Kamis, tanggal 15 Mei 2014, dengan kaki kiri yang
masih dibalut perban mirip mummi, saya paksakan diri untuk takziah ke rumah
keluarga ibu Nur Endah. Bersama suami dan si sulung, saya berangkat dari rumah
jam 07.38 Wib.
Rumah besar berlantai dua itu tampak ramai oleh
pelayat. Air mata ini menetes tanpa sadar. Terlebih saat si sulung almarhumah
berjalan menyongsong kedatangan kami sekeluarga.
Saya tak kuasa menahan sesak di hati. Menatap
mata Bintang yang sarat kehilangan. Saya sebenarnya tak ingin menangis. Saya
ingin tegar saat bertemu dengan putra-putri almarhum. Namun keinginan itu
tak mampu saya penuhi. Menatap bangunan rumahnya saja saya sudah sedih tak
kepalang.
"Kamu yang rukun ya sama adik-adik. Jangan
kecewakan Mama.." hanya itu sepenggal kalimat yang mampu keluar dari mulut
ini.
Karena saya yakin bila banyak berkata, pasti air
mata ini akan deras mengucur. Sudahlah, cukup itu saja yang bisa saya ucakan
untuk menghibur hati Bintang.
Saya sedang berhalangan shalat. Karena itu pula
saya tahan keinginan hati menatap wajah almarhumah. Saya hanya bisa mengucap
kalimat istighfar, tasbih dan shalawat. Untuk almarhum dan juga menguatkan hati
ini. Saya masih saja berharap, ini hanya mimpi. Dan saya akan terbangun dari
mimpi buruk ini.
Namun ini nyata. Putri bungsu almarhumah yang
tersenyum mnyambut kedatangan teman-teman sekelasnya. Putra ketiga yang juga
teman putra bungsu saya, tersenyum dari jauh melihat kehadiran saya. Atau wajah
sarat kelelahan sang suami yang sibuk mengurus keperluan terakhir almarhumah.
Semua itu nyata.
Kembali berkeping kenangan hadir menyeruak.
Saat perayaan kelulusan sulung kami dari SMPIT
PAPB. Bujukan dari saya agar Bintang jangan sekolah pelayaran di Tangerang.
Agar Bintang daftar seperti Milzam di SMK 7 (STEMBA) Semarang.
"Ah, apa bisa masuk? Nilai Bintang tak
sebagus punya Milzam. Kalo Milzam pasti langsung masuk, lha nilai rata-ratanya
9,25. Bintang kan cuma 8,6," katanya.
"Udah, pede aja. Kan ada seleksi, nggak cuma
dilihat dari hasil UN. Kita kan bisa bantu doa?! Masa sih kamu tega anak baru lulus SMP langsung tinggal
jauh di luar kota,"
Akhirnya hatinya luluh. Apalagi Bintang juga
ingin satu sekolah lagi bareng Milzam. Alhamdulillah, perjuangan kami berhasil.
Kedua anak itu bisa diterima setelah seleksi ketat dari tes fisik, tes
kesehatan dan psiskotest serta tes tertulis mata pelajaran.
Almarhumah orang yang periang. Seperti ibu-ibu
lain, selalu bercerita tentang putra-putrinya. Setiap bertemu yang hanya
sesekali, saat menjemput anak-anak. Lambaian tangan dan senyum pasti selalu
menyambut dari jarak jauh sekalipn. Dan saya selalu ringan hati menghampirinya
bila lebih dulu tahu kehadirannya. Kami pun saling cipika cipiki, layaknya
saudara yang kangen karena jarang bertemu.
Banyak kenangan selama ini. Seperti bantuannya
mengenalkan penjahit seragam sekolah anak-anak yang dekat rumahnya.
Mempersiapkan kebutuhan opspek sekolah si sulung. Atau bertemu di STEMBA, saat mengambil raport si
sulung kami. Atau menghadiri rapat sekolah anak-anak. TAnpa janji temu, tanpa
sms an, karena saya tak punya nomor hapenya :(
Entah mengapa, baru saya sadari, saya tak punya
nomer hapenya. Padahal kami saling kenal bertahun ini. Saya tak pernah mengira
akan menerima kabar duka itu. Saya tak pernah mendengar almarhumah sakit selama
ini.
Saya tak akan menyalahkan diri sendiri atau pun
putra-putrinya . Karena mereka tak pernah mengabarkan sakit almarhumah.
Terlebih mendengar perjuangan keempat putra-putrinya yang mengantarkan sang
mama ke rumah sakit saat bulan Februari, karena papanya tengah berlayar.
Berempat menunggui mama mereka di rumah sakit. Tidur dan makan di sana. Duuuh,
hati ini tak kuasa menahan kesedihan. Mereka masih anak-anak meski si sulung
berusia 19 tahun.
Beruntung papanya bisa dihubungi dan segera
menumpang kapal lain untuk mendarat. Sejak Februari itu pula almarhumah
berjuang di dua rumah sakit untuk kesembuhan dari penyakit yang dideritanya.
Sel kanker itu telah menjalar hingga ke jantung.
Takdir Allah telah ditetapkan. Pada usia yang masih
muda, 41 tahun, almarhumah telah menjalani kehidupannya dengan baik. Sebagai
ibu yang sayang, istri yang salihah dan putri yang berbakti pada orang tuanya.
Sebagai manusia pun, beliau terkenal kedermawanannya. Mudah mengulurkan
bantuan.
"Mama meninggal dengan tenang," Bintang
bercerita sedikit.
"Tidak lama kan kesakitannya?"
Bintang menggeleng.
"Mama sempat shalat Dhuhur berjamaah.
Kemudian makan siang. Sejam setelah itu kondisi Mama drop. Tepat pukul setengah
dua, napas Mama berangsur menghilang. Ada Papa dan saya yang mendampingi selama
sakaratul maut itu,"
Penjelasan sulung almarhumah meredakan kesedihan
hati ini. Meski tetap saja kehilangan itu tak akan surut. Saya tak akan lagi
bertemu senyum manisnya yang hangat. Saya tak bisa lagi berbincang dengan
almarhumah di teras sekolah Ghozi dan Naufal. Sambil menanti jam pulang sekolah
mereka.
Allahummagfirlaha warhamha wa'afiha wa'fuanha..
Semoga Allah swt mengampuni dosa dan kesalahan almarhumah Nur Endah Raharjanti.
Semoga Allah swt menerima seluruh amal kebaikan yang telah ditanamnya selama
hidup di dunia. Dan menempatkannya di tempat yang mulia. Bersama orang-orang
mukmin yang telah mendahului kami.
Selamat jalan sahabatku....
Aamiin, semoga diberikan tempat yang terbaik ya mbak
BalasHapusInshaa Allah...aamiin YRA, semoga mbak
Hapusduh, sedih juga saya bacanya
BalasHapusSampe sekarang pun saya masih sedih bila terkenang senyumannya. MAsih saja berharap hari itu hanya satu mimpi buruk yang terjadi dalam tidur. Bukan nyata :(
BalasHapus