang untuk sulungku terusap penuh makna.
Kini,
sulungku telah berusia 19 tahun. Dan telah lima tahun Makni berpulang ke
Rahmatullah.
Masih
teringat saat kabar itu mampir di telingaku. Tanpa sakit. Allah telah
memanggilmu saat tengah bermimpi. Nangis tak mampu menyembuhkan luka hatiku. Keinginan
ikut memandikanmu, tak tersalurkan karena si bungsu tengah sakit.
Jadi, aku
datang saat dirimu selesai dikafani. Mataku berkabut saat kerudung putih yang
menyelubungi wajahmu, aku buka. Hanya doa yang mampu aku lantunkan. Semoga
Allah Swt mengampuni dosamu, melapangkan kuburmu dan menempatkanmu bersama orang-orang yang mulia.
Untukmu, Makni sayang...
Semoga Makni mendapat tempat terbaik di sisi Allah SWT, aamiin
BalasHapusAamiin... makasih mbak Ninik :)
BalasHapus