Assalamualaikum Sahabat. Isu tentang perubahan iklim udah lama banget menjadi perhatian banyak kalangan. Sebagai warga bumi, saya merasakan perubahan iklim seperti suhu udara yang panas mulai tahun 2023 lalu. Terutama mengingat banyak tanaman hias saya yang tidak kuat menahan teriknya matahari. Perlu diketahui rumah saya menghadap barat. Namun tahun 2023 itu suhu sedemikian panasnya hingga merenggut sejumlah tanaman hias di teras rumah.
Kesukaan saya pada tanaman tidak padam karena kondisi tersebut. Saya mencari penyebabnya, mungkin karena tanaman merambat dan penahan panas di depan kurang bisa melindungi tanaman hias yang ada di teras. Akhirnya saya pun memasang paranet, jaring yang biasanya memiliki prosentase pelindung matahari untuk tanaman. Sekarang teras rumah sudah lumayan teduh karena ada penghalang sinar matahari langsung.
Mengapa saya begitu ingin mengoleksi tanaman meski teras rumah sempit? Tentu saja karena saya terlahir dari seorang bapak yang suka berkebun. Dari bapak lah saya mengenal cara menanam berbagai jenis tanaman. Saya lambat laun menyukai kegiatan berkebun meski di teras yang sempit.
Saya menyukai aroma embun yang terlihat di permukaan daun di tanaman yang ada di pot-pot di teras rumah. Meski sedikit, namun tanaman-tanaman itu mampu mengundang kupu-kupu, burung liar, bahkan walang. Tidak saya sangka tanaman di kebun sempit itu menjadi oase saya saat pikiran suntuk karena pekerjaan. Mata saya kembali segar dan jernih usai menatap tanaman hijau di teras rumah.
Buku Dalam Dekapan Zaman
Saat pertama kali saya mendapat kabar terpilih menjadi pembaca untuk edisi pertama buku Dalam Dekapan Zaman, saya bahagia sampai ingin berteriak kegirangan. Dan begitu buku tersebut tiba di depan mata, saya berkali-kali mengucap syukur.
Saya memang baru mengenal Ibu Amanda Katili melalui sosial media. Dari beberapa artikel yang seringkali menyertakan nama beliau di berbagai event tentang krisis iklim, pangan sebagai sumber bencana maupun penyelamat bumi, dan masih banyak lagi yang lain. Itu lah sebabnya saya sungguh bangga akhirnya bisa ikut membaca buku Dalam Dekapan Zaman, Memoar Pegiat Harmoni Bumi.
Pertama kali memegang buku setebal lebih dari 400 halaman ini sempat membuat saya gamang. Apakah saya mampu menyelesaikan isi buku tak lebih dari 10 hari? Karena saya harus menuliskan review tentang buku ini. Namun saya yakin perjalanan membaca buku Dalam Dekapan Zaman akan menjadi salah satu momen terindah dalam hidup saya sebagai pecinta buku.
Buku ini menggambarkan lebih dari sekadar perjalanan di bidang lingkungan hidup, perubahan iklim dan keberlanjutan bagi sosok Ibu Amanda Katili Niode. Semua yang telah dikerjakan oleh beliau sebagai pegiat bumi selaras dengan pendidikannya. Ibu Amanda lulusan Sarjana Biologi dengan konsentrasi Ilmu Lingkungan ITB, gelar Doktor dari School of Environment and Sustainability, University of Michigan Ann Arbor dan MSc dari American University, Washington DC dalam Ecology & Environmental Management.
Perjalanan panjang karirnya menunjukkan kecintaan Ibu Amanda pada Bumi. Beliau adalah pemerhati lingkungan yang merelasikan keseimbangan bisnis yang ramah lingkungan. Kehadirannya sebagai coach bagi 20 ribuan perempuan pemilik UMKM di Indonesia tentu menjadi hal yang menarik.
Buku ini dilengkapi dengan 17 testimoni dari generasi muda, pengusaha, para pakar, dan tokoh masyarakat, termasuk Emil Salim, Rachmat Gobel, Suzy Hutomo, Daniel Murdiyarso, Gita Wirjawan, Erros Djarot, dan Rahayu Saraswati Djojohadikusumo.
Dalam Dekapan Zaman, Memoar Pegiat Harmoni Bumi mengisahkan sejumlah hasil pemikiran dan tindakan Ibu Amanda Katili Niode menanggapi krisis di Bumi. Buku ini juga menggambarkan dirinya sebagai pegiat lingkungan yang ingin terus berbagi pengalaman transformasi pribadinya dalam pengembangan diri, kepemimpinan, dan komunikasi.
Dengan gaya narasi yang kuat, Ibu Amanda memadukan kisah-kisah inspiratif dan wawasan mendalam, serta kiat-kiat pemecahan masalah yang menunjukkan bahwa tantangan di tingkat lokal, nasional, hingga global dapat menjadi pemicu perubahan diri yang signifikan.
Tak terbayangkan betapa luar biasanya pengalaman yang akhirnya dituliskan dalam setiap memoar oleh Ibu Amanda. Nyaris sepanjang usianya, dari Amanda kecil hingga dewasa yang sering diajak sang ayah bertemu tokoh dunia. Bahkan perjalanan profesinya yang mengharuskan beliau menghadiri pertemuan internasional terkait lingkungan hidup, perubahan iklim dan berkelanjutan, entah itu diundang ataupun atas biaya instansi tempatnya bekerja.
Kalo boleh saya sebutkan, buku ini bukan sekadar memoar. Namun kisah seorang Ibu Amanda, Pegiat Harmoni Bumi yang sangat memahami setiap tindakan yang beliau lakukan dan dituturkannya dalam sebuah buku.
Saya tersentuh membaca salah satu testimoni dari Budayawan Erros Djarot :
So, Amanda, teruskan langkahmu dan terus lah melangkah...hingga sang Maha Pencipta memintamu berhenti; karena hanya Dia-lah yang bisa dan berhak menghentikanmu!
Peran Ayah Yang Membentuk Kecintaan Pada Bumi
Begitu membuka buku sejak halaman pertama saya sudah terpacu menikmati rangkaian kalimat dengan narasi yang dalam. Tentunya semua karena pengalaman dan perjalanan karirnya, serta kesempatan Ibu Amanda bertemu dengan banyak orang hebat yang peduli dengan Bumi. Setelah selesai membaca buku ini, saya melihat Ibu Amanda ibarat Bumi, planet yang dinamis dan hidup.
Bumi yang menyediakan sumber daya alam yang dibutuhkan untuk keberlangsungan makhluk hidup, terutama adanya tanah, air, udara, dan energi. Semua ini bila dimanfaatkan secukupnya dan tidak berlebihan tak akan muncul masalah di Bumi seperti saat ini.
Ketertarikan Ibu Amanda pada Bumi tentu hal wajar mengingat peran orang tuanya yang sejak kecil sudah mmendekatkannya dengan alam. Ibu Amanda bahkan mengingat kesigapan sang kakek dari pihak ibu, Abdul Uno yang profesinya sebagai inspektur kehutanan di zaman Belanda. Tugas sang kakek adalah menghutankan dan menjaga lingkungan di kawasan Indonesia Timur. Dan ketika tinggal di Gorontalo, bila melihat setitik api di hutan, kakeknya tidak segan langsung mendatangi lokasi api dengan mobilnya. Bersama stafnya, kakek akan berusaha memadamkan api.
Kesetiaan kakeknya pada bidang pekerjaan di luar jam kerja, menjadi landasan cara berpikir Ibu Amanda. Sebuah tanggung jawab profesi yang seribu persen dilakukan demi menjaga Bumi.
Sejak kecil peran orang tua terutama sang ayah telah membentuk pribadi Ibu Amanda menyukai Bumi. Ayahnya selalu mengajak anak-anaknya terlibat dalam diskusi tentang alam. Ketika dia masih berusia 11 tahun, ayahnya bertanya :
"Non, apa kata yang bagus untuk menggambarkaan awan?
"Mega!" Amanda kecil menjawab sambil terus bermain boneka.
Ayahnya mengutip Firman Allah dalam Al-Qur'an surat An Naml ayat 98:"Dan kamu memandang gunung-gunung itu, kamu sangka dia tidak bergerak, padahal ia berlalu laksana beraraknya mega..." (halaman 5)
Menarik banget keikutsertaan ibu Amanda saat mendampingi ayahnya dalam kongres atau pertemuan ilmiah di dalam maupun luar negeri. Meski beliau tidak mahir berbahasa Inggris, namun oleh sang ayah, Ibu Amanda diminta untuk mendengar, menulis, mencatat, dan berbicara dengan para ilmuwan asing. Menurut ayahnya, dia bisa belajar bahasa asing meski paham atau tidak, nanti akan jadi terbiasa.
Perjalanan keluar negeri yang kadang tidak cocok dengan jadwal belajar di kampus, ternyata menimbulkan masalah dengan dosennya. Ibu Amanda dianggap keluar negeri untuk bersenang-senang sementara teman-temannya kuliah.
Terlepas dari ketidaksukaan sang dosen, saya melihat keterlibatan Ibu Amanda sejak muda dengan kegiatan ayahnya, menjadi pupuk yang subur hingga berkembangnya wawasan berharga pada diri beliau. Ini yang membangun karir beliau hingga bisa melakukan semua kegiatan yang berhubungan dengan lingkungan hidup dan perubahan iklim secara global.
Setiap ucapan, juga tindakan ayahnya nampaknya sangat berperan besar bagi Ibu Amanda mengambil keputusan dalam hidupnya. Seperti saat beliau memilih kuliah di Bandung dan tinggal jauh dari keluarga. Alasannya karena ingin mengikuti jejak sang ayah kuliah di ITB.
Menggugah Kekuatan Cerita Pribadi, Mengumpulkan Memoar Sukarelawan
Sebagai pegiat harmoni Bumi, Ibu Amanda yang senang membaca karya penulis dari berbagai negara, sangat detil menuturkan pengalaman dan hasil pemikiran dalam buku ini.
Salah satu penulis favorit beliau adalah Kim Stanley Robinson yang berasal dari Amerika. Tentu saja tema buku non fiksi seputar perubahan iklim, pola cuaca, dan ekosistem.
Dengan banyaknya karya penulis yang sudah dibaca, membuat Ibu Amanda ingin mengumpulkan memoar dari sukarelawan The Climate Reality Project. Organisasi nirlaba ini didirikan oleh mantan wakil presiden Amerika Serikat dan pemenang Hadiah Nobel Perdamaian, Al Gore. Organisasi ini memiliki misi katalisasi solusi global terhadap krisis iklim penyebab berbagai bencana, serta menjadikan tindakan mendesak sebagai kebutuhan di setiap lapisan masyarakat.
Climate Reality Indonesia sebagai bagian dari The Climate Reality Project merupakan perkumpulan independen dengan sukarelawan dari berbagai lapisan masyarakat. Mereka mendapat pelatihan dari Al Gore serta sejumlah ilmuwan, komunikator, serta aktivis.
Naskah yang terkumpul oleh Climate Reality Indonesia terdiri dalam beberapa bahasa dan merupakan pengalaman pribadi penulisnya. Tulisannya merupakan aha moment yang dialami baik terkait ilmu pengetahuan, dampak, solusi, maupun aksi perubahan iklim. Kisah inspiratif yang dilakukan oleh pejuang peduli lingkungan dan perubahan iklim.
Jadi memoar yang mereka tuliskan merupakan cerita pribadi dan bukan berdasar cerita orang lain. Memoar biasanya berisi refleksi yang penuh wawasan, narasi yang emosional dan eksplorasi mendalam tentang pertumbuhan seseorang. Atau bisa juga berupa pemahaman yang dirasakan saat mengalami satu peristiwa.
Pengampu situs web Perfect Memoirs, Deborah Willbrink menjelaskan ada 4 manfaat kesehatan yang akan diperoleh secara holistik saat seseorang menuliskan kisah hidupnya. Yaitu
- Pertama, dengan menceritakan momen penting dalam kehidupannya, seseorang akan menyadari identitas dirinya
- Kedua, melestarikan kisah hidup akan meninggalkan warisan bermakna yang mengangkat keterhubungan antar generasi
- Ketiga, menulis memoar dapat memberdayakan seseorang karena mengingat masa-masa kekuatan dan keberhasilan, dapat membangun jalan untuk diikuti lebih banyak pencapaian
- Terakhir adalah kenangan tentang kehidupan adalah alat untuk memahami kehidupan seseorang dan memaknainya
Dari kisah yang terkumpul ada cerita seorang pejuang Bumi tentang para nelayan yang kesulitan mencari ikan di laut. Kebayang nggak sih, berlayar di tengah laut demi mencari ikan yang berkurang karena efek perubahan iklim. Dulunya saat kakek buyutnya berlayar, cukup menyerok ikan menggunakan kaos bekas disulap jadi jaring. Dan kakeknya ini menyerok ikan juga hanya berjarak 10 meter dari bibir pantai.
Seorang pejuang Bumi, Lia Zakiyyah menuliskan kisah berjudul "Perjalanan Pribadi untuk Menerima Diri Sendiri". Seseorang yang mengeruk sumber daya untuk mencapai tahta atau harta, menekan masyarakat marjinal, membabat satwa langka, bisa jadi karena dia belajar mematikan rasa karena tidak suka menghadapi emosi dirinya.
Saya jadi teringat ketika suami mendapatkan kesempatan bekerja untuk penyediaan pasir besi. Dia mengajak saya berdiskusi tentang prospek penghasilan yang akan didapatkan. Saya sejak awal menentang karena pekerjaan itu sama saja merusak Bumi. Akhirnya dia tidak menerima pekerjaan tersebut setelah perenungan yang cukup panjang. Apalagi setiap hari saya ingatkan suami agar tidak mengeruk sumber daya alam semaunya pemilik modal.
Meski tidak bisa menjadi pejuang bumi, setidaknya kami tidak ikut merusak bumi hanya demi harta untuk memperkaya diri.
Sementara itu kembali pada pengumpulan karya para pejuang Bumi, ternyata tidak sesuai ekspektasi karena harapannya bisa terkumpul 100 karya tulisan. Jadi Ibu Amanda harus merasa puas dengan 93 karya yang masuk ke Climate Reality Indonesia. Buku dengan judul "Menjalin Ikhtiar Merawat Bumi, Memoirs by Climate Reality Leaders" diluncurkan saat ada perhelatan akbar tentang perubahan iklim di kota Sharm El-Sheikh, Mesir. (halaman 44)
Ibu Amanda Katili mengungkapkan ketakjubannya karena dalam buku tersebut ada naskah putra-putrinya. Kebetulan mereka juga aktif beraktivitas di bidang lingkungan hidup dan perubahan iklim. Terzian Ayuba Niode menulis "Makna Sukarelawan Bagi Seorang Bankir". Sedangkan artikel Karida Humaira Niode berjudul "Aktivis Iklim dan Pelaku UMKM".
Menurut Ibu Amanda, menulis memoar ternyata bisa menjadi pengikat keluarga. Tulisan Karida Humaira saya sertakan di bawah ini.
Saya sangat menikmati tulisan Karida Humaira yang merasa bukan sebagai aktivitas lingkungan. Namun pada masa pandemi dirinya sempat menanam berbagai jenis bibit sayuran. Ahh jadi kebayang saya pun melakukan hal sama, menanam sayuran pokcoi, kangkung, cabe dan tomat.
Namun bedanya, Karida juga berbagi paket bibit sayuran dari yang ditanam kepada tetangga sekitar rumah yang berpenghasilan rendah dan yang membutuhkan.
Peran Kita Sebagai Warga Bumi
Perempuan meliputi setengah populasi dunia termasuk di Indonesia. Dengan makin banyaknya keikutsertaan perempuan dalam pengambilan keputusan dan perencanaan secara tingkat tinggi, akan membuka pintu bagi tindakan iklim yang makin efektif. Keterlibatan perempuan juga akan mendorong jenis investasi domestik yang diperlukan untuk memerangi krisis iklim.
Saya percaya perempuan juga sebagai penentu keputusan belanja keluarga. Apabila aktivitas harian belanja keluarga diikuti dengan gaya hidup berkelanjutan alangkah indahnya Bumi. Pilihan gaya hidup memengaruhi dunia yang ada di sekitar kita. Dengan menjadi bagian warga yang setia menjaga Planet Bumi, mengubah kebiasaan kecil dan membuat pilihan yang tidak berbahaya bagi lingkungan.
Langkahnya mudah namun apakah mau atau tidak untuk melakukannya. Misalnya, membangun rumah hemat energi dengan banyak ventilasi. Kita bisa memilih jalan kaki atau bersepeda, atau menggunakan transportasi umum untuk belanja atau ke tempat kerja. Bisa juga dengan mengurangi limbah pangan, menyiapkan makanan secukupnya, berkebun sayur dan mendaur ulang sampah organik dapur.
Banyak yang bisa kita lakukan sebagai perempuan dan warga Bumi. Saya sudah lebih dari 10 tahun menjalani beberapa hal demi menjaga Bumi. Dan salah satu yang dimaksud oleh Ibu Amanda tentang donasi pakaian. Rumus saya adalah kalo membeli 1 baju, ada 3 baju yang harus dihibahkan. Dan saya bersyukur mengenal orang yang bersedia menerima baju yang masih bisa dipakai dengan pantas.
Dulu saat pandemi saya sempat mengolah sampah dapur menjadi kompos. Namun kemudian terhenti karena lahan yang terbatas. Sekarang ini saya mulai lagi membuat kompos cair yang tidak membutuhkan ruang luas. Jadi saya masukkan kupasan kulit sayur dan buah ke dalam toples atau botol. Dengan campuran bahan lainnya, saya diamkan selama 30 hari untuk kemudian saya aplikasikan untuk memupuk tanaman secara organik.
Saya senang bisa ikut sedikit menyumbang pengurangan sampah organik. Kebayang nggak sih kalo sampah makanan sisa atau organik ini ketika kita buang ke tempat pengumpulan sampah di luar sana? Jika sampah makanan membusuk, akan melepaskan emisi gas rumah kaca yang tidak bisa diabaikan begitu saja karena jumlahnya mencapai puluhan ton. Saya ngeri setelah banyak membaca artikel tentang sampah yang tidak dikelola dan hanya dibuang di TPA.
Sebenarnya saya masih ingin bercerita tentang beberapa inspirasi yang saya temukan dari isi buku ini. Namun rasanya tidak asik juga ya, alangkah lebih baik bila kalian baca juga bukunya.
Sahabat bisa mendapatkan Buku Dalam Dekapan Zaman dengan menghubungi langsung penerbit Diomedia di nomor 0856-4376-2005 dengan harga : Rp. 145.000,00 (belum termasuk Ongkir). Sementara bermanfaat, wassalamu'alaikum.