Sesampainya di
Jedah pas dinihari, saya bersama suami masih nunggu teman satu kloter yang
sedang dalam proses pemeriksaan imigrasi di bandara King Abdu Azis. Cukup lama
juga, saya sampai bisa shalat tahajud di mushola bandara yang berupa ruang
cukup lebar berukuran 6x10m2 dengan penyekat. Tanpa dinding permanen.
Begitu jemaah
haji sudah terkumpul, barulah kami diberangkatkan menuju kota Madinah. O iya,
kami mendapatkan makan malam dinihari itu, hihi… Aneh nggak aneh, pokoknya
makanan yang sudah disajikan kudu dinikmati. Sejak masih di rumah, mindset kudu
diubah. Makan apa saja yang sudah dihidangkan (Inshaa Allah halal). Semua
masakan pasti enak rasanya.
Setelah siap,
kami masuk bis sesuai urutan rombongan. Satu kloter berjumlah 370 jemaah
terbagi dalam 9 rombongan. Saya dan teman seregu masuk dalam rombongan 1 yang
digabung dari jemaah kota Demak. Asyiknyaaa, kami jadi bisa belajar pengetahuan
agama dengan mereka. Sebagian besar lulusan ponpes siiih.
“Nanti tilawah bareng, ya?”
"Sangu apa aja...kopernya sampe gendut gitu?!"
Setelah saling
sapa dan mengenal lebih dekat, kami memilih tidur dalam perjalanan menuju kota
Madinah. Petugas kloter selalu mengingatkan kami agar tidak menyiakan waktu
dengan ngobrol. Tidur, tidur dan tidur. Bukankah tidur juga ibadah? *ehm
Mau bosan atau
enggak, kami memilih tidur. Terlebih pemandangan di luar juga hanya gunung
batu. Tak ada yang menarik. Meski tetap saja air mata ini terus mendesak ingin
keluar karena haru dan bahagia. Subhanallah, sebentar lagi dalam hitungan jam
kaki ini akan melangkah di atas bumi para nabi. Nikmat mana lagi yang akan kami
dustakan?!
Hanya satu kali
jeda untuk melakukan shalat shubuh di sebuah masjid yang ada di pinggir jalan,
kami tiba di kota Madinah saat jarum jam menunjuk pukul setengah sepuluh pagi.
Masjid yang terpisah temapt shalatnya, bagi pria dan perempuan. Saya dan teman-teman perempuan segera mengambil wudlu di tempat yang masuk lebih dalam. Berliku-likut dan karena masih gelap jadi agak gimana gitu.`Saya dan rombongan bergandengan enggak mau pisah. Dari ngambil wudlu hingga menuju tempat shalat yang ternyata penuh dengan jemaah yang tengah shalat.
Usai shalat, kembali kami memeasuki bus. Kembali pula kami terlelap dalam tidur yang tak nyenyak. Tubuh letih, ingin segera bisa bertemu dengan tempat tidur, bikin kami membisu dalam lantunan dzikir di hati.
Masjid yang terpisah temapt shalatnya, bagi pria dan perempuan. Saya dan teman-teman perempuan segera mengambil wudlu di tempat yang masuk lebih dalam. Berliku-likut dan karena masih gelap jadi agak gimana gitu.`Saya dan rombongan bergandengan enggak mau pisah. Dari ngambil wudlu hingga menuju tempat shalat yang ternyata penuh dengan jemaah yang tengah shalat.
Usai shalat, kembali kami memeasuki bus. Kembali pula kami terlelap dalam tidur yang tak nyenyak. Tubuh letih, ingin segera bisa bertemu dengan tempat tidur, bikin kami membisu dalam lantunan dzikir di hati.
Selang tiga jam berlalu, ketika kaki ini
melangkah turun dari bis dengan tertatih. Udara panas memerangkap seluruh permukaan
kulit yang terpapar matahari. Meski masker dan kaca mata penahan panas sudah
dipakai, tetap saja mata ini mengernyit. Dengan langkah bergegas saya berlari
menuju ke dalam hotel Soraya. Pemondokan kami selama delapan hari ke depan.
Setelah menunggu setengah jam, kunci kamar sudah ada dalam genggaman. Tertatih kaki ini menaiki anak tangga. Mulai saat ini saya kudu memilih alternative ini daripada antri berjubel di depan pintu lift. Untuk kapasitas 450 orang, fasilitas dua lift sungguh terlalu sedikit.
Alhamdulillah
saya bersama teman satu rombongan mendapat kamar di lantai satu dan dua. Nggak
perlu berebut lift dengan sesame jemaah kalo pas ramai. Tapi bila tak ada
antrian di depan lift, boleh lah sesekali menggunakan fasilitas yang nyaman,
hhihii…
Begitu sampai di dalam
kamar, saya tertarik mengamati pemandangan luar bangunan hotel. Tirai sengaja
saya buka lebar. Dan…wow wowww, ada pemandangan menarik manakala mata ini
menengok arah barat. Dua menara kembar yang sangat akrab di ingatan terpampang
dengan anggun.
“Haiii…itu masjid Nabawi ada di sebelah
kiri bangunan ini!” Teriakku tanpa sadar.
Dua teman satu kamar segera mendekat. Wah,
teriakan kegirangan keduanya tak kalah heboh. Kami berangkulan (seperti teletubies,
hihiii..) Ada keharuan yang menyergap relung hati ini.
Dengan terang-terangan kami saling
menyusut tetes bening dengan senyum geli. Mana bisa kami menyembunyikan haru
yang membuncah dada? Ini saat pertama kami akan shalat di masjid Nabawi. Masjid
yang didirikan oleh Rasulullah Saw. Ya Rasulullah… sebentar lagi kami akan
datang… Duuh…nulis ini jadi pengen nangis. Kangeeen…
Adzan Dzuhur
masih dua jam lagi. Namun kami sudah mengambil keputusan akan memulai shalat
arba’in saat Ashar. Kami kudu berbenah. Kemudian antri mandi. Juga ada koper
milik teman satu kamar yang belum diterima. Kasihan kan kalo kami tinggal
sendiri dan tak membantu mencarikan koper tersebut.
Naah usai shalat
di kamar dan maksi, kami seregu berangkat menuju masjid Nabawi. Semangat
berkobar mampu meredam udara panas matahari yang menyengat. Kabarnya suhu udara
mencapai 530 C. Astaghfirullah… Di tanah air saja sesekali kami
ngomel kalo berhenti di lampu lalu lintas di bawah terik mentari yang bersuhu
410 C.
Di Madinah, dengan udara yang panas tak
kami anggap sebagai kemalangan. Justru kami bersyukur diberi kesehatan hingga
bisa mulai melaksanakan rangkaian shalat arba’in. Shalat Fardhu 40 waktu yang
dilakukan tanpa terputus selama delapan
hari tinggal di kota Madinah.
Naaah saat berjalan masuk ke serambinya, mata kami terpaut pada payung raksasa. Ya...inilah payung yang terkenal itu. Masjid Agung Jawa Tengah yang ada di kota Semarang saja sampai menirunya. Sekarang ini saya melihat yang asli! Wow senangnyaaaa *nyaris jejingkrakan
Suami bersama teman seregu |
Payung ini dapat terbuka dan tertutup secara otomatis. Katanya sih diatur dengan sistem komputer. Yaaa percaya siiih, karena tiap jam tertentu payung akan membuka atau menutup sendiri.
Biasanya kalo pagi, payung akan membuka saat shalat Dhuha. Dan menjelang shalat Maghrib, payung pun menutup. Payung raksasa ini berfungsi sebagai peneduh terik mentari kota Madinah yang panas.
O iya, batang tubuh payung itu juga dipasang AC yang secara otomatis akan memancarkan sejuknya udara ke segenap penjuru. Nah, saat hari terakhir kami di Madinah, dan ruangan dalam masjid sudah penuh, saya memilih shalat di dekat payung ini. Duuuh...enak banget siang-siang mendapat semprotan penyejuk udara dari AC yang terpasang di bagian bawah payung. *mata terpejam, menikmati...
Kami berlima
bergegas memasuki ruang shalat. Belum begitu berjubel, karena kami termasuk
jemaah haji gelombang I. Tapi tetap saja di dalam ruang shalat, kami harus
mencari tempat yang nyaman dan bisa menampung lima orang.
Seperti orang
udik yang datang ke kota, pandangan kami tertuju pada bangunan
megah dan anggun masjid Nabawi. Arsitekturnya menawan dengan adanya kubah di bagian dalam yang bercorak abstrak. Kubah itu bisa membuka dan menutup secara otomatis. Pertama mengetahui kubah itu bisa menutup saat menjelang shalat Dhuha. Takjub juga sampe lupa mengambil gambarnya.
Belum lagi saat memandang ratusan lampu kristal yang tidak membiaskan panas. Lampu cantik itu disusun dengan kerangka dari bahan kuningan berlapis emas. Katanya sih ada 674 buah, terdiri dari tiga macam ukuran. Daaan...katanya lagiii lampu-lampu ini dipesan khusus dari Italia.
Belum lagi saat memandang ratusan lampu kristal yang tidak membiaskan panas. Lampu cantik itu disusun dengan kerangka dari bahan kuningan berlapis emas. Katanya sih ada 674 buah, terdiri dari tiga macam ukuran. Daaan...katanya lagiii lampu-lampu ini dipesan khusus dari Italia.
Lampu Kristal terlihat dari luar |
Segera setelah shalat mutlak dan menanti shalat Ashar, saya berdzikir. Kalimat istighfar, bacaan shalawat tak henti saya lantunkan. Ahhh senangnya bisa bersujud di tebalnya karpet di ruang shalat. Sambil meresapi dinginnya penyejuk ruangan yang kontras dengan suasana udara di luar masjid.
Tanpa henti saya
terus mengucapkan doa dan harapan. Menyebut setiap nama anggota keluarga, teman
dan orang-orang yang telah mendoakan saya dan suami. Ya Allah…Ya Rasulullah,
ijinkan dan mampukan orang-orang yang aku sayangi bisa mengikuti jejak kami untuk
shalat di Masjid Nabawi, Aamiin ya Robbal‘Alamiin…
Merinding mbak bacanya *speechless
BalasHapusAahhh Wuri, nulis ini malah bikin hatiku nano-nano...
HapusYa nangis karena kangen ingin ke sana lagi, ya seneng mengingat kenangan yang lucu dan menyenangkan. Banyak cerita deh pokoknya
Masjid Nabawi memang memesona ya, Mbak. Di dalamnya adem banget. Aku sempat beberapa kali ketiduran waktu nunggu waktu sholat hehe padahal udah dimelek-melekin.
BalasHapusAku juga beberapa kali ketiduran. Terutama saat nunggu shalat Isya, yang jaraknya lama banget dengan Maghrib, hihiiii
HapusMungkin penyejuk udaranya yg bikin mata merem melek ya Fita :)
Setuju mbak.... Beribadah di Nabawi adeeeem rasanya yaa... Ah, semoga kita semua diberi kesempatan untuk kembali kesana lagi..lagi..dan lagiii... Aamiin...
BalasHapusAamiin...moga terwujud yaaa
HapusKangen...semoga diberi rejeki dan kesehatan bisa berhaji kayak mba wati aamiin..merinding..
BalasHapusSama mba, aku juga kangen...aamiin moga terwujud yaa
HapusSemoga segera terwujud niat ke kami ke Baitullah, baca ini hasrat untuk secepatnya berada di sana semakin tinggi..undang kami Ya Allah..
BalasHapusHiks...jd ikutan mewek mbak. Pertama x liat jg aku lg mbrebes mili. Entah knp aku lebih suka shalat dsni..betah bgt rasanya adem ayem..ya smp ketiduran jg kadang hehhee...
BalasHapus