Masih ingat dengan engkel
kakiku yang sempat terkilir bulan Mei lalu? Nah, menjelang berangkat ke tanah suci,
sesekali aku masih merasakan nyeri saat beraktifitas. Solusinya aku harus
memasang dekker di kaki bila akan mulai beraktifitas.
Namun, itu tak berpengaruh
saat aktivitas shalat. Terutama saat posisi duduk tahiyat awal. Aku harus
menahan nyeri hingga tubuh ini gemetar. Tahu kan, posisi duduk tahiyat awal
adalah kaki kiri diduduki.
Rencananya waktu satu minggu
menjelang keberangkatan, akan aku pergunakan untuk berbenah. Dan satu hari
khusus akan kupergunakan untuk memijatkan kaki di bu Siti, di Gedawang
Banyumanik.
Namun apa daya, tamu banyak yang berkunjung ke rumah. Kasihan juga ninggalin teman atau kerabat yang datang. Saat itu akhirnya aku hanya bisa berdoa, moga aja seiring berjalannya waktu, nyeri itu akan hilang. Aku hanya merendam kaki dengan air hangat. Eh, air ini bukan air biasa, temaaan. Ada bumbu dapur berupa sereh dan garam, yang dimasukkan dalam rebusannya. *bukan untuk diminum lho yaaaa
Namun apa daya, tamu banyak yang berkunjung ke rumah. Kasihan juga ninggalin teman atau kerabat yang datang. Saat itu akhirnya aku hanya bisa berdoa, moga aja seiring berjalannya waktu, nyeri itu akan hilang. Aku hanya merendam kaki dengan air hangat. Eh, air ini bukan air biasa, temaaan. Ada bumbu dapur berupa sereh dan garam, yang dimasukkan dalam rebusannya. *bukan untuk diminum lho yaaaa
Saat di Madinah, meski
mendapat hotel yang lumayan jauh dan harus berjalan, aku tidak begitu lelah. Malah teman sekamar selalu memakai krim pegal-pegal
pemberian dinas kesehatan usai pulang dari masjid. Aku sih sengaja tak memakai krim karena tak ingin kecanduan. Capai sedikit langsung pakai. Enggak laaah... Meski aku juga memiliki krim itu, bahkan
punya cadangan karena sudah membawa dari rumah.
Siang itu seperti biasa
menjelang pukul sepuluh, aku bersama suami sudah berangkat ke masjid. Sudah dua
hari aku tak berangkat bareng teman satu kamar. Alasanku karena usai shalat
Dzuhur aku tidak pulang untuk mengambil jatah makan siang.
“Eman-eman lho jatah makannya kalo nggak pulang,” bujuk bu Yati.
“Iya, siapa yang mau ngabisin? Mubazir kan?” balas bu Endang.
Bukannya aku ingin menyia-siakan makan siangku. Tapi pulang usai
shalat Dzuhur saat mentari persis berada di atas kepala sungguh di luar akal
sehatku. Itu namanya menyiksa diri. Belum lagi jalan kaki sepanjang setengah
kilometer lebih mencapai hotel. Dan balik lagi saat menjelang shalat Ashar.
“Biarin ah. Aku kan ngeman kakiku. Lumayan sakit kalo harus
pulang balik ke hotel dan masjid,”
Tetap berada di masjid hingga usai shalat Isya’ adalah salah
satu kiat agar kaki kiriku tak mudah lelah. Apalagi aku sudah membawa bekal
untuk makan siang. Sambil menunggu adzan Dzuhur, aku membaca quran per juz yang
selalu siap di dalam ransel. Tiba-tiba tiga orang ibu datang mendekat dan meminta
ijin duduk di sampingku.
“Iya Bu, ini masih kosong,” Aku tersenyum.
“Ah, enak ya baca qura’an tipis gini, enggak berat bawanya,”
Aku menyerahkan qur’an itu untuk dilihat dan dibaca sekilas.
“Kok sendirian mbak? Temannya mana?”
Aku pun bercerita alasanku duduk sendiri.
“Coba sini, biar ibu lihat kakinya,”
Aku terpana. Bukannya aku takut ibu di sebelahku ini tidak bisa
memijat seperti tukang pijat professional. Justru aku kaget karena di tempat
yang jauh dari kampungku, bisa bertemu dengan seorang ahli pijat.
“Tahan ya kalo sakit. Inshaa Allah, biasanya cukup sekali saja Ibu pijat, bisa sembuh,”
Sembari dipijat, aku terus melantunkan istihgfar dan shalawat.
Biasanya dengan membacanya saja mampu mengurangi nyeri yang muncul. Sepuluh menit berlalu.
“Coba sekarang dipakai untuk duduk tahiyat awal,”
Perintah ibu itu langsung kulaksanakan. Subhannallah… nyeri itu
tak ada lagi. Aku nyaman saja duduk dengan posisi yang benar. Tidak minggrang-minggring seperti biasanya.
“Alhamdulillah, sudah tidak sakit lagi, Bu,” Tatapanku lekat pada ibu itu.
“Sini Ibu pijit lagi,”
Hingga tiga kali pijatan, akhirnya ibu Supartiningsih memintaku
mengulang gerakan tahiyat seperti tadi.
Aku meraih jemari beliau dan menciumnya. Kami berpelukan dalam suasana haru. Aku menangis karena bahagia. Bersyukur Allah alla waj’ala memberi kakiku kesembuhan yang sempurna. Melalui tangan dingin seorang ibu dari Depok. Aku menatap senyum di wajah ibu Suparti. Wajahnya basah oleh air mata.
“Ibu nangis karena terharu melihat mbak Wati begitu bahagia,”
Ah, ibu, siapa yang tak bakal bercucuran air mata saking tak
kuasa menahan bahagia? Bahagia karena merasakan
nikmat sehat? Bisa lagi shalat dengan posisi sempurna tanpa menahan nyeri.
Siang itu usai shalat Dzuhur, aku segera kirim sms pada suami.
Isi pesannya, aku akan pulang dan memintanya bertemu di samping hotel Dar ‘El.
Suamiku pasti bertanya-tanya, mengapa kali ini aku pulang
tak seperti biasa? Apalagi aku sudah membawa bekal untuk makan siang. Begitu menuju halaman luar Nabawi, aku bergegas menghampiri
suami. Lupa sudah sebelum dipijat aku tak berani berlari.
“Ada apa?”
Aku raih lengan suami. Aku bisikkan pertemuanku dengan ibu
Supartiningsih yang berasal dari Depok, Jawa Barat.
“Beliau mengundang kita ke penginapannya,”
“Nanti saja abis Maghrib kita kesana. Tapi ditelepon dulu. Sekarang pulang dan makan di rumah...”
Nah, usai shalat maghrib, aku menghubungi telepon beliau. Nada
tunggu berdering
hingga lama. Tiga kali aku ulangi lagi. Hasilnya sama. Tak ada respon dari
nomor telepon yang aku hubungi.
“Kok nggak diangkat?!”
Kami tak jadi silaturahmi
dengan ibu Suparti. Esoknya aku ulangi lagi. Hingga teman sekamarku
mengomentari peristiwa itu.
"Jangan-jangan beliau itu malaikat, mbak. Susah banget
ditelepon…”
Ah, pikiran serupa sempat singgah di benakku. Apa iya ibu
Suparti ini malaikat yang dikirim Allah Subhannahu Wa Ta’ala untuk menyembuhkan
kakiku?
Thawaf di lantai 3 |
Allah telah mempersiapkan kaki ini agar bisa sempurna menjalankan umroh wajib. Melaksanakan thawaf dengan tujuh kali memutari Ka’bah. Serta Sa’i dalam hitungan yang sama, antara bukit Saffa dan Marwa. Tentunya butuh fisik yang bugar dan prima.
Area Sai yang luas dan dingin karena AC |
Tiba-tiba ingatanku melayang saat masih di tanah air. Ada doa yang aku panjatkan saat berbincang dengan ibu Siti di kliniknya. "Ya Allah, bisakah aku dipertemukan dengan tukang pijat bila kakiku kambuh saat berada di tanah suci?"
Dan Allah Tuhan Pemilik Rahmat telah mengijabah doaku di masjid Nabawi. Allah itu Qodiirun ‘alaa kulli syaii… Tidak ada yang tak mungkin buat Allah.
Allhamdulillah bertemu dengan orang yang baik hhati dan bisa menyembuhkan kakinya ya mbak. Terharu membacanya, selalu ada cara Allah untuk menyembuhkan umatnya ya
BalasHapusBener mbak, Allah Maha penyembuh. Makasih udah menyempatkan diri membaca yaaa
HapusSubhanallah...speechless...itu rejeki mba dr Allah dgn didatangkannya Bu Siti..smoga bisa ketemu Bu Siti lagi:)
BalasHapusHehe bukan bu Siti mbak, tapi bu Supartiningsih. Ya rejeki yang tak ternilai dari Allah :)
HapusSubhanallah mbak...terharuu....
BalasHapusAlhamdulillah...mbak, banyak yang terharu nih :)
HapusYa Allah....kekuatan doa itu nyata ya mba Wati. Seperti yang mbak Wati ceritakan padaku kemarin..
BalasHapusRezeki ya mbak bisa dateng dlm.bentuk apapun. Ini rezeki bgt karena mbak wati jd bisa ibadah maksimal. Subhanallah
BalasHapus