BEKAL SEHAT DARI RUMAH, TRADISI BAIK DAN MURAH
“Wah,
putranya masih mau bawa bekal dari rumah? Nggak malu…kan udah magang ya?”
Seorang tetangga bertanya dengan nada tak percaya.
Aku
tersenyum maklum. Apalagi si sulung sudah berusia 18 tahun. Dan saat ini ia
magang kerja di PLN cabang Jatingaleh, Semarang. Tapi ia tidak malu membawa tempat makan yang
berisi masakan bundanya untuk menu makan siang di tempat magang.
Menu
makan siang mereka juga yang mudah dibuat. Biasanya aku menyiapkan ayam fillet,
udang, jamur atau pun bahan masakan lain di dalam wadah khusus dan disimpan di
lemari pendingin. Paginya baru aku masak sesuai pesanan anak-anak. Ayam fillet
bisa dibuat menjadi chicken katsu atau steak ayam. Udang atau cumi bisa digoreng dengan tepung
krispi. Bisa juga dimasak udang goreng mentega atau cumi Lombok ijo. Jadi, menu
makannya bervariasi, mudah dibuat dan tidak butuh waktu lama. Kedua putraku pun
selalu menghabiskan bekalnya tanpa banyak protes.
“Apa
sih resepnya, agar anak-anak mau dan tak malu bawa bekal sampai sekarang?” Ini
pertanyaan lain dari seorang kerabat.
Ah,
resepnya sederhana. Aku sudah mengenalkan kebiasaan baik ini sejak mereka masih
balita. Bukankah kebiasaan baik akan lebih mudah dilakukan bila sudah
dikenalkan sejak usia balita?
Pergi ke sekolah, berjalan-jalan ke mall, atau
acara pertemuan keluarga, aku selalu membawa bekal makanan dan minuman dari
rumah. Nah, dengan kebiasaan sejak usia balita, mereka jadi terbiasa membawa
bekal hingga usia remaja. Saat ini si bungsu Naufal berusia 13 tahun dan masih
belajar di kelas VIII SMP IT PAPB. Dan Milzam masih menekui sekolahnya di kelas
XIII di SMK Negeri 7 Semarang. Di kelas
XIII ini Milzam magang di PLN Jatingaleh, Semarang.
Saat mereka masih kecil,
aku juga mengajarkan agar tidak jajan sembarangan. Anak-anakku baru kenal uang saat kelas 1 SD. Itupun
karena ketua kelas mengharuskan teman-teman sekelasnya membayar iuran setiap
minggu untuk kegiatan sosial. Seperti menjenguk teman yang sakit atau untuk
memberi sumbangan bila ada orang tua salah seorang siswa sakit atau meninggal.
Akhirnya aku memang harus mengenalkan
nilai uang dari nominal yang paling kecil, seperti seratus rupian hingga seribu
rupiah. Pada mereka, secara perlahan aku jelaskan bahwa uang itu hanya boleh
dibelanjakan untuk membeli makanan yang bersih dan menyehatkan. Aku beri
contoh, bahwa makanan yang bersih adalah yang terbungkus dengan pembungkus yang
aman. Sehingga lalat tidak bakal bisa menyentuh makanannya.
Dan makanan yang
menyehatkan itu tentu saja yang tidak membuat dirinya mudah terkena penyakit.
Aku tunjukkan contoh makanan yang menyebabkan sakit di antaranya adalah,
jajanan gorengan yang dijual di pinggir jalan. Karena proses pembuatannya tidak
menggunakan minyak yang bermutu baik. Di samping itu, jajanan pinggir jalan
biasanya tidak ditutupi dengan baik hingga gampang terkena debu atau asap
kendaraan.
Tidak hanya itu saja. Ada
juga makanan yang mengandung pemanis buatan, pewarna sintetis dan penambah
rasa. Jajanan seperti ini biasanya menggoda anak-anak karena banyak juga
teman-teman mereka yang membelinya.
Tentu
bukan hal mudah mengajak kedua putraku agar tak tergoda membeli jajan
sembarangan. Beruntung pihak sekolah tempat mereka belajar, melarang
murid-muridnya membeli jajan di luar wilayah sekolah. Ada kantin di dalam
lingkungan sekolah yang menyediakan jajanan sehat.
Nah,
kalau selama proses belajar di sekolah sudah ada pihak guru yang mengawasi
jajanan kedua putraku, di rumah pun tentunya harus ada dong. Dan aku lah yang
menjadi pengawas kedua putraku.
Agar
mereka menurut dengan larangan jajan di sembarang tempat, tentunya aku harus menyediakan makanan sehat di rumah. Bukan hal sulit kok menyediakan Resep Sehat di rumah. Tiru aja makanan yang dijual di luar rumah dengan membuat sendiri di
rumah. Tapi sebagai bunda yang bijak, tentu aku harus pintar-pintar memilih
bahan yang berkualitas.
Jajanan
gorengan seperti mendoan, pastel, tahu petis, pisang goreng, dan
teman-temannya itu sebenarnya makanan favorit kedua putraku. Di luar rumah,
jajanan itu tersedia melimpah di setiap sudut kota. Terutama yang berlokasi
dekat dengan perumahan. Nah, agar selera mereka terpenuhi, aku pun membuat
jajanan itu sendiri di rumah.
Biasanya,
aku buat adonan tepung di pagi hari menjelang berangkat kerja. Adonan itu hanya berupa tepung gandum yang
dicampur air secukupnya. Sepulang kerja, aku tinggal menambahkan bumbu sesuai
kebutuhan. Aku membuat jajanan nggak cuma satu macam. Biasanya dua macam,
kombinasi antara mendoan dan pisang goreng. Atau tahu petis, pisang goreng dan
bakwan sayur. Dari satu adonan tepung, aku tinggal membaginya ke dalam tiga
mangkok. Kemudian masing-masing adonan ditambah bumbu sesuai jajanan yang akan
dibuat. Dan pilihanku untuk menggoreng adonan ini tentu saja mingyak goreng
SunCo.
Selalu ada minyak goreng SunCo di dapurku |
Aku
sudah lama beralih menggunakan minyak goreng SunCo. Ada yang bilang kalau harga
minyak ini lebih mahal. Selisih harganya
bisa untuk dibelikan bumbu masak atau jajanan anak-anak. Wah, mendengar ucapan ibu-ibu yang menyebut
mahal ini harus diberi pencerahan :P Kita
harus mengubah cara pandang itu dengan memperhatikan kandungan gizi yang
tercantum pada setiap kemasan minyak SunCo.
Apalagi SunCo sebagai minyak
goreng yang diolah dari kelapa sawit segar dan telah melalui 3x pemurnian dan
2x penyaringan menghasilkan minyak goreng sehat yang kaya akan omega 3
sekaligus bebas kolesterol. Jadi, sunCo mempunyai kepedulian yang tinggi dengan
membantu ibu rumah tangga, sehingga dapat menyajikan masakan sehat untuk
keluarga.(diambil di http://www.resepsehat.com)
Meski minyak ini boleh
diminum, tapi tentu saja penggunaannya adalah untuk menggoreng masakan sehat
bagi keluarga kita.
Oya,
aku juga sering membawakan bekal lebih untuk teman-teman kedua putraku.
Mendoan, pisang goreng, jamur crispi, chiken katsu, lumpia, pastel adalah
beberapa makanan yang pernah aku bawakan, untuk mereka bagi dan makan bersama
dengan teman-teman sekelasnya. Kadang aku membayangkan teman-teman mereka
mengelilingi kedua putraku karena takut tidak kebagian, hihihi…
“Tadi
Nanang membagi jamur crispi-nya dengan Lia, bu,” Cerita Milzam suatu sore.
Aku
membayangkan potongan kecil jamur yang masih dibagi lagi jadi dua.
“Aduuuh…emang
nggak kekecilan?” Tanyaku bingung.
“Biar
saja, hahaha….” Jawab Milzam dengan tawa
berderai.
Atau
saat Milzam usul agar aku menitipkan jamur crispi buatanku di sekolah.
“Pasti
banyak yang suka, dan jualan ibu bakal laris manis,” Usulnya dan diamini oleh
sang adik, Naufal.
Hmm…sepertinya
anak-anak tidak membayangkan kerepotanku
bila menuruti usulnya. Karena aku masih harus membagi waktu pada pagi hari
untuk membuatkan bekal ke sekolah dan membersihkan rumah. Mungkin kedua putraku ingin membagi makanan
sehat buatan bundanya dengan seluruh teman-teman di sekolah mereka
masing-masing.
Ada
masanya saat keduanya tidak membawa bekal ke sekolah. Biasanya saat ulangan
umum, Naufal enggan membawa bekal. Saat perutnya lapar, ia pun membeli jajan di
kantin. Tapi, karena kantin hanya ada satu dan waktu istirahat yang mepet, ia
malas berdesakan untuk membeli makanan. Jadi lah perutnya menahan lapar.
Akhirnya ia kena sakit mag. Sejak saat itu Naufal tak lagi enggan membawa bekal
ke sekolah.
Milzam
pun sempat malas membawa makan saat mulai magang di tempat kerjanya. Padahal sejak kelas 1 SD hingga kelas XII di
SMK 7 Semarang, ia selalu membawa bekal makan dari rumah. Baru magang sebulan,
ia terkena sakit typus. Tentu saja
Milzam harus ijin tidak masuk kerja.
Aku pun memberitahu bahwa
makanan yang dijual di luar rumah, belum tentu terjaga kebersihannya. Bisa saja
masakannya sudah diolah dengan benar, namun piring atau sendok yang digunakan
untuk tempat makan mungkin kurang bersih. Bagaimana bisa bersih bila air yang
digunakan untuk mencuci alat makan adalah air yang tidak mengalir? Karena
banyak penjual yang hanya menyediakan satu atau dua ember air dan digunakan
berulang-ulang.
Tentu akan lebih baik ia
tetap membawa bekal seperti kalau di sekolah.
“Kamu
malu bawa bekal ke tempat kerja?” Selidikku dengan hati-hati.
Milzam
menggeleng.”Nggak lah Bu…Cuma malas aja bawanya,”
“Kan
seperti waktu di sekolah, tempat makan tinggal dimasukkan ke dalam tas, nggak
merepotkan. Mulai besok bawa lagi, ya?” Bujukku pada si sulung.
Begitu
masuk kerja usai ijin sakit, Milzam pun membawa bekal lagi. Bahkan Milzam juga
mengajak teman-teman dari satu sekolah yang magang di PLN, agar membawa bekal
untuk makan siang dari rumah.
Kata Milzam seminggu yang
lalu,”Sekarang teman-teman bawa bekal semua. Jadi, istirahatnya malah lebih
lama karena kami nggak perlu keluar kantor untuk membeli makanan,”
Ya, aku sangat setuju
dengan ucapan putraku. Istirahat yang hanya satu jam bisa lebih efektif bila
mereka tak meninggalkan kantor untuk membeli makan.
Hingga sekarang pun, kedua
putraku tetap membawa bekal dari rumah. Mereka beranggapan, masakan dari rumah
lebih sehat, aman dan ekonomis. Nah, nilai ekonomis ini yang membuat mereka
senang membawa bekal dari rumah. Uang saku mereka tidak berkurang banyak dan
bisa ditabung.
Sebenarnya
bukan kedua putraku saja yang membawa bekal dari rumah. Suami juga sesekali
membawa bekal ke tempat kerja. Ia tak malu mengeluarkan tempat makan yang
berisi masakan dari rumah dan menikmatinya saat istirahat siang. Bekal apapun
yang aku siapkan, selalu dimakan hingga tak tersisa.
Begitupun dengan diriku.
Aku tak pernah lupa menyiapkan bekal untuk makan siang di tempat kerja.
Alasanku sih terutama karena malas keluar hanya untuk membeli makan siang.
Namun tentu saja ada alasan lain, yaitu dengan membawa bekal dari rumah aku bisa
irit uang jajan di kantor. Yang pasti makanan dari
rumah juga lebih menyehatkan karena diolah dengan cara yang benar dan mengikuti
anjuran Resep Sehat.
Di tempat kerja, bukan
hanya aku yang membawa bekal untuk makan siang. Hampir sebagian besar
teman-teman juga melakukan hal yang sama. Mereka sepertinya termakan hasutanku.
Membawa bekal dari rumah, di samping lebih aman untuk perut kita juga aman
untuk isi kantong, alias irit.
“Tulisan ini dibuat untuk mengikuti lomba blog dari
http://www.resepsehat.com persembahan SunCo Minyak Goreng Yang Baik.
Tulisan adalah karya saya sendiri dan bukan merupakan jiplakan”
keren tulisanmu mak Wati, menginspirasi emak2 yg kagak pernah masak kayak diriku hihihiii... sukses utk tulisan ini yaaa.
BalasHapusWaduh abis poting ini blogku gak bisa dibuka :(
HapusMantaaaffff. moga sukses mak
BalasHapusMakasih mbak, nggak ngikuti dulu siapa yang menang lha abis posting ini ada masalah gak bisa dibuka. Untung gak kelamaan jadi bisa nulis dan ngeblog lagi :)
Hapusaku waktu jaman bkerja dulu juga suka bawa bekal dr rumah mak, makannya numpang d warung sebelah *ngga tahu diri hihi
BalasHapusAsik lah, kalo kurang lauk tinggal ambil dan.... bayar pasti hehe :)
HapusAlhamdulillah dapet pencerahan. Yups, masakan rumah paling enak. Istri di rumah juga sudah mulai banyak belajar membuat cemilan sehat untuk anak-anak.
BalasHapusAaahhh... brilliant idea mak.
BalasHapusMau saya tiruuu aahhh
Makaciii ya mak.