Cerpen ini dimuat di majalah Paras bulan Februari 2012. Yang ini versi asli sebelum diedit sedikit oleh editor.
BAPAK
Sudah
hampir seminggu bapak berdiam di dalam kamar tidurnya. Tak banyak lagi aktivitas yang dilakukan
beliau. Keluar kamar hanya untuk mandi
dan makan. Padahal, biasanya bapak rajin
sekali jalan pagi mengelilingi kompleks perumahan usai sholat Subuh.
“Kita
harus telepon Bondan. Dia perlu
tahu kejadian ini, mas,” cetus Wiwid.
“Ya
sudah telepon adikmu sekarang. Jangan
sampai kita disalahkan nantinya,” jawab Kamal.
Bondan
tinggal tak jauh dari rumah mereka.
Meski tidak setiap hari, tapi dia dan istrinya acap menyambangi rumah
ini. Untunglah Bondan sedang di
rumah. Dia berjanji akan berkunjung
malam ini usai sholat Maghrib.
Seperti
biasa bapak sudah masuk ke kamarnya usai sholat Maghrib. Bondan dan Dewi tiba tak lama kemudian. Mereka berempat memilih duduk di teras agar
bapak tidak mendengarkan pembicaraan itu.
Wiwid
mengutarakan keresahannya. Perubahan
sikap dan perilaku sang bapak yang terjadi beberapa hari ini membuat dirinya
merasa tak berguna sebagai anak. Mereka
jarang berbincang lagi. Padahal usai
jalan pagi, bapak akan duduk di teras dan menemani dirinya yang tengah menyiram
tanaman. Mereka bisa mengobrolkan dari
hal sepele seperti mbok Muji, bakul jamu yang suka menggoda satpam di komplek,
hingga demo mahasiswa yang menentang pemerintahan SBY. Bapak tidak suka duduk menganggur. Karena kadang bapak turut membersihkan rumput
liar yang tumbuh di sela rumpun bunga, atau di pot. Itu kegiatan rutin yang sering mereka lakukan
pada pagi hari, ketika kedua putri dan suaminya sudah berangkat ke tempat
tujuan masing-masing.
“Kalian
sudah bertanya, siapa tahu bapak sakit dan tidak berani mengungkapkan pada kita
penyakitnya?”ucap Bondan pelan.
“Bapak
tidak sedang sakit, karena cek up kesehatan terakhir kan aku yang mengambil hasilnya?! Tidak ada
masalah pada kesehatan bapak,” sahut Kamal.
“Sepertinya
bapak memendam sebuah keinginan. Aku
sudah membujuk bapak, bertanya apa gerangan yang beliau inginkan. Tapi sia-sia, bapak tetap diam dengan
pandangan menerawang,”
“Mumgkin
bapak kangen dengan ibu,”
Ucapan
Dewi ada benarnya. Meski sebulan sekali
bapak masih rajin nyekar ke makam ibu, tetap saja sosok seorang istri hanya
terpatri dalam kenangan beliau. Tanpa
kehadiran raga di sisinya, tentu lah
berbeda.
“Aahhh…mungkinkah
bapak ingin seorang pendamping hidup? Bukan untuk menggantikan ibu, tapi…”
Wiwid
cemberut mendengar ucapan adiknya. Dia
memandang bergantian pada adik dan istrinya.
Mereka menahan diri untuk berbicara lebih lanjut. Pandangannya beralih kepada suaminya. Yang ditatap sedang asyik memperhatikan kea
rah jalan. Ataukah suaminya pun juga
memikirkan hal yang sama, tapi takut untuk mengutarakan pada dirinya?
“Ibu
kan baru
empat tahun meninggalkan kita? Masa bapak sudah ingin menikah lagi?”
Mereka
terdiam cukup lama. Masing-masing larut
dengan pikirannya.
“Coba
besok kamu bertanya pelan-pelan, apakah benar bapak ingin menikah lagi, mbak”
“Kalau
jawabannya iya?”
“Ya,
kita harus mencari tahu apa beliau sudah punya calon atau belum,”
Serempak
keempatnya saling berpandangan usai Dewi melontarkan perkataannya.
“Hei,
kemungkinan itu selalu ada. Mungkin calonnya sudah ada, hingga bapak bingung
mau membicarakannya pada kita,”
“Ya,
bisa saja bapak takut, … atau malu pada kita berempat,”
Wiwid
menghembuskan napas panjang. Dalam
benaknya, tak pernah sedikitpun terbersit bahwa bapaknya memiliki istri yang
bukan ibu kandungnya. Terlebih sepanjang
perjalanan hidup berumah tangga bersama ibu, tak terdengar kisah perselingkuhan
bapak dengan wanita lain. Ibu adalah
wanita pujaan bapak, begitu pula sebaliknya.
“Kalian
memberikan tugas yang sungguh berat kepadaku.
Karena aku selalu menganggap bapak adalah suami yang setia terhadap ibu
kita, jadi aku tak memiliki bayangan kalau sepeninggal ibu, bapak akan menikah
lagi,”
“Karena
kamu yang menjadi putri kesayangan bapak, mbak.
Kalian dekat sekali bagai dua orang sahabat,”
Ucapan
adiknya sangat ia pahami. Mereka berdua
memang seperti sahabat yang bebas membicarakan topik apa saja. Tapi, perkara yang satu ini kan sangat sensitive. Bagi dirinya.
Pasti begitu pula menurut bapak.
Hingga beliau menjadi pendiam dan tak berselera makan.
“Yah,
kalau memang bapak ingin menikah lagi tapi takut membicarakannya dengan kita,
yang menjadi perubahan perilakunya, memang harus kamu yang mengajak beliau
bicara. Ini kan baru dugaan, siapa tahu bukan masalah
itu yang menjadi pikiran bapak? Kita sebagai anak harus bersikap dewasa,”
“Baiklah…
besok, ketika cuma kami berdua yang ada di rumah, aku akan mencoba bicara
dengan bapak,”
Mereka
saling mengusulkan dan memberi saran.
Hingga Wiwid merasa pikirannya tak lagi penuh dan hatinya sedikit
tenang. Sebenarnya tak ada masalah yang
tak bisa terselesaikan, ketika ada banyak tambahan kepala yang membantu untuk
memikirkan setiap permasalahan itu.
8888888
Pagi
berjalan sangat lambat. Bahkan setelah
dia sibuk menyelesaikan tugas rumah pun, jarum jam seakan tak beranjak. Bapak sedang duduk di teras depan sambil
melamun. Wiwid yang sedari pagi
memata-matai kegiatan bapaknya, merasa sangat berdosa. Dan sekarang, ia sudah tidak tahan lagi
memendam berjuta pertanyaan yang sudah dipersiapkan sejak semalam.
Ketika bapak beranjak dari kursi dan masuk ke ruang
tamu, Wiwid berpura-pura sedang menata bantal di sofa. Dengan ekor matanya, ia mengikuti langkah
lelaki tua itu. Bapak menuju dapur. Dengan langkah perlahan, ia mengikuti dan
berpura-pura menyiapkan menu untuk makan siang.
“Bapak
mau Wiwid buatkan teh?”
“Tadi
pagi kan
sudah?!”
Ups,
iya ya, sudah lama bapak tidak mau minum teh terlalu banyak, pikirnya.
“Duduk
sini Pak, sudah lama lho kita tidak ngobrol.
Oh iya, hari Minggu besok Bapak ikut jalan sehat kan?”
“Dalam
rangka apa?” akhirnya bapak duduk juga di salah satu kursi plastik yang selalu
ada di dapur.
“Ulang
tahun Lansia, kan
Ibu Juwono sudah memberitahu bapak bulan lalu?”
“Bapak
sudah tua, Wid, otak tua ini sudah tidak mampu lagi menampung banyak memori.
Kapasitasnya kan
mulai menyempit?” bapak terkekeh.
Hati
Wiwid mencelos. Aduh, sudah lama sekali
rasanya ia tak mendengar bapak tertawa
geli.
“Alhamdulillah
bapak belum pikun. Coba lihat orang
seusia bapak di komplek rumah kita, hampir 90% sudah pikun. Sudah makan, ehhh minta makan lagi. Atau pergi keluar rumah, kemudian tidak bisa
pulang, hingga membuat repot orang sekompleks, betul kan Pak?”
Mereka
tertawa bersama saat mengingat kejadian tersebut.
“Pak,
sudah berapa hari ini kok tidak jalan pagi?
Kakinya sakit ya?”
“Lagi
malas Wid. Badanku sih sehat, kakiku
juga tidak bermasalah. Dulu kan ibumu yang sering
mengeluh lututnya yang sakit,”
“Iya
memang. Ibu sering menahan nyeri,”
“Kasihan
ibumu,”
“Ibu
sekarang sudah tidak lagi merasa sakit, pak.
Apa Bapak masih sering memikirkan ibu?” Wiwid menyelidiki dengan sambil
lalu. Tangannya sibuk memotong wortel
dan sayuran lain yang akan dibuat trancam.
“Namanya
juga istri, ibu yang melahirkan anak-anak bapak, ya pasti selalu ingat. Kadang bapak kangen. Tapi, ibumu tak pernah datang berkunjung
dalam mimpi,” pandangan bapak menerawang.
“Ya,
justru Bondan yang sering bermimpi tentang ibu,”
“Ibumu
kan dekat
sekali dengan Bondan. Sedangkan kamu
malah akrabnya dengan bapak. Yah, kamu
memang anak gadis kesayangan bapak, nduk,”
Wiwid
tersenyum lembut. Bapak tampak sudah
tua. Dia merasa kasihan. Pada masa tuanya, bapak menjalani hidup tanpa
pendamping di sisinya. Wiwid tahu, meski
mereka tinggal serumah, juga ada Bondan serta keluarganya yang sering
berkunjung, bapak sering kesepian. Apalagi
tak ada lagi kegiatan yang cukup berarti yang dapat dilakukan beliau.
“Bapak
kesepian ya sepeninggal ibu?” Wiwid menghentikan kegiatannya sejenak dan
memperhatikan raut muka bapak.
“Di
rumah kita, ibumu lah yang banyak bicara.
Tentu saja bapak kesepian begitu ibu meninggalkan kita. Tapi kan
ada anak-anakmu, kamu, suamimu, juga Bondan dan keluarganya. Beruntunglah kalian tidak tinggal di luar kota. Bapak tidak bisa membayangkannya, nduk,”
“Tidak
usah dibayangkan pak. Tapi akhir-akhir
ini aku sering melihat bapak melamun.
Atau berdiam di kamar berlama-lama.
Wiwid takut bapak tidak kerasan tinggal bersama kami,”
“Jangan
dipedulikan tingkah bapak, nduk. Entah
mengapa, bapak memang sedang malas beberapa hari ini. Malas makan, malas olah raga. Bahkan Cuma duduk di teras kalau pagi hari
sambil menemani kamu menyiram tanaman pun, bapak juga aras-arasen,”
“Itulah
mengapa mas Kamal suka mendesak Wiwid bertanya kepada bapak. Karena dia sudah bertanya pada bapak, tapi
bapak bilang tidak ada apa-apa,”
“Benar
Wid, aku memang tidak sakit atau kecewa, atau apalah itu namanya pada kalian
semua. Bapak ini sudah tua, sudah wajar
kalau kadang ingin diam dan tidak melakukan apa-apa,”
Wiwid
terdiam cukup lama. Ia tengah menyusun
kata-kata yang tepat untuk menyampaikan maksud dan tujuannya berbicara dengan
bapak.
“Pak,
kalau bapak kesepian…”
“Kamu
kok bingung begitu? Ada apa?” bapak menatapnya lembut.
Ah,
tatapan bapak malah semakin membuat mulutnya terkunci. Semua kalimat yang telah disusunnya dengan
bantuan suami dan adiknya, musnah sudah.
Sekarang ini otaknya kosong melompong.
Tidak ada ide apapun yang mampu mengembalikan lagi saran seperti yang
mereka perbincangkan semalam.
“Wid…?”
“Bapak
jangan marah ya? Ehm… bapak kan tadi bilang sejak
ibu meninggal, bapak merasa kesepian.
Nah, mungkin bapak bisa mencari calon istri dan menikah. Kami bisa kok membantu bapak, atau mungkin
bapak sudah punya calon sendiri?” Wiwid menghembuskan nafas begitu ia mampu
menyelesaikan perkataannya.
Tapi
reaksi bapak membuat Wiwid terkejut.
Mulut bapak menganga, sebelum digantikan oleh tawa geli bapak yang
sangat keras. Wiwid menelengkan
kepala. Rupanya, ia mengharapkan reaksi
yang salah dari bapak. Namun begitu,
tetap saja ia berharap cemas. Siapa
tahu, begitu usai tawa dan bapak menyadari maksud perkataannya, beliau akan
marah dengan perkataan putrinya yang usil.
“Hehehe,
sedari tadi pagi, kamu mengikuti aku kemana pun pergi, ternyata hanya untuk
bertanya tentang itu to?” bapak masih belum bisa berhenti tertawa yang membuat
Wiwid jadi cemberut.
“Bapak
sih… kami kan
bingung dengan sikap bapak akhir-akhir ini.
Itulah kenapa, tadi malam Bondan dan Dewi kemari. Karena kami ingin berembuk, apa yang bisa
kami lakukan untuk bapak. Agar bapak
ceria lagi, tidak ngendon di kamaaaar terus,” sungut Dewi merasa malu.
“Ah,
seharusnya bapak senang kalian sangat perhatian. Itu tandanya kalian sayang dan
tidak merasa terbebani oleh kehadiran bapak yang sudah tua ini,”
“Tentu
saja kami sayang pada bapak. Tinggal
bapak kok orang tua yang kami miliki,”
Bapak
manggut-manggut.
“Tapi
boleh kan
bapak geli mendengar usul kalian? Hah,
usul siapa itu sebenarnya?” sekarang bapak ganti mendelik, dan pura-pura marah.
“Hmm,
usulnya siapa ya? Kalau tidak salah sih usul Bondan,”
“Hahaha…
anak itu, mengapa kalian bisa berpikir begitu?”
“Yah,
kami kan
takut, bapak malah jadi sakit kalau punya keinginan tapi dipendam dalam
hati. Tapi benar nih, bapak punya calon
untuk dijadikan istri?” goda Wiwid dengan hati berdebar-debar.
Ia
masih tetap tak rela kalau bapak akan menikah lagi. Rasanya itu menunjukkan ketaksetiaan bapak. Meski ia tahu kalau pikiran itu tak rasional
karena ibu kan
sudah meninggal. Jadi sah saja bila
bapak ingin kembali berumah tangga.
“Wid,
bapak itu sudah tidak tertarik lagi untuk mencari istri terus menikah
lagi. Umur bapak sudah tua. Kalau orang lain ada yang menikah lagi pada
usia yang sama dengan bapak, biar saja,”
Ada kelegaan tersendiri
menyelinap di lubuk hatinya. Dan ia tahu
rasa itu terlalu kekanak-kanakan.
“Terus,
apa dong yang menjadi penyebab bapak berdiam diri?”
“Kamu
tuh ya, dari dulu selalu tidak mau berhenti bertanya, sebelum beroleh jawaban
yang memuaskan,”
“Wiwid
penasaran sih,”
Bapak
malah terdiam.
“Baiklah,
rasanya bapak tidak bisa lagi menyimpan rahasia ini. Sttt, tolong dengarkan cerita bapak,” Bapak
menahan Wiwid yang ingin mendebatnya.
“Dulu
bapak bercita-cita ingin mengajak ibu menunaikan ibadah haji. Namun ketika uang pensiun bapak keluar,
ternyata tidak cukup untuk kami pergunakan berdua. Itulah kenapa ibu menyarankan agar bapak
sendiri yang berangkat. Waktu itu bapak
sebenarnya tidak setuju, tapi ibu memberi alasan yang masuk akal. Ibu mulai merasa sakit pada tempurung
lututnya dan tidak memungkinkan untuk berangkat haji. Tapi, ternyata setahun setelah kepergian
bapak ke tanah suci, Allah mengambil ibu dari sisi kita untuk selamanya. Sejak itu bapak selalu memikirkan janji yang
tak mampu bapak tepati,” Bapak menghela nafas pelan. Seakan melepas beban yang selama ini
disandangnya.
Wiwid
mengingat kenangan ibu yang terbaring sakit tak lama bapak pulang dari tanah
suci. Mereka bahu-membahu merawat ibu,
mengantarkan fisioterapi yang serasa tak pernah usai. Mengetahui rasa sakit yang dirasakan ibu
selama beberapa waktu. Ibu yang selalu
mengajak jalan-jalan cucunya tiap sore menjelang. Namun aktivitas itu terhenti kala
penyakit ibu semakin parah.
“Saat
di depan jenazah ibu, Bapak tidak sadar kala dalam hati berjanji sekali lagi
pada ibumu, kelak bapak akan mem-badalkan haji ibu bila dananya sudah
terkumpul. Saat ini bapak sudah memiliki
uang untuk menghajikan ibumu, tapi ternyata daftar tunggu untuk pergi haji
sangat panjang. Bapak dengar sekarang
ini orang mesti menunggu lima
hingga tujuh tahun agar bisa berangkat haji begitu setoran minimal ONH sudah
terbayar. Bayangkan Wid, kalau sekarang
bapak mendaftar, berapa usia bapak bila berangkat ke tanah suci kelak?”
Wiwid
menghitung dalam hati. Ya, saat ini
berangkat haji semakin panjang daftar tunggunya. Di jaman perekonomian yang serba sulit,
ternyata penduduk Indonesia
masih banyak yang mampu menyisihkan uang guna pergi haji.
“Kalau
begitu bapak pergi haji menggunakan ONH-plus saja, kan
tidak perlu menunggu lama, cukup setahun lagi atau dua tahun. Bagaimana pak?” usul Wiwid. Ia yakin tak perlu meminta persetujuan suami
dan saudaranya untuk menawarkan hal ini.
“Uang
bapak hanya cukup untuk biaya ONH biasa, nduk”
“Tenang
saja pak, nanti kami yang patungan untuk menutup kekurangannya. Yang penting niat bapak baik. Bapak juga tidak lagi kepikiran dengan janji
pada ibu, betul kan?”
“Mudah-mudahan
niat baik kita dimudahkan jalannya oleh Allah ya,”
“Amin,”
Wiwid mengucap syukur beribu kali dalam hati.
Ternyata
ketakutannya tak beralasan. Dugaan kami,
anak dan menantu jauh sekali melenceng.
Wiwid tersenyum membayangkan komentar suami dan saudaranya nanti. Ah, hari serasa bertambah cerah. Ketika bapak berpamitan untuk beristirahat di
kamar, dia dengan sukacita mengiyakan.
Kemudian tangan trampilnya mulai melanjutkan kegiatan memasak dengan
penuh semangat.
Komentar ini telah dihapus oleh administrator blog.
BalasHapusHiks....jadi inget bapak yang sekarang sendirian di Purworejo sana. Bapak juga nggak mau menikah lagi setelah Ibu meninggal 7 tahun lalu. Syediiih..... :'(
BalasHapusDuuh, maaaf mbak Ika. Aku nderek bela sungkawa buat ibu. Moga khusnul khotimah.
HapusWah, baru tahu Bunda pinter nulis cerpen juga. Hayuk bikin novel sekalian Bunda ^_^
BalasHapusMakasih semangatnya Vhoy ^_^
HapusApik tenan, Mbak ^^
BalasHapusSalam kenal. Saya Karunia Sylviany Sambas. Kita segrup di KMO 3B CLUB 7, Mbak. Ini baru nemu blog-nya, Mbak Wati :)
Makasih Nia, makasih udah mampir baca yaaa :)
Hapus