Anak adalah titipan Tuhan. Kelak kita akan diminta pertanggunjawaban olehNYA, bagaimana kita memperlakukan, menjadikan, dan mengupayakan masa depan anak kita. Namun, anak juga anugerah yang tak ternilai harganya. Sebagai orang tua, kita memang diharapkan mampu mencetak anak-anak yang berkepribadian istimewa.
Beban orang tua saat ini sangat berat. Tidak hanya menjaga lingkungan sosial saat membesarkan anak-anaknya. Tapi juga harus mampu memilih pendidikan yang cocok untuk buah hatinya. Cocok di sini tak cuma dengan isi kantong kita. Karena yang paling penting itu juga harus cocok dengan minat dan kepribadian si anak.
Penilaian rata-rata orang tua dari jaman dulu sampai detik ini masih seragam. Anak hebat adalah anak yang sering meraih rangking 5 besar di kelas, kalau perlu se-angkatan / sesekolah menjadi lulusan terbaik. Tidak hanya itu, dia juga harus sering menang saat ikut berbagai even lomba.
Aku beruntung menjadi putri sulung dari empat bersaudara. Bapak adalah orang yang selalu menjadi penyemangatku. Dari beliau juga aku kenang dengan yang namanya kompetisi. Tapi, tetep saja tak ada kewajiban dari bapak bahwa putrinya ini harus juara 1. Karena itu, aku sangat senang mengikuti beberapa lomba yang menjadi minatku. Waktu masih pelajar SMA, aku pernah mewakili sekolah mengikuti berbagai lomba Pramuka. Juga lomba Lintas Alam yang diselenggarakan oleh sebuah STM (sekarang SMK) juga Wapeala UNDIP. Atau, lomba gerak jalan dan PBB setiap Perayaan 17 Agustus di kodya Semarang. Semuanya nggak menang. Tapi, bapak tetep bangga pada putrinya ini. Karena aku jadi aktif dalam kegiatan dan menjadi pribadi yang mudah bergaul dan terbuka.
Yup! Sebelum menginjak pendidikan tingkat atas (SMA), aku termasuk berpribadi introvert. Pendiam dan pemalu. Bahkan seorang teman SMP pernah bilang, bahwa banyak teman cowok yang takut mendekat karena aku terlalu pendiam. Dan, penilaian ini disetujui oleh mantan pacarku alias suami yang notabene adalah teman SMP juga. Tapi, kami baru berhubungan lagi setelah aku hampir lulus kuliah lho, hehe...
Nah, kembali ke...laptop, eh salah! Kembali ke topik awal.
Aku tak hanya aktif dalam kegiatan di alam bebas. Beberapa lomba menulis pun sudah mulai aku ikuti saat menjadi pelajar SMA ini. Awalnya dari lomba bikin puisi tentang Pertempuran Lima Hari di Semarang. Meski gak menang, tapi puisiku terpilih untuk dibukukan bersama pemenang utama.
Ada juga lomba nulis yang diadakan oleh Kementrian LIngkungan Hidup. Lomba nulis yang lain tak begitu kuingat karena pengalaman ini sudah berbilang tahun yang lalu. Dari sekian lomba yang aku ikuti, jarang banget memilihku jadi pemenang. Aku sih tak manyun atau marah. Namanya juga lomba. Ada pemenang, tentu juga ada juga yang kalah. Never mind :)
Tapi, menjadi pribadi yang bisa menerima kekalahan tentulah butuh hati yang ikhlas. Semua berpulang pada pribadi yang bersangkutan. Karena itulah, aku selalu belajar menjadi ibu yang ikhlas dengan setiap langkah anak-anakku menapak jejak hidupnya.
Sebagai orang tua, aku tak ingin memaksakan kehendak agar anak-anak selalu berprestasi. Terus terang, aku takut, keinginan kami sebagai orang tua tak sebanding dengan kemampuan anak-anak.
Bagaimanapun kita memberi bekal kepandaian berupa tambahan pelajaran seperti les privat, bimbel dan kursus ini itu, kalau memang anak-anak tak menikmati juga jadi percuma.
Nah, prinsipku dalam mendidik anak-anak adalah, kami hanya menginginkan kedua putra kami menjadi anak yang sholeh dan berguna bagi keluarga serta lingkungannya. Tidak perlu menjadi peraih ranking pertama. Tidak harus selalu menang setiap ikut lomba mewakili sekolah (si sulung). Tidak harus menjadi anak manis dengan berdiam di rumah.
Cukuplah, ketika dia bisa menempatkan diri di mana pun dia berada. Mampu berbagi dengan ketrampilan yang dimilikinya pada kerabat dan teman serta tetangga juga. Menjadi saudara yang menyayangi kerabatnya, serta hormat pada orang yang dituakan. Dan, menjadi teman yang peduli dengan kondisi sosial di lingkungan tempat tinggalnya.
Dan, aku senang dengan kegiatan putra sulungku yang memilih PMR di sekolahnya sebagai ekskul pilihan. Karena aku yang pernah bergabung dengan organisasi yang sama (KSR Polines), tahu betul, apa saja kegiatan di organisasi ini. Menjadi penolong, melatih empati, belajar menangani P3k dan bencana, serta aktif mengelola kegiatan donor darah. Ketika ngobrol kegiatan PMR di sekolah dengan si sulung, jadi nyambung. Sayangnya, dia jadi terlalu aktif dengan kegiatan ini sampai kelas XII ini. Wah, waktu aku memberi warning agar mengurangi kegiatan, serasa dejavu, 'Aku juga pernah diwarning oleh bapak karena terlalu banyak kegiatan di kampus'
Menjadi siswa pintar itu halal, hehe... Tapi kalau jadi pintar namun tak bisa trampil di masyarakat, atau menjadi makhluk asosial, tentu tak halal yaaaa...
Kesimpulannya sih, aku lebih senang memiliki anak-anak yang prestasi akademiknya biasa saja. Namun ketrampilan hidup di masyarakat is the best. Dan ia kreatif ketika menemukan persoalan-persoalan yang mulai dihadapinya sebagai manusia.
Nah, si bungsu tergolong anak yang kreatif. Sejak kecil ia sudah aktfi bikin ketrampilan yang mengagumkan. Seperti pada saat hari ibu tanggal 22 Desember 2004, kalah tidak salah tahunnya ya :)
Sore sepulang dari nguli, rasa penat di tubuhku sirna tak berbekas ketika menjumpai senyum riang Naufal dengan tangan yang terulur pada bundanya ini. Waahhhh...ada rangkaian bunga berujud gambar dengan warna-warni krayon di atas selembar kertas gambar. Kertas itu ia gulung seperti bentuk buket bunga. Hihi...seraya melayang hati dan jantungku menerima buket dari si bungsu. Manisnya :)
Begitu pun saat ada pelajaran ketrampilan di sekolahnya. Dari bikin layang-layang, maket rumah, kitiran dari kertas dan potongan bambu, telpon dari bekas kaleng susu, semua dikerjakan sendiri. Selama ini, kami selalu membantu si kakak untuk menyiapkan ketrampilan di rumah. Di kelas tinggal merangkai. Tapi, si bungsu selalu ngotot, bahwa ia bisa mengerjakannya sendiri. Memang betul ucapannya. Dan hasilnya pun melebihi buatan si sulung dengan bantuan kami.
Kembali tahun ini aku mendapatkan hadiah dari si bungsu. Kali ini berupa kartu lebaran yang dibuat karena tugas sekolah di kegiatan Pesantren Ramadhan 1433 H yang lalu. Kartu lebaran ini sampai di rumah H + 3 dengan diantar oleh petugas pos. Wah, senangnya. Bentuknya sederhana. Tulisannya juga gak komplit. Kurang keterangan tahun, hihi... But, it's nice!
Si bungsu memang butuh motivator agar tak malu-malu menunjukkan ketrampilan tangannya. Padahal, hasil karyanya berupa komik cukup membuat aku bangga. Tapi, ia tak ingin orang luar tahu dengan kepandaiannya ini. Ia seorang otodidak. Sepertinya, kecermatan visual dan motorik nya mampu bersinergi menghasilkan karya yang ciamik.
Tugas kami sebagai orang tua tentunya harus mengarahkan kedua putra kami menjadi lebih berkembang.
Halo, nama saya Setiabudi, seorang korban penipuan di tangan pemberi pinjaman, saya telah penipuan semua paling 13 juta karena saya membutuhkan pinjaman modal besar 40 juta, saya hampir mati, saya tidak punya tempat untuk pergi, bisnis saya adalah hancur dalam proses yang saya kehilangan anak saya. saya tidak dapat berdiri lagi. semua hal ini terjadi Desember 2014, sampai saya mearnt seorang teman yang memperkenalkan saya kepada ibu yang baik ibu Alexandra yang akhirnya membantu saya mengamankan pinjaman di perusahaannya, ibu yang baik saya ingin menggunakan kesempatan ini untuk mengucapkan terima kasih, Semoga Tuhan terus memberkati Anda, saya juga ingin menggunakan kesempatan ini untuk menyarankan sesama Indonesia, bahwa ada banyak penipuan di luar sana, jika Anda membutuhkan pinjaman dan pinjaman yang dijamin hanya cepat mendaftar melalui Ibu Alexandra melalui email perusahaan: alexandraestherloanltdd@gmail.com alexandraestherfastservice@cash4u.com
BalasHapusatau Anda mengunjungi situs web mereka: globalfastservice.org
Anda dapat menghubungi saya melalui email ini; setiabudialmed@gmail.com untuk informasi yang perlu Anda ketahui. silahkan dia adalah satu-satunya orang yang dapat diandalkan dan dapat dipercaya.
Terima kasih.